Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh
“Andai dia belum menikah ... andai semuanya masih seperti dulu. Tentu aku tidak punya alasan untuk tidak meminta bantuan kepadanya.”
“Andai semua masih sama, aku pasti akan mengandalkannya untuk membebaskan Pelangi.”
“Namun, selain dia sudah berkeluarga dan pernikahannya sempat menjadi pembahasan hangat orang-orang karena statusnya sebagai artis. Pada kenyataannya Pelangi juga bukan anaknya. Bukan tanggung jawabnya mengurus masalahku khususnya mengurus kasus Pelangi.”
“Malahan andai aku meminta bantuan kepadanya, bahkan sekadar berkomunikasi dengannya, ... yang ada aku akan menjadi perusak rumah tangga orang. Akan ada tangis istri bahkan trauma seorang anak, jika aku sampai berurusan dengan mas Salman lagi.”
“Jika keadaannya seperti itu, apa bedanya aku dengan Yanti?”
“Oke, ... ayo berjuang lagi. Berjuang sendiri tak perlu tak enak hati karena harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk mempertimbangkan perasaan pihak yang membantu. Tinggal tunggu besok, ... aku akan menagih janji si Yanti.”
Malam ini Mendung kembali tidak bisa tidur. Bukan karena tubuhnya terasa remuk efek kecapean, setelah kerja tanpa istirahat selain di jam tidur itu saja sudah sangat larut. Melainkan karena Mendung terus mengkhawatirkan Pelangi. Belum lagi, meski jarak kamarnya yang kelewat sederhana dengan kamar Yanti terbilang jauh, suara menjerit bercampur mende sah dari Yanti, tetap terdengar jelas olehnya. Bisa dipastikan Yanti sengaja begitu agar mental Mendung makin terluka. Sebab tujuan Yanti membuat Mendung di sana, murni agar Mendung gila sebelum akhirnya mati cepat.
Terlepas dari semuanya, meski pertemuannya dan Salman langsung diwarnai perhatian dari masa lalunya itu. Mendung tak sampai merasakan dampak lebih. Semuanya biasa-biasa saja, meski memang ada sedikit kelegaan. Karena pada akhirnya, Mendung memiliki kesempatan secara langsung untuk meminta maaf kepada pria dari masa lalunya itu.
“Aahhh ... lebih cepat lagi, Massss!”
Suara Yanti membelah keheningan suara malam. Suara yang terdengar sangat jelas ketika Mendung membuka pintu kamarnya. Mendung meninggalkan kasur lantai tak begitu luas tempatnya istirahat selama satu minggu terakhir ia tingga di sana. Mendung berniat ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.
“Semoga Allah segera mengganjar kamu azab dan seumur hidupmu akan menjadi alasan kamu malu, Mas. Begitu juga dengan Yanti. Semoga harta dan uang yang menjadi alasanmu zalim, akan menjadi alasanmu terluka tak berkesudahan, Yan Padahal andai kamu mau ambil suamiku, cukup ambil saja. Sementara amukan yang kamu terima dari Pelangi, tentu itu sudah jadi risiko kamu. Pelangi berhak melakukannya sebagai bentuk kekecewaannya kepada wanita yang sudah merebut papanya.”
Setelah berwudu, di tengah jerit suara penuh fantasi sekaligus des ahan Yanti, Mendung mengadukan semua ketidak adilan yang harus putrinya terima. Dalam sujudnya, dalam setiap doanya, Mendung terus memohon keselamatan untuk putri semata wayangnya.
“Tolong kuatkan kami, dan biarkan kami bahagia tanpa gangguan Yanti dan Andika, ya Allah. Jika Engkau belum mau mencabut nyawa mereka, tolong berikan azab nyata untuk mereka.”
Mendung menutup doa sekaligus permohonannya dengan tatapan kosong karena kepedihannya.
Keesokan harinya, sudah pukul tujuh pagi, dan semua pekerjaan rumah juga nyaris rampung Mendung bereskan. Namun, pintu kamar Yanti masih saja tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda pintu kamar bercat putih itu akan dibuka dalam waktu dekat. Padahal selain Mendung akan menagih pembebasan untuk Melati, di luar sana, orang-orang dekor dan keperluan pernikahan Yanti, sudah berdatangan.
Panggung hajatan mulai dibereskan. Begitu juga dengan bangku dan keperluan prasmanan. Mendung sengaja membuatkan kopi atau teh bagi setiap kerja yang datang. Sesekali, ada saja yang bertanya kepada Mendung perihal kebenaran status Andika.
“Punten, Bu. Ini saya juga ingin memastikan. Beneran, putri Ibu sampai dipenjara? Dan masih karena itu juga, Ibu jadi ... pemban—tu, di sini?” tanya wanita muda yang mengurus perlengkapan prasmanan.
