GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24. Mobile Kingdom
Sinar pagi lembut menyapa Tyas, mengintip melalui celah gorden tipis yang sedikit terbuka. Ia meregangkan tubuh, menguap lebar, dan membuka matanya perlahan.
Pandangannya tertuju ke samping, di mana Kaesang tertidur pulas dengan posisi tengkurap. Wajahnya menghadap ke arah lain, namun Tyas tak kuasa menahan senyum melihat wajah Kaesang yang manis dan damai dalam tidurnya.
Tyas bangun dan mendekat ke arah Kaesang. Ia menyentuh pipi Kaesang, merasakan lembutnya kulitnya, lalu menunduk dan men-ci-um pipi Kaesang.
Sebenarnya Kaesang sudah terbangun, hanya saja dia berpura-pura tertidur dan masih menutup matanya. Ia merasa senang melihat Tyas mencivmnya terlebih dahulu. Tanpa suara, Kaesang tiba-tiba meraih tangan Tyas dan membalikkan tubuhnya.
Mata Tyas membulat sempurna saat Kaesang tiba-tiba meraih tangannya. Sekejap, tubuh Tyas terhuyung, terbawa oleh tarikan Kaesang hingga terjatuh tepat di atasnya.
Detak jantung Tyas berpacu kencang, jarak mereka begitu dekat, tatapan mereka saling bertemu. Senyum tipis terukir di bibir Kaesang, dan sekilas, bibir mereka bertemu dalam sentuhan singkat.
"Pagi, Dear. Gimana tidurmu semalam, nyenyak?" tanya Kaesang, senyumnya merekah. Tyas mendekatkan wajahnya, lalu mengecvp lembut bibir Kaesang.
"Nyenyak dong kan ada kamu di sampingku." sahut Tyas, suaranya terdengar manja. Ia segera bangkit, membantu Kaesang bangun dan bersandar di headboard tempat tidur.
Tyas pun ikut bersandar di headboard, di samping Kaesang, menyandarkan kepalanya ke bahu Kaesang. Kaesang mengelus lembut rambut Tyas yang bersandar di bahunya.
"Rasanya aku pengen segera nikahin kamu, Dear, biar kita bisa tidur bareng terus. Waktu bisa nggak sih jalannya cepat gitu, Aku pengen segera lulus, kuliah, kerja habis itu nikahin kamu ...
Kamu mau kan nunggu aku sampai aku nikahin kamu? Di pertengahan kuliah nanti aku berencana buat tunangan sama kamu. Aku ingin meresmikan hubungan kita di muka umum." Perkataan Kaesang yang tiba-tiba itu membuat Tyas terkejut. Dia tentu senang mendengar Kaesang ingin menikahinya, dan dia nggak sabar buat ngelewatin waktu sampai itu terjadi.
Tapi, ada satu hal yang mengganjal di pikirannya.
"Aku juga nggak sabar buat nikah sama kamu, Sayang. Rasanya waktu jalannya lama banget. Ehm, Sayang. Aku takut nih, kalo pulang nanti bunda sama ayah aku pasti khawatir banget sama aku ...
Aku selama ini nggak pernah pulang lambat loh. Nggak pernah kayak gini juga. Nanti kalo mereka nanya gimana? aku harus jawab apa?" Tyas mulai khawatir. Dia menegakkan kepalanya dan menatap kearah Kaesang. Kaesang mengulurkan tangannya, mengelus pipi Tyas.
"Kamu jelasin aja seperti yang aku bilang kemarin. Kamu nggak usah takut, mereka nggak akan nanya yang macam-macam kok. Percaya sama aku." Kaesang berusaha menenangkan Tyas, lalu menariknya untuk bersandar di bahunya.
Setelah lama terdiam dan terlarut dalam kehangatan momen bersama, Tyas akhirnya bersuara, "Yang, kamu ngerasa capek nggak sih? Tubuhku rasanya capek banget, kayak mau remuk. Tanganku, kakiku, semuanya lemes." kata Tyas, perlahan dia melingkarkan tangannya di lengan Kaesang.
Kaesang tersenyum, jari-jarinya membelai lembut tangan Tyas yang melingkar di lengannya.
"Iya, permainan semalam benar-benar dahsyat. Kamu pinter banget sih mimpin permainan. Sampai gemetar loh tubuhku." Jawab Kaesang. Ia teringat betapa seru dan berbeda permainannya saat bersama Tyas. Bermain sendiri memang menyenangkan, tapi bermain berdua terasa jauh lebih hidup.
