"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
"Intinya gini aja. Saya udah maafin Ibu. Maafin saya dan keluarga saya juga, apapun itu kesalahan kami, saya minta maaf," ucap ibuku.
"Arlita," panggil mama Dani. Entah mengapa aku selalu menangis jika mendengar suaranya. Ada rasa takut yang teramat sangat tak bisa aku kendalikan. Tapi tidak mungkin aku Phobia Mama Dani.
"Udah, jangan dipaksa kalo dia ga mau," ucap Mama Arzio.
"Saya ...." Kalimat Mama Dani terhenti. "Minta maaf," lanjutnya yang terdengar sedang menangis.
"Kamu boleh marah ke saya, Arlita," ucapnya lagi.
Aku hanya bisa menangis. Dadaku rasanya sakit. Sejuta kenangan dan perjuanganku bersama Dani membanjir di kepala. Kalimat-kalimat hina dan caci maki mama Dani di waktu itu masih tersimpan di hatiku, kini lukanya kembali terasa menyakitkan.
"Saya nemu ini di asrama Dani," ucap Mama Dani mendorong selembar surat.
Arzio mengambilnya dan membuka isi dari surat tersebut.
"Sekarang Dani udah ga ada. Arlita dan saya akan menikah. Jadi, jangan ganggu dia lagi. Jangan bawa-bawa Arlita ke dalam masalah keluarga Anda," ucap Arzio.
"Tapi kamu masih nunggu Dani kan?" tanya Mama Dani.
Arzio merobek kertas tersebut menjadi serpihan kecil dan dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Bahkan aku belum sempat membacanya.
"Saya akan menikah dengan Arzio! Saya tidak menunggu Dani lagi, seperti yang Anda mau. Saya akan mengirim undangannya jika Anda bersedia untuk hadir," ucapku dengan gemetar.
"Lita!" tegas ibuku.
"Ini orang yang dulu pernah ngecaci maki Ibu," ucapku menahan air mata.
"Ibu udah maafin," bantahnya.
"Tapi aku masih sakit hati! Iya! Ibu saya cuma tukang cuci baju di rumah Anda! Kenapa? Segitu terhinanya pekerjaan ibu saya?! Silakan hidup berbahagia dengan uang Anda yang sangat banyak itu. Saya juga akan bahagia dengan kehidupan saya sendiri," ucapku.
"Tapi kebahagiaan saya .... Dani," beliau menangis lagi.
Aku benci bagian yang ini, maka aku tidak akan menceritakannya.
***
"Ini buat calon istri Pak Dokter," ucap Arzio menaruh semangkok seblak.
Seblak hangat dan pedas di musim hujan dimakan bersama orang yang bikin nyaman.
"Abis ini mau apa lagi?" tanya Arzio.
"Ini aja belum habis. Habisin dulu, kalo masih mau makan, baru nyari lagi. Kalo udah kenyang, ya pulang," omelku.
"Aku mau nanya, ibu bilang kamu ada bikin rumah, di mana?" tanya Arzio.
Aduh! Padahal aku sudah merahasiakan itu dari semua orang.
"Di Sukabumi, tapi di kampungnya," jawabku.
"Kenapa bikin jauh-jauh?"
"Di sana masih agak murah."
"Tapi kan kamu ga kerja, dapat duit dari mana bikin rumah? Ngepet ya?" tebaknya yang langsung ku pukul pelan pakai sendok.
"Iya sih, ngepet. Soalnya melihara Babi. Dikasih duit terus dari Babi," jawabku.
"Duit yang aku kasih, kamu bikin rumah?"
"Iya, lagian ga tau juga duitnya buat apa."
"Ya kan kamu bisa pake buat belanja beli tas, beli mobil, beli HP baru, atau apa kek."
"Ini aja udah cukup, mending beli rumah di deket gunung, biar ga kebanjiran."
"Ha ha! Ntar ajakin nenek ke situ, siapa tau mau bikin juga. Rumah udah reot gitu masa masih dipake," ejek Arzio pada neneknya.
"Ya ga bakal mau lah! Nenek kan tinggal di situ bukan karena reot. Tapi itu rumah penuh kenangan. Kamu juga pas masih kecil kan tinggal di sana. Nenek juga bilang kalo nanti udah ga ada, rumahnya mau dikasih ke kamu. Tapi papa kamu ga terima, soalnya itu hak waris papa," jelasku.
