Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 Amanda Salah Paham
Amanda mengusap air matanya dengan kasar. Selepas sholat maghrib ia berniat untuk pulang saja. Rasa sakit yang ia rasa begitu perih. Melihat pemandangan yang begitu menusuk hati.
Mengapa Amanda justru menghindarinya? Ia tidak mau karyawan rumah sakit mengetahui hubungan spesialnya dengan Dikara. Cukup Irwan dan Meila yang tahu. Walaupun Meila baru kemarin mengetahuinya, tapi kenapa justru Dikara lebih bersikap manis pada Meila daripada dengannya. Sungguh patut untuk dicurigai.
Meila diam-diam mengikuti Amanda sampai ke parkiran. Ini atas perintah Dikara yang begitu mengkhawatirkan kondisi Amanda saat ini.
"Amanda aku boleh ikut?" tanya Meila menghentikan langkahnya begitu dirinya sudah dekat dengan Amanda.
Amanda yang baru saja membuka pintu mobil, kemudian menutupnya kembali. Ia menatap langit, berharap air matanya tidak tumpah saat itu. Lalu ia pun menoleh.
"Kenapa tidak ikut makan bersama mereka?" tanya Amanda berbasa-basi.
"Aku merasa tidak enak kalau tidak ada kamu di sana. Apalagi kalau harus makan bersama dr. Dikara,"
Amanda tertawa sumbang, ia menatap Meila dengan wajah merah padam.
"Kenapa? Bukannya senang ya, bisa makan bersamanya? Kalau kamu suka dengan dr. Dikara, kenapa tidak bilang sih, Mei? Kamu harus tahu, aku dan Dikara itu sudah bertunangan. Sebentar lagi kami akan menikah. Tapi semuanya rusak gara-gara kamu. Mau kamu apa sih, Mei? Kamu mau merebutnya dari aku?Aku yakin kamu engga akan berhasil. Dan perlu kamu tahu, aku menghindar bukan karena aku takut. Aku tidak mau reputasi kekasihku itu hancur gegara wanita,"
Meila melongo. Dia tidak mengerti dengan ucapan Amanda yang terkesan menuduhnya.
"Hei kamu bicara apa? Aku sama sekali tidak mengerti,"
"Aku berbicara fakta. Kau dan dokter Dikara. Kalian punya hubungan khusus, kan?" tuduhnya lagi.
Meila bergeming ditatap Amanda dengan tajam. Sepersekian detik ia pun mengakui kebenaran.
"Ya kamu benar. Kami memang mempunyai hubungan khusus," jawab Meila yang membuat Amanda terhenyak.
Amanda tertawa sumbang. Ia sudah menduga hal itu. Apalagi mereka sering bertemu di meja operasi. Amanda membalikkan badannya dengan rasa kecewa dan sedih. Ia merasa sudah mendapatkan kejelasan dari orangnya langsung. Tinggal pengakuan dari Dikara.
Amanda membuka pintu mobilnya kembali.
"Tapi bukan sebagai pasangan kekasih, melainkan sebagai tim kerja. Aku, Dikara dan Irwan. Kami satu tim dalam penanganan permasalahan kandungan," teriak Meila berusaha meluruskan permasalahan.
Amanda berhenti dan menoleh ke arah Meila, ia merasa malu dan salah paham. Ia tidak menyangka, hubungan Meila dan Dikara hanya sebatas hubungan profesional sebagai tim kerja. Seharusnya Amanda lebih memahaminya sebagai sahabat. Karakter Meila yang ramah pada semua orang justru terlupakan ketika ada perubahan dalam diri Dikara.
"Oh, maaf... aku salah paham," kata Amanda dengan nada yang lembut dan malu, ia merasa tidak enak hati.
"Aku...aku salah menilaimu. Ini karena perlakuan Dika sangat berbeda tadi. Ia lebih acuh padamu. Aku merasa terabaikan. Sekali lagi aku minta maaf,"
Meila tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tidak apa-apa, Aman kok. Aku sangat mengerti. Tapi tolong jangan salah paham lagi, ya! Sekali lagi aku tegaskan, kami tidak ada hubungan yang spesial," tegas Meila mengusap bahu Amanda dengan lembut.