Pipi Tyas merona merah padam, malu-malu gitu. Wajahnya yang biasanya cerah kini dihiasi rona merah bak buah tomat matang. "Ah, bisa aja kamu. Aku cuma main sebisaku kok. Kamu yang emang jago mainnya. Aku cuma mengimbangi aja."
Tyas merasa malu mendengar Kaesang memujinya, tapi juga bahagia. Perlahan dia mendongakkan kepalanya, matanya bertemu dengan mata Kaesang yang balas menatapnya sembari tersenyum. Senyum penuh cinta dan kehangatan.
Kaesang mencondongkan kepalanya mendekat, bibirnya menyentuh bibir Tyas dalam sebuah ciu-man lembut. Tyas membalas ciu-man itu dan mendesah perlahan. Napas mereka terengah-engah, saling berburu, hingga akhirnya keduanya melepaskan ciu-man itu dan mengambil nafas masing-masing.
"Aku inget banget gimana kamu menjebol gawang pertahananku. Kamu gesit banget. Aku aja sampai kewalahan. Rasanya pengen main lagi Aku." kata Tyas, terdengar manja. Pipinya memerah malu.
Kaesang menjawab dengan semangat. Ia pun merasa malu, tapi bangga bisa membuat Tyas bahagia dan puas dengan permainan mereka.
"Ah biasa aja kok. Tapi emang seru banget permainan semalam. Aku pengen main mobile kingdom lagi sama kamu. Kamu hebat banget. Bikin aku ketagihan main sama kamu. Ehm, kamu udah biasa main ya?" tanya Kaesang.
Tyas menegakkan tubuhnya, lalu menoleh ke arah Kaesang. Dia menggeleng pelan. "Aku pernah main, tapi jarang. Buat ngisi waktu luang aja. Sayang, ehm, soal curhatan kemarin kamu jangan bilang siapa-siapa ya, apalagi orang tuaku. Aku nggak mau mereka sedih dan marah sama aku. Aku takut." Wajah Tyas berubah takut.
Semalam setelah Kaesang mematikan lampu di kamarnya, mereka berniat tidur. Tapi Tyas tidak bisa tidur. Akhirnya dia memutuskan untuk curhat kepada Kaesang, dengan tanpa menyalakan lampu. Dalam kegelapan.
Tyas menceritakan semuanya kepada Kaesang. Bahkan soal Daniel, teman kuliahnya dulu yang sangat terobsesi padanya dan mengirimkan banyak hal. Kaesang yang mendengar nama itu awalnya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun, setelah teringat dengan seseorang yang memiliki nama yang sama, Kaesang pun berpikir. Bukankah nama itu adalah nama... ??
"Kamu tenang aja, rahasia kamu aman sama aku. Kamu percaya kan sama aku? aku nggak akan mengecewakan kamu. Aku janji," janji Kaesang.
Tyas merasa lega mendengarnya. Dia benar-benar beruntung bisa memiliki kekasih seperti Kaesang. Di dalam kamar berdua, di tengah kegelapan, mereka berbagi ranjang, namun Kaesang tidak menyentvhnya.
Jika itu adalah mantannya dulu mungkin dia sudah menyentvhnya. Mungkin sekarang ini dia sudah tidak per4wan lagi.
Tyas menegakkan tubuhnya, menatap dalam manik mata Kaesang. Perlahan tapi pasti, dia mendekatkan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. Kemudian, Tyas mengalungkan tangannya di leher Kaesang dan men-ci-um bibirnya.
Mereka larut dalam momen itu, hingga akhirnya Tyas melepaskan ciu-man mereka dan merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.
"Untung hari ini tanggal merah, jadi kita nggak perlu ke sekolah. Yuk aku anterin kamu pulang, sekalian aku pengen ikut jelasin ke orang tua kamu soal kenapa kamu nggak pulang semalem. Mereka pasti ngerti." Kaesang turun dari ranjang, mengambil jaketnya yang tergeletak di sofa, dan segera memakainya.
Tyas pun mengikuti, meraih jaketnya dan merapikan penampilannya sebentar. Dia lalu menghampiri Kaesang, menarik lengannya. Kaesang menoleh, matanya menatap penuh tanda tanya kearah Tyas.
