Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan untuk Arum
"Rum, mendingan kamu batalin aja janji buat kencan sama Yudis di hotel bintang lima. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa," ujar Hana di sela-sela pekerjaannya.
"Kenapa kamu malah rese gini, sih? Bukannya kemarin malam kamu ikut senang kalau aku jadian sama Yudis?" ketus Arum merasa gusar.
"Bukan apa-apa, Rum. Yudis tuh nggak sebaik kelihatannya. Aku cuma takut kamu dicelakai sama dia," sanggah Hana.
Arum menyunggingkan senyum sudut kanan bibirnya seraya berkata, "Kenapa kamu berpikir kalau Yudis bakal mencelakai aku, sih? Apa kamu pikir dia itu psikopat yang nggak punya perasaan? Ayolah! Di mana-mana itu, sepasang kekasih yang saling mencintai mustahil mencelakai pasangannya. Yang ada justru Yudis bakal melindungi aku kayak permata."
Hana menggigit bibirnya sambil berkacak pinggang. Entah harus dengan cara apa ia membuktikan bahwa Yudis memang memiliki niat buruk. Pesan WhatsApp yang diterimanya semalam pun ternyata sudah dihapus oleh Yudis. Hilang sudah bukti yang seharusnya diketahui oleh Arum.
"Udah, ya. Mending sekarang kita kerja lagi. Antarkan pesanannya, dan kamu nggak usah sok-sokan nasihati aku. Oke?" kata Arum, sambil mengambil nampan berisi hidangan pembeli.
"Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, Rum. Yudis tuh nggak sebaik kelihatannya. Percaya, deh, sama aku," tegas Hana, berusaha meyakinkan.
"Bilang aja kalau kamu itu berubah pikiran dan iri sama aku," ketus Arum, sembari mendelik, lalu melengos membawa pesanan ke meja pembeli.
Melihat reaksi sahabatnya yang acuh tak acuh, membuat Hana semakin geram. Belum lagi panggilan masuk di ponselnya, bikin perasaan gadis itu tak karuan saja. Hana mengangkat panggilan masuk itu, lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
"Halo. Dengan siapa ini?" sapa Hana, berusaha menurunkan nada bicaranya.
"Gimana dengan usaha kamu memperingati Arum? Apakah berhasil?" tanya Yudis dari seberang telepon.
"Sialan! Apa yang sudah kamu lakukan pada Arum sampai dia nggak mau dengerin aku? Jangan-jangan kamu sudah ngasih guna-guna sama dia. Ayo ngaku!" bentak Hana.
"Guna-guna? Aku nggak sekuno itu, Hana. Kalaupun aku mau memainkan sihir, sudah aku lakukan padamu dari dulu," sanggah Yudis, sambil terkekeh-kekeh.
"Kalau begitu, batalkan acara makan malamnya. Aku nggak mau Arum kenapa-kenapa," perintah Hana bersungut-sungut.
"Tidak akan, sampai kamu mau jadi pacar aku."
"Aku nggak akan pernah sudi pacaran sama cowok freak kayak kamu."
"Oke. Jadi artinya kamu setuju, ya, aku melenyapkan Arum?"
"Enggak! Jangan lakukan itu. Aku mohon."
"Hana ... Hana. Kamu memohon untuk keselamatan Arum, tapi masih saja menuruti ego kamu. Aku cuma ngasih kamu dua pilihan. Pacaran sama aku atau Arum dilenyapkan. Nggak ada pilihan lain."
"Aku bakal cari cara lain."
"Oke. Silakan. Aku nggak bakal menghalangi kamu, kok," pungkas Yudis menutup teleponnya.
Mengetahui panggilan sudah berakhir, Hana mengembuskan napas berat. Dari area dapur, seorang chef memanggilnya untuk segera mengantar pesanan. Sontak, Hana terhenyak, kemudian bergegas mengantarkan makanan.
Adapun Arum, tampak tergesa-gesa menaruh nampan ke tempat semula. Ia melepas apron, lalu meminta izin pada staf kafe untuk pergi ke luar. Alasan kepentingan mendadak membuatnya mudah mendapatkan izin untuk pergi ke salon dan mempercantik diri.
Di sisi lain, Hana yang melihat Arum pergi, hanya bisa menatap nanar sambil menghela napas dalam-dalam. Tugasnya sebagai pelayan kafe harus tetap berjalan sampai malam tiba. Ia perlu bersabar, mengingat keterbatasan karyawan setelah Arum mendapatkan izin pulang lebih awal.
***
Kelap-kelip lampu yang menerangi bangunan di tengah kota, seakan menjadi pemandangan indah saat malam tiba. Arum berjalan dengan anggun ke dalam restoran mewah, sambil bergandeng tangan dengan Yudis.
Betapa bahagia hati gadis berambut pendek itu tatkala memasuki ruangan luas nan megah yang baru pertama kali ia kunjungi. Ia serasa bermimpi, bahwa dirinya akan diperlakukan bagaikan ratu oleh Yudis. Selain memiliki paras rupawan, pria itu tahu betul caranya memperlakukan perempuan.
"Terimakasih, ya, udah ngajak aku ke tempat sebagus ini. Jujur aja, aku masih merasa canggung dengan semua ini," ucap Arum, tampak sungkan.
Yudis mengulas senyum seraya berkata, "Nggak apa-apa. Wajar, kok, kalau kamu canggung. Ini kali pertamanya kamu ke sini, kan?"
Arum mengangguk cepat. "Maaf, ya, kalau aku bersikap agak norak. Soalnya aku belum pernah diajari sopan santun ala konglomerat sama orang tua. Maklum, dari kecil sampai sekarang, aku tinggal di lingkungan sederhana."
