Widuri memilih kabur dari rumah, pergi jauh dari keluarga kakeknya yang tiba tiba menjodohkannya dengan sesosok pria yang bahkan tidak dia kenal.
Akibat perbuatannya itu sang kakek murka, tidak hanya menarik uang sakunya yang fantastis, sang kakek juga memblokir kartu kredit, mobil bahkan kartu kartu sakti penunjang hidup dan modal foya foya yang selama ini Widuri nikmati.
Akankah Widuri menyerah ataukah bersikeras pada pendiriannya yang justru membuatnya semakin terjerumus masalah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaa_Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.17
Rahang Marcel mengeras saat menatap punggung Widuri hingga gadis itu menghilang, ada sesuatu yang mengganjal dalam lubuk hatinya tapi entah apa itu.
Helaan nafasnya terdengar walau pelan, lalu berubah menjadi dengusan saat menoleh pada Ferdy yang berdiri setia disampingnya yang bahkan tidak berani membalas tatapannya.
"Kenapa kau tidak melarangku saat pergi kemari, Fer!" tukasnya tegas.
Ferdy menundukan kepala, memilih menatap lantai dan juga kedua sepatu miliknya. Dia saja tidak berani apa-apa apalagi untuk melarangnya.
"Harusnya kau cegah aku tadi! Untuk apa aku kemari, aku bukan rentenir bukan?" selorohnya semakin tegas. "Cih, kau tidak berguna sama sekali!"
Ferdy belum menjawab satupun, dia hanya diam saja dan rela menjadi samsak atasannya yang tiba-tiba bersikap impulsif serba salah memang menjadi dirinya.
"Ayo pergi!" kata Marcel melangkah, membuat Ferdy membulatkan manik dibalik kaca matanya.
"Pak?" cegahnya dengan berjalan mendahului lalu menghentikan langkah Marcel. "Bukankah seharusnya kita kembali saja ke kota?"
Marcel berdecak, dia mendorong Ferdy ke arah samping dan melanjutkan langkahnya. "Tapi pak, bukankah anda mengatakan kalau kita---,
Marcel yang justru melangkahkan kakinya ke arah koridor itu menghela nafas. Terlihat bahunya sedikit turun tanpa menghentikan langkahnya.
"Kau fikir aku terima begitu saja setelah diperlakukan seenaknya seperti ini!? Aku harus tahu siapa dia sebenarnya!"
Ferdy mengusap wajah, kesabarannya harus berlipat ganda sejak awal kariernya. Tapi, ia hanya manusia biasa yang juga memiliki emosi. Ingin rasanya Ferdy menendang bokong hingga membuat bos itu tersungkur, lalu memaki dengan penuh amarah, kalau bisa mencaci dengan kata-kata kasar sampai puas.
Sabar Fer, posisi ini tidak mudah kau dapatkan, banyak yang ingin menggantikan posisimu ini. Ayo buat dirimu bekerja dengan lebih keras, kau tidak salah. Yang salah hanya lah gadis sialan itu. Dan juga bos mu yang bodoh itu, dia berkuasa. Paling tidak dia bisa menggunakan kekuasannya untuk melakukan sesuatu yang seperti ini. Bodoh kau... Dasar bodoh!
Ferdy bermonolog, berperang batin dengan dirinya sendiri lalu kembali menyusul Marcel yang ingin dilarang walau kenyataannya dia tidak pernah bisa dilarang.
"Apa sebaiknya kita menunggu saja disini?" ujarnya saat langkah Ferdy sama rata dengannya.
"Kau cari tahu dimana ruangan ini!" jawab Marcel yang menyerahkan secarik kertas yang sebelumnya dia temukan dalam tas Widuri.
Ferdy mengangguk kecil, bergegas pergi dari hadapan Marcel sebelum dia berubah fikiran lagi.
"Harusnya dia melakukannya sejak tadi, untuk apa dia turun langsung pada hal semacam ini!" desis Ferdy seraya berlalu, "Aku semakin curiga pada hubungan keduanya. Apa dia sedang jatuh cinta pada wanita itu? Jika bukan, dia tidak akan melakukan hal seperti ini!"
Sementara Widuri sudah masuk kedalam ruangan VVIP. Ruang rawat inap dimana Handoko terbaring lemah dengan beberapa selang terpasang ditubuhnya.
Usianya tidak muda lagi, diusia senjanya dia hanya ingin melihat Widuri menikah sekaligus memperbesar kerajaan bisnisnya dan tentu saja tidak mengecewakan seperti ayahnya dulu,
"Kakek...," lirih Widuri menatap ranjang dimana sang kakek beristirahat. "Kenapa kakek justru membuat aku serba salah, kenapa harus sakit, kek! Kenapa tidak biarkan aku jalani hidupku dengan tenang, Widi tahu Widi membuat kecewa kakek, tapi Widi punya alasan untuk melakukannya, ini hidup Widi Kek. Kakek tidak berhak mengatur seenaknya. Yang akan menikah itu aku, dan menikah itu untuk seumur hidup kek," keluhnya dengan berdiri dan terus menatap Handoko yang tengah terpejam.
Handoko mengerjapkan kedua matanya, samar-samar melihat cucu yang masih berdiri didepannya. Tangannya terulur lemah dan sedikit gemetar.
"Widuri...? Kau sudah kembali?"
"Aku kembali hanya untuk melihat kakek, bukan untuk pulang."
Terus terang, perasaan Widuri kini bergemuruh. Dia ingin kebahagian untuk dirinya sendiri tanpa harus peduli kesehatan Kakek, mengorbankan diri sendiri demi tercapainya keinginan orang lain tidaklah bagus.
"Kalau begitu kau tidak perlu melihat kakek. Untuk apa kemari? Biarkan kakek mati dengan membawa sakit hati dan rasa kecewa ini," tukas Handoko memukul dadanya sendiri, dia juga berusaha mencabut selang infus ditangannya, membuat Widuri menggigit bibir lalu mencegahnya dengan cepat.
Satu-satunya keluarga yang dia miliki hanyalah sang kakek, setelah kepergian kedua orang tua dalam sebuah kecelakaan saat Widuri berusia kecil.
"Pergilah dan tidak usah kembali kalau itu maumu," katanya lagi. "Kakek hanya ingin melihatmu menikah sebelum kakek meninggal. Apa itu sulit?"
Tanpa terasa bulir hangat menggenangi kedua manik coklat Widuri, dia tidak mungkin mengatakan hal sebenarnya pada kakek mengenai Reno. Calon suami pilihan kakek.
"Apa itu sulit untukmu, Widuri?"
"Kakek aku mohon, aku tidak ingin menikah saat ini. Aku bahkan belum menyelesaikan kuliahku, bagaimana dengan masa depan dan cita-citaku kalau aku menikah lalu punya anak," Widuri berfikir keras mencari alasan apapun itu.
"Kau jangan banyak alasan, jika hanya alasanmu itu kenapa kau memilih cuti dari kampus?"
Widuri memejamkan mata, nyatanya mencari alasan saat situasi mendesak itu sangat sulit.
"Itu ya karena ... Aku...!"
cus lah update k. yg banyak