"Aku bisa jelasin sendiri kok. Kamu pulang aja setelah selesai nganterin aku. Aku nggak mau mereka mikir yang macem-macem soal kamu." Tyas tak ingin apa yang sempat terlintas di pikirannya benar-benar terjadi. Dia takut jika orang tuanya malah menyalahkan Kaesang. Dia tak ingin melihat hal itu menjadi kenyataan.
Senyum hangat terukir di wajah Kaesang saat ia membalas, "Kamu nggak usah khawatir, Dear. Semuanya akan baik-baik aja kok. Yuk, kita berangkat sekarang."
Kaesang menarik tangan Tyas, mengajaknya keluar dari kamar, lalu keluar dari apartemen. Di luar, mereka berdua berjalan menuju basement, kemudian ke arah mobil Kaesang.
Dengan cepat, Kaesang membukakan pintu mobil untuk Tyas, baru kemudian ia menyusul masuk. Mesin mobil bergemuruh, dan Kaesang melajukan mobilnya meninggalkan area apartemen, menuju rumah Tyas.
"Kamu nggak usah takut, Dear. Percaya sama aku, semuanya akan baik-baik aja." Kaesang berusaha menenangkan Tyas, meredakan kekhawatiran yang terpancar jelas di wajahnya.
Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan rumah Tyas. Di sana, motor Honda milik ayah Tyas masih terparkir, pertanda kedua orang tuanya masih berada di dalam.
Kaesang segera turun dan membukakan pintu mobil untuk Tyas. Dia mengulurkan tangannya, Tyas menerima uluran itu dan keduanya berjalan menuju pintu. Setelah tiba di sana Tyas mengetuk pintu. Pintu pun terbuka, ayah dan bunda Tyas menyambut mereka dengan tatapan yang tajam.
"Assalamualaikum, Yah, Bun. Maaf Tyas nggak pulang kemarin." Tyas segera meraih tangan kedua orang tuanya, lalu men-ci-um punggung tangan mereka dengan sopan.
Bunda Tyas menjawab. Wajahnya masih terlihat marah. Sorot matanya tajam. "Masuk dulu, Yas. Bunda sama ayah mau ngomong sama kamu." katanya, lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.
Ayah Tyas menyahut, matanya mengamati Kaesang dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu juga masuk. Saya sama istri saya mau nanya sama kamu." kata ayah Tyas pada Kaesang.
Kaesang mengangguk, "Iya, Om," jawabnya dengan santai.
Ayah Tyas berbalik dan masuk, disusul Tyas dan Kaesang. Keduanya berjalan menuju sofa tempat orang tua Tyas duduk.
Sesampainya di sana, mereka duduk berhadapan dengan orang tua Tyas, sebuah meja kecil memisahkan mereka. Wajah Tyas dan Kaesang tampak sedikit gugup. Tyas khawatir kalau orang tuanya akan marah kepada Kaesang.
Tanpa basa-basi, Dewa, ayah Tyas, langsung membuka suara, "Tadi pagi kita dapat wa dari Daniel, katanya dia siang nanti mau kesini. Kamu jangan kemana-mana ya hari ini, ketemu sama Daniel. Dia mau ajak kamu jalan-jalan dan kenalin sama keluarganya," ujar Ayah Tyas, suaranya terdengar tegas.
Tyas dan Kaesang sama-sama terkejut mendengarnya. Kaesang, yang sudah mendengar cerita Tyas tentang Daniel, meskipun belum sepenuhnya, langsung merasa jengkel. Tangannya mengepal erat, rahangnya mengeras. Dia menatap tajam Ayah Tyas, yang tak menyadari tatapannya.
"Daniel ... hmm, apa bener ini om Daniel, adik papa?? kalo bener gue nggak bakal biarin dia rebut Tyas dari gue. Liat aja, apa yang bakal gue lakuin buat pertahanin Tyas," gumam Kaesang dalam hati.
Rasa penasarannya masih menggerogoti. Benarkah Daniel adalah adik papanya, atau hanya orang lain dengan nama yang sama? Semalam, Tyas tak menceritakan detail tentang Daniel kepadanya. Rasa penasaran itu semakin membuncah.
"Huufftt ... semoga itu cuma nama yang sama. Semoga bukan om Daniel seperti yang gue pikirin," imbuh Kaesang dalam hati. Sebenarnya, nama Daniel memang cukup umum. Banyak orang yang menggunakannya. Pasti Daniel yang Tyas maksud bukanlah omnya.
Namun, entah kenapa pikiran Kaesang langsung tertuju pada omnya.
Bersambung ...