Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 12 Pertemuan Nadia dan Maya
Sebelum merapikan barang-barangnya dan bersiap pulang, Nadia membuka aplikasi pesan di ponselnya. Ia merasa butuh seseorang untuk diajak bicara seseorang yang bisa membantunya memahami situasi yang rumit ini. Pilihannya jatuh pada Maya, sahabatnya yang selalu bisa diandalkan.
Nadia mengetik pesan dengan cepat:
"Maya, kamu sibuk nggak malam ini? Aku butuh cerita. Penting."
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan balasan.
"Nggak sibuk. Ketemu di kafe dekat kantor kamu aja, ya? Aku otw sekarang."
Nadia merasa lega. Maya memang selalu ada di saat ia butuh dukungan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Nadia segera menuju kafe yang telah mereka sepakati.
Di kafe itu, Maya sudah menunggu di meja sudut dengan secangkir latte di depannya. Begitu melihat Nadia masuk, ia melambaikan tangan.
"Nad! Sini," seru Maya dengan senyum hangat.
Nadia duduk di hadapan Maya, memesan secangkir teh hangat sebelum memulai pembicaraan.
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," kata Nadia, memainkan sendok kecil di atas meja.
Maya mencondongkan tubuhnya sedikit, menunjukkan perhatian penuh. "Coba pelan-pelan aja. Ada apa?"
Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Reza."
Wajah Maya langsung berubah serius. "Reza? Maksudmu mantan pacarmu yang tiba-tiba hilang itu?"
Nadia mengangguk, matanya menatap gelas tehnya yang masih mengepul. "Dia tiba-tiba kirim pesan hari ini. Dia minta aku ketemu besok malam. Katanya, dia punya sesuatu yang harus dijelaskan."
Maya mengerutkan dahi. "Dan kamu gimana? Mau ketemu dia?"
"Itu dia masalahnya. Aku nggak tahu, May. Sebagian dari diriku penasaran, aku pengen tahu kenapa dia pergi dulu. Tapi di sisi lain, aku takut... takut kalau aku terluka lagi."
Maya menghela napas pelan. "Aku ngerti. Reza itu jelas bagian besar dari hidupmu dulu, dan wajar kalau kamu masih punya banyak pertanyaan. Tapi, Nad, kamu harus pastikan satu hal: jangan terburu-buru ambil keputusan. Jangan biarkan perasaan lama membuat kamu kehilangan kendali."
Nadia menatap Maya, mencari kepastian di matanya. "Jadi, menurut kamu aku harus apa?"
"Kalau aku jadi kamu, aku bakal bertemu dia," kata Maya jujur. "Tapi aku bakal siapin hati dulu. Kalau dia benar-benar punya alasan kuat, kamu mungkin bisa dengar penjelasannya. Tapi kalau dia cuma datang untuk bikin kamu bingung lagi, jangan biarkan dia mengacaukan hidupmu yang sekarang."
Nadia terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Maya. "Aku takut, May. Aku takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semuanya."
Maya meraih tangan Nadia, menggenggamnya erat. "Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Nad. Apa pun yang terjadi, aku di sini. Kamu nggak sendirian."
Mendengar itu, Nadia merasa sedikit lebih tenang. Sahabatnya benar. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menghadapi ini dengan kepala dingin.
Setelah berbicara cukup lama, mereka memutuskan untuk pulang. Maya memastikan Nadia merasa lebih baik sebelum berpisah di depan kafe.
Setelah berpisah dengan Maya, Nadia berdiri di tepi jalan, menunggu taksi yang biasa lewat di sekitar area kafe. Angin malam berembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Namun, sudah hampir lima belas menit berlalu, tak ada satu pun taksi yang melintas.
Nadia melirik ponselnya, mempertimbangkan untuk memesan ojek online. "Sepertinya taksi hari ini lagi sulit," gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia membuka aplikasi dan memesan ojek.
Beberapa menit kemudian, seorang pengemudi ojek datang dengan helm tambahan di tangan. "Mbak Nadia, ya?" tanya pria itu, memastikan.
"Iya, Pak," jawab Nadia sambil tersenyum kecil. Ia mengenakan helm yang diberikan lalu naik ke motor. "Ke Apartemen Harmoni, Pak."
"Siap, Mbak," jawab pengemudi itu sebelum melaju perlahan di jalan yang masih agak basah.
Sepanjang perjalanan, Nadia terdiam, membiarkan pikirannya melayang. Jalanan malam yang sepi dengan lampu jalan yang redup membuat suasana terasa hening. Pikirannya kembali ke percakapan dengan Maya tadi. Kata-kata sahabatnya masih terngiang-ngiang, memberikan Nadia semangat meskipun hatinya masih diliputi keraguan.
"Mbak, kerja di daerah sini ya?" suara pengemudi ojek tiba-tiba memecah keheningan.
"Iya, Pak. Kantor saya nggak jauh dari sini," jawab Nadia ramah.
"Biasanya naik apa, Mbak? Jarang banget saya lihat yang naik ojek dari sini."
"Biasanya taksi, Pak. Tapi hari ini kayaknya lagi susah cari taksi," jawab Nadia sambil tersenyum kecil.
"Oh, gitu ya. Memang kalau malam kadang agak susah, apalagi kalau habis hujan," balas pengemudi itu.
Percakapan sederhana itu membuat Nadia merasa sedikit lebih santai. Ia tersenyum sambil menatap jalanan di depannya.
Tak butuh waktu lama, motor ojek itu akhirnya berhenti di depan apartemen Nadia. "Sudah sampai, Mbak," kata pengemudi sambil menurunkan standar motor.
Nadia turun, membuka helm, lalu menyerahkan uang pembayaran kepada pengemudi. "Terima kasih ya, Pak."
"Sama-sama, Mbak. Hati-hati di jalan kalau keluar lagi," balas pengemudi sambil tersenyum ramah.
Nadia melangkah masuk ke gedung apartemen, merasa lega akhirnya sampai di rumah. Meskipun perjalanan sederhana, malam ini terasa berbeda. Ada banyak hal yang masih berkecamuk dalam pikirannya, tetapi ia berusaha tetap tenang.
Setelah sampai di kamarnya, Nadia menutup pintu dan melepaskan sepatu. Ia berdiri sejenak di tengah ruangan, menarik napas panjang, mencoba melepaskan semua penat. "Besok akan jadi hari yang panjang," gumamnya sebelum berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Nadia berjalan menuju kamar mandi. Rasa lelah mulai terasa di seluruh tubuhnya, membuat langkahnya sedikit lamban. Di cermin kamar mandi, ia melihat bayangan dirinya yang tampak lelah tetapi masih memancarkan keteguhan.
Ia membuka keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin, membiarkan kesegaran mengusir kantuk dan sisa-sisa penat dari hari yang panjang. Nadia lalu mengganti pakaiannya dengan piyama nyaman yang selalu membuatnya merasa lebih rileks.
Setelah selesai, ia berjalan ke kamar tidurnya dan merapikan tempat tidur. Lampu ruangan ia matikan, menyisakan lampu tidur yang redup. Nadia berbaring di kasur, menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuhnya.
Namun, meskipun lelah, pikirannya masih berputar. Bayangan Reza, percakapan dengan Maya, dan segala hal yang terjadi hari ini kembali memenuhi kepalanya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengosongkan pikiran.
"Besok... semuanya akan terasa lebih baik," bisik Nadia pada dirinya sendiri.
Dengan perlahan, ia memejamkan mata. Detik demi detik berlalu, dan akhirnya, keheningan malam membawa Nadia ke dalam tidur yang tenang, menyelimuti tubuh dan pikirannya yang lelah.