Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 04 - Sekecil Itu
"Kenapa shalatnya begini? Bukannya sama-sama? Sudah selesai atau bagaimana?"
Baru juga beberapa detik Sean di sini sudah dibuat bingung dengan apa yang dia lihat. Sepengetahuan Sean jika shalat berjamaah itu bersamaan, dan jika begini kenapa tidak di kamar saja. Hendak pada siapa dia bertanya, mana mungkin pada istrinya.
"Aku harus bagaimana? Shalat sendiri saja? Percuma ... aku lupa urutannya."
Shalat berjamaah mungkin saja dia bisa karena hanya mengikuti gerakan orang-orang di sekitarnya. Namun, jika harus asal melakukan shalat sendirian di tempat ramai begini, kemungkinan orang-orang akan sadar kesalahannya.
"Ays Papa aku harus bagaimana?"
Sean adalah pria pemberani, tidak hanya kejahatan kecil bahkan membobol bank juga pernah dia lakukan. Anehnya, ketika di sini dia benar-benar merasa kecil seakan tidak berarti hingga untuk bertanya pada seseorang di sebelahnya saja dia takut.
"Nak Sean?"
Bak menemukan titik terang di antara ruang gelap gulita, Sean menghela napas penuh kelegaan kala mendengar suara seseorang yang dia kenal. Kiyai Hasan, pria itu tersenyum teduh hingga Sean merasa sedikit lebih baik.
"Syukurlah ada Kiyai, aku ingin bertanya sesuatu."
"Apa itu?" tanya Kiyai Hasan tertawa pelan, satu hal yang dia lihat dari mata pria ini dan tidak banyak dimiliki pria lain, kejujuran dari hatinya.
"Di sini kenapa shalatnya berbeda-beda? Apa memang begitu, Kiyai?" tanya Sean sejujur-jujurnya dan dia memang butuh penerangan.
"Tidak begitu, Nak ... mereka sedang shalat Qobliyah subuh," jawab kiyai Hasan lembut tanpa menganggap hina Sean yang memang tidak memahaminya, bagaimana dia kemarin sewaktu akad sudah menjelaskan jika Sean memang butuh bimbingan.
"Qobliyah subuh? Subuh ada berapa sebenarnya?"
Sebanyak itu yang tidak Sean ketahui, tidak salah jika orang-orang selalu menganggapnya bodoh. Betapa Sean menyia-nyiakan waktu hingga hal sekecil itu teramat asing di telinganya. Bukan karena Zia dan Mikhail tidak mendidiknya, sebagai orangtua tentu saja ingin keturunannya baik-baik. Namun, memang dasar Sean saja yang berontak sejak sekolah.
"Qobliyah subuh maksudnya bagaimana, Kiyai?" Tidak peduli akan dianggap bodoh, karena memang dia tidak tahu tentang kebenarannya.
"Shalat Qobliyah subuh adalah shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan sebelum shalat subuh yang keutamaannya luar biasa ... Aisyah radhiyallau 'anha meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : dua rakaat sebelum fajar (salat Subuh) lebih baik (nilainya) dibandingkan dunia dan seisinya."
"Benar begitu, Kiyai?"
"Benar, ayo kita lakukan juga."
Niat Sean hanya bertanya makna, tapi kiyai Hasan justru memberinya ilmu yang begitu berarti pagi ini. Sean mengucapkan terima kasih dengan senyum tulus setelah selesai menunaikannya. Tanpa Sean duga jika kiyai Hasan justru menariknya untuk memenuhi shaf bagian depan.
Itu artinya, kemungkinan berdekatan dengan mertua dan juga para kakak iparnya. Jelas saja Sean semakin kacau balau, kemarin malam saja dia sudah melihat amukan kakak iparnya. Sungguh, Sean saat ini benar-benar berserah diri andai nanti kembali dimaki.
"Sean ... jadi imam mau?" tanya Abrizam dengan tatapan tak terbaca yang membuat Sean menunduk seketika.
"Zam, jangan banyak ulah sudah sana," tutur kiyai Husain meminta putranya yang pertama untuk maju segera.
"Hanya tawaran, Abi, siapa tahu Sean memang mampu ... buktinya Ustadz Irham saja kalah. Ayo Sean, kami ingin mendengar suara indahmu."
Mata Sean membola ketika mendengar ucapan pria itu. Siapapun bisa menjelaskan jika dia memang benar-benar buta, lantas apa sekarang Abrizam tengah berusaha mempermalukannya di hadapan banyak orang? Sean mengepalkan tangan mendengar ucapan kakak iparnya.
"Ayo, Sean ... bukankah kau tahu bahwa syarat menikahi Zalina adalah matang secara Agama, buktikan bahwa pernyataan saudaramu itu memang benar."
Sean mengeraskan rahangnya. Susah payah dia menahan agar emosinya tidak terpancing. Memang Zean yang mengatakan bahwa Sean mampu bertanggung jawab dari segala sisi. Tanpa pria itu ketahui, jika hal itu membuat posisi Sean semakin sulit.
"Lain kali mungkin Sean bisa, untuk kali ini aku saja."
Beruntung saja kiyai Hasan belum memutuskan pulang hingga hari ini. Sean sedikit lebih tenang, setidaknya ada yang menyelamatkan dia pagi ini. Esok dan seterusnya, akan terus dia hadapi walau mungkin saja sulit.
Hatinya sempat panas, jiwanya benar-benar terbakar, tapi kembali lagi memang Sean banyak kekurangan. Sebagai kakak wajar saja Abrizam marah lantaran adiknya jatuh ke tangan pria minim Agama sepertinya, sungguh Sean sangat sadar akan hal itu.
"Kuatkan hamba ya, Allah."
Sean menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian menghelanya perlahan. Hati Sean sedikit lebih tenang usai kiyai Hasan meloloskan takbir di tengah kesunyian, hanya ada ketenangan dan bermodalkan niat shalat yang sempat Zalina ajarkan padanya sebelum pergi, Sean melakukan sujud subuh pertamanya setelah sekian lama.
.
.
- To Be Continue -