"Ya kalo papa mau tinggal di situ, silakan. Aku kan tinggal di Sukabumi," godanya membuatku tersenyum.
"Emang mau tinggal di hutan?" tanyaku.
"Asal ada kamunya, siap."
Arzio menaruh ampela dan hati ayam campuran seblak miliknya ke mangkukku.
"Aneh," ejekku.
"Hindari jeroan," bantahnya.
"Ya, hindarin aja. Biar aku yang makan semua," balasku.
Aku masih memerhatikan wajah Arzio yang tengah makan dengan lahap. Dia tidak berubah sama sekali. Masih sama seperti saat aku mengenalnya di sekolah.
"Eh makan. Mau disuapin?" godanya.
Tidak ada yang memperlakukanku seperti itu. Hanya dia.
"Masih suka malu-malu gitu sama calon suami," godanya lagi.
"Apaan sih?! Diliatin abang seblak!" omelku yang langsung menyantap seblak milikku.
Selesai jajan seblak, aku mau sate jeroan ayam. Sate ampela kuah kacang adalah yang terbaik.
Setelah puas jajan, kami pulang. Arzio memberiku kecupan di jidat sebagai tanda perpisahan hari ini.
***
"Gilak ya! Pacaran ga ngajak-ngajak!" omel Rina yang baru sampai di tempat makan. Kami sudah janjian untuk ketemu di sini. Ya sekedar mengobrol sekalian reunian setelah banjir berlalu.
"Pacar lo mana?" ejek Rina.
Gadis itu langsung memeluk lengan Xia. "Wanita karir, ga sempet nyari pacar, ya ga Xia?" Dia mencari pembelaan.
"Sorry, Rin. Gue berkarir, kuliah, dan pacar gue banyak," balas Xia membuat kami tertawa.
"Kalo pacar lo banyak, bagi gue satu sabi kali. Gue kan juga mau kenal sama koko koko chindo," balas Rina.
"Sorry, Rin. Cowok gue semuanya muslim."
"Njirr, kasih gue aja ga sih? Daripada sama lo, menentang Tuhan!"
"Ga menentang Tuhan! Lagian ini cuma pacaran!"
"Emang cowok lo berapa, Xia?" tanyaku.
"Lima," jawabnya dengan bangga.
"Dih banyak amat. Kasih Rina satu! Sedekah itu baik," ucapku sambil tertawa bersama Arzio.
"Sedekah sama yang membutuhkan itu memang baik, tapi kan Rina ga butuh," bantahnya.
"Dih, lo kira gue apaan?! Gue juga butuh pacar! Gue juga mau kali dianter-jemput pas kerja. Dijagain. Disayang-sayang!" omel Rina membuat kami tertawa.
"Gue ga pernah pacaran! Gue mau pacaran! Ajarin gue nyari pacar!" oceh Rina pada Liu Xian Zhing.
"Pertama, kalo lo mau nyari pacar, lo harus cantik. Modelan lo aja kayak gini, gimana mau dapet pacar?"
"Lo kira gue ga cantik?!" omel Rina.
"Mana ada cewek cantik pake baju gombrong kayak gini?!"
"Ini oversized! Norak lo!"
"Lo yang norak! Cewek pake oversized. Cewek pake crop top!"
"Crop top pale lo! Ini udah bagus juga."
Di tengah perdebatan Liu Xian Zhing dan Rina. Aku bersandar pada tubuh Arzio dan disuapinya kentang goreng.
"Mau saosnya," ucapku.
Arzio menuruti apa yang kumau.
"Dipakein kuah kacang enak kali ya?" Ide gila Arzio membuatku terheran-heran.
"Katanya anak chef, tapi masa makan kentang goreng pake kuah kacang, aneh!" ejekku.
"Namanya juga eksperimen."
Saat aku menoleh, rupanya Rina dan Xi sedang menatap jijik ke arah kami.
"Bisa musnah aja ga sih orang kayak lo berdua?" umpat Rina.
"Tau. Gue juga punya pacar, ga selebay itu tuh! Ga sampe nyender-nyender kayak ga punya tulang belakang!" omel Xia.
"Apa sih, berisik!" balasku.
~Cup! Arzio mengecup jidatku.
"Iuuueeeww," respons Xia dan Rina bersamaan.