Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Tetap Bandung
Bagian paling menyebalkan dalam hidup Sean adalah terlahir sebagai saudara kembar Zean. Sama-sama lemah iman, selama ini Sean menjalankan ibadah shalat subuh dengan sangat baik. Namun pagi ini imannya benar-benar diuji lantaran Zean yang sujud mendahului imam. Sungguh, Sean malu sekali dan ingin lari dari sana secepat mungkin.
"Memalukan, kau tidak pernah shalat subuh atau bagaimana?"
"Mana kutahu kalau imamnya baca doa qunut!! Kau tidak bilang sebelumnya."
Tidak jauh berbeda dari Sean, Zean juga sama malunya. Meskipun mereka tidak berada di shaf paling depan, tapi tetap saja itu memalukan. Sean berjalan semakin pelan, mana mungkin dia berani mendahului mertua dan papanya di depan sana.
"Astaghfirullah ... aku malu sekali."
Bukan sedang mengejek Zean atau bagaimana, dia juga masih sama bodohnya. Hanya saja, memang yang terjadi beberapa saat yang lalu agak sedikit memalukan. Bukan tidak mungkin seseorang yang imannya juga lemah tidak lagi khusyu dalam shalatnya.
"Sama, Se ... aku juga malu sekali, untung nanti siang aku sudah pulang."
Zean menghela napas lega, jelas saja hal itu sama sekali tidak melegakan bagi Sean. Wajah keduanya sama, dan Sean ingat betul usai shalat bahkan ada yang tertawa begitu melihat keduanya, sudah tentu Sean akan menjadi bahan tertawaan di lain waktu.
Tidak lagi ada pembicaraan di antara keduanya. Zean yang sengaja berjalan dengan merangkul pundak Sean menjelaskan jika keduanya teramat dekat. Entah apa misinya, yang jelas kedekatan mereka sempat membuat kiyai Husain kagum.
"Kau betah di sini?"
"Hm, aku betah ... entah berlebihahn atau tidak, tapi yang jelas aku benar-benar membutuhkan tempat ini."
Mata Zean membola, sungguh dia dibuat terkagum dengan pengakuan Sean. Sebagai seseorang yang sudah bersama Sean sejak bayi, pria itu adalah saksi bagaimana takutnya Sean dengan lingkungan semacam ini.
Bahkan, dia pernah menyabotase aliran listrik di masjid dan mengacaukan acara pengajian ibu-ibu sewaktu mereka duduk di bangku SMA. Lebih miris lagi, di antara banyaknya ibu-ibu pengajian itu termasuklah Kanaya dan Zia yang tidak lain oma dan juga mamanya.
"Keren ... kau benar-benar taubat, Sean?"
"Andai aku bilang iya, apa kau percaya, Zean?" tanya Sean yang paham adik kembarnya ini mungkin hanya akan tertawa lantaran merasa ini sebagai lelucon belaka.
"Percaya saja, tidak ada yang tidak mungkin. Istiqomah, Sean ... aku kagum padamu."
Sebenarnya hidup Sean sudah cukup baik sejak kembali ke rumah. Hanya saja, memang hidayah tidak datang secara sempurna. Mungkin pernikahannya bersama Zalina adalah salah satu langkah Sean dalam menjemput hidayah yang sesungguhnya.
"Setelah ini kau mau bagaimana? apa tidak sebaiknya kembali ke Jakarta saja? Papa juga butuh kau di perusahaan," tutur Zean sedikit merayu, tapi sungguh tidak begitu berharap pria ini benar-benar kembali ke perusahaan karena kinerja Sean hanya cocok untuk menjadi security dan juga tukang pukul.
"Aku tidak suka, pekerjaan itu membosankan ... aku ngantuk, kepalaku sakit, perutku mual dan aku tidak akan nyaman, Zean. Jadi sepertinya aku akan menetap di sini untuk sementara waktu."
Sudah Zean duga, dia memang akan mengatakan hal serupa. Sejak dahulu Sean memang tidak berubah. Dia tidak bodoh, Sean sangat pintar sebenarnya, empat tahun dia hidup dengan siasat dan kecerdasannya, dia sangat mampu. Namun, untuk menjalani peran di perusahaan memang tidak cocok.
Meski demikian, dia tetap menjadi pemegang saham tentu saja. Mikhail mempersiapkan masa depan putra dan putrinya dengan sangat adil. Jadi sekalipun Sean bebas dengan hidupnya, Mikhail juga sangat mengutamakan finansial putranya itu.
"Lalu bagaimana? Kau punya cita-cita mendirikan bengkel di kota ini?"
"Mungkin," jawab Sean singkat yang kini menatap nanar ke depannya.
"Kok mungkin, jawabnya harus yakin, Sean. Aku bicara begini agar kakak iparmu tidak memandangmu sebelah mata ... aku melihatnya saja seram, matanya menakutkan."
Sejak awal datang menemui keluarga Zalina baik-baik, Abrizam memang sudah menabuh genderang perang. Dia satu-satunya yang menolak dan tetap ingin memenjarakan Sean. Hingga, ketika Zean kembali datang, alih-alih membaik sorot kebencian itu masih sama jelasnya.
"Apa iya karena itu?"
"Sudah jelas, kakak iparmu itu buta ... bukankah dia punya televisi juga? Harusnya sedikit bisa mengenal dirimu, nama besar Opa, kekayaan Papa dan yang lain seharusnya cukup untuk membuat dia tersadar. Kenapa dia masih saja menganggapmu_"
"Zean ... tidak semuanya tentang harta dan popularitas, Abrizam mungkin tidak terima aku menjadi adik iparnya karena agamaku ... tidak perlu dipermasalahkan nama besar Opa atau kekayaan Papa, karena kenyataannya itu tidak berarti, Zean."
"Sean?"
Langkah keduanya terhenti, sontak pembicaraan itu mendadak serius hingga Sean bahkan menghela napas lebih dulu. Zean menatapnya lekat-lekat, cukup lama mengenal Sean, tapi memang dia menangkap perubahan dari dalam diri Sean.
"Aku juga sempat berpikir begitu, menampar Abrizam dengan harta yang kupunya dan mematahkan kesombongannya dengan cara yang sama ... ya, aku pernah berpikir bahwa itu adalah cara membuat dia diam."
"Akan tetapi, aku tidak melakukannya karena sadar hal itu tidak berguna. Tuhan sangat membenci hamba-Nya yang angkuh, menyombongkan apa yang hanya menjadi titipan dengan begitu bangganya ... maaf, Zean aku mungkin terdengar menjijikkan, tapi saranmu kali ini tidak akan aku ikuti."
Zean tertampar pagi ini, dadanya terhenyak dengan kalimat sederhana Sean yang membuatnya mendadak sadar betapa angkuh dirinya. Entah Zalina atau diri Sean sendiri yang mengubah caranya berpikir, tapi Zean benar-benar merasa Sean berubah.
"Sean ... kau benar-benar berub_"
"Kata ustadz begitu, aku nonton ceramahnya kemarin, Zean jadi kata-katanya agak sedikit lupa. Sesekali kau tonton, nanti aku kirim link videonya ya."
Mata Zean yang tadinya suah berbinar kini redup perlahan. Wajar saja dia mendadak bijaksana hingga Zean sendiri bingung dengan siapa dia bicara.
"Aku terlalu cepat memujinya."
.
.
- To Be Continue -