Sempat ragu karena takut dianggap menjelek-jelekan Yanti, pada akhirnya Mendung mengangguk. Mendung membenarkan dan berdalih masih sangat kesulitan untuk lepas dari Yanti.
“Saya ikhlas, memberikan suami saya kepada Yanti. Apalagi pada kenyataannya, meski awalnya mereka merupakan bos dan karyawan, mereka sama-sama ‘mau’. Namun untuk kenyataan Pelangi yang sampai dipenjara setelah Pelangi menghajar Yanti, ... Pelangi juga berhak melakukannya. Itu sebagai wujud kekecewaan Pelangi karena ayahnya diambil wanita lain. Sementara deni wanita lain yang tak lain Yanti, ayahnya Pelangi tak segan KDRT kepada kami. Saat polisi datang menjemput Pelangi pun, Yanti dengan sadar menghantam-hantamkan kepala saya ke lantai.” Mendung benar-benar menceritakan semuanya, tak lama setelah pengawal kemayu Yanti, tak jaga-jaga di sekitar sana lagi.
Pengawal Yanti pergi keluar untuk mengawasi pembongkaran panggung hajatan yang tengah berlangsung.
“Satu-satunya cara untuk melawan uang dan kekuasaan hanya viral, Bu!” ucap wanita muda tadi, dan langsung didukung penuh oleh kedua rekannya.
Ketiga wanita pengurus prasmanan memberi arahan dan mengajari Mendung. Sambil menyusun piring, sendok, dan juga gerabah bekas prasmanan, ketiganya memberi arahan. Dalam momen tersebut, Mendung juga meminta ketiga wanita muda yang memberinya arahan, untuk memastikan kabar terbaru Pelangi.
“Nanti kami bantu, Bu. Beri kami kontak Ibu, biar kita bisa berkomunikasi lebih mudah!”
“Kontak ...? Maksudnya kontak, bagaimana?” Minggu benar-benar tidak paham. Kondisinya yang sudah tua, dan selama ini hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja sekaligus mengurus keluarganya. Jangankan ponsel dan kemajuan kecanggihan lainnya termasuk itu apa yang dimaksud viral. Menonton televisi saja, Mendung nyaris tidak pernah melakukannya.
“Saya beri alamat rumah saya saja ya. Eh, sebenarnya di rumah itu ada hapenya Pelangi. Masalahnya saya enggak hafal nomornya!” ucap Mendung berbisik-bisik.
“Intinya kalau janji ibu Yanti yang bilangnya mau membebaskan Pelangi tidak ditepati. Ibu Yanti berani berkilah dan memberi Ibu Mendung syarat tak manusiawi, pergi saja, Bu. Pergi jangan percaya ke ibu Yanti lagi! Nanti kami yang bantu bekerja sama dengan aparat desa juga!”
“Sudah, Ibu jangan khawatir. Jangankan orang kaya nanggung seperti ibu Yanti, yang bahkan sudah jadi pelakor dan berani menjebloskan putri Ibu ke penjara. Bahkan ibu Yanti juga tega jadiin Ibu pembantu tanpa gaji. Jendral dan bahkan orang kaya raya saja, kalah kalau kekuatan viral sudah maju!”
Mendengar ucapan ketiga wanita muda di hadapannya, Mendung jadi sangat bersemangat untuk segera memanfaatkan apa itu kekuatan viral. Sungguh, Mendung yang awalnya sedih karena berpikir hanya akan berjuang sendiri. Pada akhirnya seolah jadi memiliki banyak nyawa.
Obrolan Mendung dan ketiga wanita muda petugas prasmanan di sana, segera mereka akhiri gara-gara kehadiran Yanti. Yanti keluar dengan penampilan masih acak-acakan. Ia memakai piyama lengan pendek warna putih, dan celananya sepaha. Hampir seluruh lengan dan juga lehernya dipenuhi cupang. Yanti terlihat sengaja memamerkan bekas percintaannya kepada Mendung. Sementara ketiga wanita muda di sana yang sudah paham, diam-diam kompak menggeleng sambil istighfar.
(Assalamualaikum. Ramaikan ya. Bacanya jangan ditumpuk biar retensi aman. Baru sepuluh bab kayak enggak ada yang baca. Yang aktif bisa dihitung. Nanti aku bilang gini minta dukungan, ada pembaca yang baper lagi, larang-larang aku nulis di sini dan suruh ke PF lain. Dikiranya yang bikin peraturan re tensi itu aku. Padahal, aku hanya kasih arahan dan editor pun minta aku maupun penulis lain biar kasih arahan ke pembaca buat kompak baca enggak numpuk bab. Biar retensi aman san aku dapat bayaran. Bismillah, kompak, ya 🤲🙏)