"Aku memaklumi itu. Tenang saja," ujar Yudis.
Yudis menoleh sebentar pada pelayan yang kebetulan melintas di dekat mejanya. Ia mengangkat sedikit tangannya, lalu menggerakkan dua jari seakan mengisyaratkan agar sang pelayan datang menghampirinya. Pria itu pun memahami isyarat Yudis, sambil membawa daftar menu pada sepasang sejoli itu.
"Silakan, Tuan dan Nyonya mau pesan apa?" sapa pria yang merupakan pelayan itu sambil menyerahkan menu kepada dua pengunjung restoran di depannya.
Yudis membaca sebentar menu yang disodorkan oleh pelayan, lalu mendongak menyerahkan daftar menu. "Saya pesan steak dan red wine."
Pelayan menerima daftar menu, kemudian menuliskan pesanan Yudis di catatan kecil. Selanjutnya, ia beralih menatap Arum. "Dan, Nyonya, mau pesan apa?"
"Saya pesan seafood dan jus jeruk," jawab Arum sambil menyerahkan daftar menu pada pria itu.
Setelah menulis pesanan Arum dan Yudis, pelayan segera pergi menyerahkannya ke dapur. Sementara itu, Arum tersenyum memandangi Yudis yang begitu tampan dan berkelas dengan setelan kemeja putih berbalut blazer hitam dengan celana bahan berwarna senada. Ia tak menyangka, bahwa dirinya akan mengalami kencan romantis dengan pria tampan di hadapannya.
"Ada apa, Arum? Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?" tanya Yudis menatap heran.
"E-Enggak. Aku cuma suka aja lihatin wajah kamu. Kamu ganteng. Apa kamu ini blasteran?" jelas Arum, merasa gugup.
"Ya. Ayahku orang Bali, ibuku berasal dari Italia. Kenapa emangnya?"
"Wah, pantesan! Aku taunya cowok Italia itu ganteng-ganteng kayak kamu," decak Arum terkagum-kagum memandangi Yudis.
Yudis tersenyum simpul. Pujian dari Arum seakan hanya angin lalu di telinganya. Arum tak lebih dari sekadar alat, bukan tujuan utama.
"Oh, ya. Apa sebelumnya kamu sempat punya pacar? Aku yakin, cewek secantik kamu pasti banyak yang suka," tanya Yudis memandang Arum tanpa berkedip, seolah terkesima oleh penampilan gadis itu malam ini.
"Ya, aku sempat punya pacar. Tapi ... Aku menjalin hubungan sama dia secara diam-diam," jelas Arum, merasa sungkan.
"Diam-diam? Maksudnya, kamu jadi kekasih gelap dari cowok itu?" Yudis mengernyitkan kening.
"Ya ... Kamu pasti tahulah maksudnya ke mana."
Yudis mengangguk pelan. "Sebagai sesama perempuan, bukannya kamu seharusnya mengerti apa yang dirasakan kekasih asli cowok itu? Aku yakin, perempuan itu pasti sakit hati kalau sampai tahu pacarnya berselingkuh sama kamu."
Arum terkekeh. "Apa peduliku soal itu? Yang jelas, aku sama dia udah cocok. Kamu mau tau cowok mana yang aku pacari?"
Yudis mengangguk cepat, rasa ingin tahunya akan pribadi Arum kian melambung tinggi. "Siapa?"
"Satria," jawab Arum.
Dahi Yudis semakin berkerut ketika mendengar nama itu. "Satria? Bukannya dia pacarnya Hana?"
"Iya. Tapi kamu jangan bilang-bilang sama Hana, ya," bisik Arum.
"Tenang aja. Aku bisa jaga rahasia kok," sahut Yudis. "Ngomong-ngomong, apa yang bikin kalian menjalin hubungan secara diam-diam? Apa kamu emang lebih disukai oleh Satria?"
"Jelaslah. Kamu sendiri mau ngajak aku ke sini daripada jalan sama Hana," cetus Arum dengan percaya diri.
Yudis tertawa kecil sambil membuang muka.
"Kenapa reaksi kamu kayak gitu?" Arum tersinggung.
"Kasusnya beda, Arum. Kamu menjalin hubungan dengan Satria yang masih punya ikatan asmara sama Hana, sedangkan aku ditolak mentah-mentah oleh perempuan yang sama. Kamu nggak bisa membandingkan itu," tutur Yudis terkekeh-kekeh.
"Tapi kamu sama Satria sama-sama milih aku, kan? Berarti aku ini lebih unggul dari Hana," tegas Arum.
"Baiklah. Anggap saja begitu," kata Yudis, enggan memperpanjang perdebatan. "Kalau boleh tau, selain cantik, apa alasan Satria memilih berselingkuh sama kamu? Apa kamu punya sesuatu yang lebih baik dari Hana?"
"Tentu saja. Hana itu masih polos. Jangankan ciuman, pelukan aja nggak mau. Sedangkan Satria itu pria dewasa, pasti ada dong dorongan hasrat buat berhubungan intim," jelas Arum.
"Jadi, alasan Satria memilih kamu itu salah satunya karena bisa diajak tidur? Hm ... Menarik." Yudis mengangguk takzim.
Di sela-sela obrolan mereka, ponsel Arum terus saja bergetar. Gadis itu meminta izin pergi ke toilet untuk mengangkat panggilan di ponselnya. Yudis pun mempersilakannya.
Bersamaan dengan perginya Arum, hidangan pesanan diantarkan oleh pelayan ke meja Yudis. Pria itu menatap hidangan itu dengan saksama sambil mengulas senyum simpul.
"Dasar jalang. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk membalas pengkhianatan kamu pada gadis pujaanku," desis Yudis dengan sinis.