Amanda mengangguk dan tersenyum, merasa lega dan bahagia karena telah menyelesaikan kesalahpahaman dengan Meila.
"Kita balik lagi ke sana yuk! Sayang lho masakan kita, kalau hanya mereka berdua yang makan. Lagi pula aku yakin pasti mereka tengah menunggumu untuk makan malam bersama. Ayolah Man, perutku sudah bunyi ini sejak tadi!" Meila berusaha membujuk Amanda untuk kembali ke tempat makan.
Tampak Amanda diselimuti keraguan, tapi tidak bisa dipungkiri rasa rindu itu begitu menyeruak kembali dalam kalbunya.
Meila menghampiri, bergelayut di lengan sahabatnya itu, masih berusaha membujuknya kembali.
"Mau ya?"
"Baiklah aku ikut makan bareng kalian," akhirnya Amanda memutuskan dengan kondisi yang sedikit lebih tenang.
"Nah gitu dong. Pasti dr. Dikara senang melihatmu kembali," kata Meila membuat sudut bibir Amanda mengembangkan senyum.
Mereka jalan beriringan. Angin malam menerpa rambut Amanda yang panjang, hitam bergelombang. Sementara balutan hijab Meila menari-nari tertiup angin.
Terlihat 2 orang lelaki tengah bersenda gurau. Mereka berhenti begitu melihat mereka datang.
"Lama sekali kalian. Perut kita udah lapar tahu!" protes Irwan yang merasa perutnya sudah konser sejak tadi.
"Iya maaf dok. Ini tadi dr. Amanda sepertinya mau bicara empat mata deh sama dr. Dikara. Ada waktu kan, dok?"
Dikara mengerutkan keningnya. Menatap Amanda sekilas. Malam ini Amanda lebih banyak diam. Tidak seperti biasanya yang selalu tampak ceria dan cerewet.
"Boleh tapi tidak sekarang ya!" tolak Dikara lembut. Seraya menatap makanan lezat yang ada di hadapannya.
"Kenapa?" tanya Amanda mengerutkan keningnya, seolah Dikara memang sengaja untuk menghindarinya.
"Kita kan harus makan dulu. Perutku sudah lapar. Tidak kah kalian juga merasakan hal yang sama. Kalau kita ngobrol terus, lantas kapan makannya?"
Amanda terlihat sedikit kecewa dengan jawaban Dikara, tapi ia tidak ingin menunjukkan perasaannya di depan Meila dan Irwan. Ia hanya mengangguk dan tersenyum, "Oh, iya. Aku juga lapar. Mari kita makan dulu,"
Meila yang memperhatikan situasi tersebut, mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan berbicara tentang makanan yang telah disiapkan.
"Iya, ayo kita makan dulu. Ini masakan spesial juga dari dr. Amanda. Makanan spesial yang lezat untuk kita semua," Meila mengambil piring yang akan ditujukan pada Irwan.
"Baik aku ambilkan ya!" Amanda dengan cepat mengambil piring untuk mengambilkan nasi buat Dikara namun ditolak.
"Tidak perlu. Aku bisa ambil sendiri," Dikara tersenyum.
Senyuman Dikara membuat hati Amanda justru terasa sakit. Tidak biasanya Dikara menolak diperlakukan bak seorang raja. Kadang disuapi pun Dikara selalu menerima dengan senang hati.
Amanda merasa sedikit kecewa dan sakit hati dengan perlakuan Dikara yang menolak bantuannya. Ia tidak mengerti mengapa Dikara tiba-tiba berubah seperti ini. Ia merasa bahwa Dikara benar-benar ingin menjauhinya.
Amanda mencoba berbaik sangka, ia kembali duduk di tempatnya, tapi ia terus memperhatikan Dikara yang sekarang terlihat berusaha menjauhinya. Dia penasaran, ada apa sebenarnya dengan Dikara?