NovelToon NovelToon
The Monster: Resilience

The Monster: Resilience

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Gerhana_

Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.

Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.

Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?

Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19: Power of Human

Setelah kejadian menegangkan sebelumnya, Wira dan kelompoknya masuk ke dalam rumah pria misterius itu. Suasana masih diliputi ketegangan. Pria itu dengan hati-hati membaringkan anaknya yang terlihat lemah di atas kasur sederhana. Ia menatap mereka dengan rasa terima kasih yang mendalam.

“Terima kasih atas bantuan kalian,” katanya dengan suara serak. “Aku tidak percaya, Ruo itu ternyata mundur karena kalian.”

Wira menyandarkan dirinya di dinding dan menjawab singkat, “Dia tidak takut pada kami. Dia takut pada ini.” Ia menunjuk ke arah tasnya, di mana granat kriogeniknya disimpan.

Rizki menambahkan, “Benar. Ruo itu mundur karena tahu dia akan kalah. Tapi ini berarti kita tidak akan bisa menjebaknya semudah sebelumnya.”

Nora yang berdiri di samping Flora bergumam, “Mereka benar-benar monster yang cerdas.”

Pria misterius itu mengangguk pelan, lalu memperkenalkan dirinya. “Oh, ya. Sebelumnya... perkenalkan, nama saya Rama, dan ini anak saya, Farah.”

Satu per satu mereka memperkenalkan diri.

“Wira.”

“Bima.”

“Aku Nora. Salam kenal.”

“Rizki.”

“Aku Flora, dan ini Meyrin.”

Rama membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih. “Sekali lagi, terima kasih banyak atas bantuan kalian.”

Wira membalas dengan anggukan kecil, lalu bertanya dengan nada serius, “Pak Rama, bisa kau ceritakan apa yang terjadi beberapa hari terakhir di sini?”

Rama menghela napas panjang, terlihat jelas kelelahan di wajahnya. “Seminggu yang lalu, saya dan anak saya masih berada di camp pengungsian. Kami bertahan seadanya. Tapi, stok makanan mulai menipis. Pemimpin camp mengumumkan bahwa makanan yang tersisa tidak cukup untuk semua orang. Hari-hari berikutnya... orang-orang mulai kelaparan. Lalu... mereka mulai saling membunuh.”

Kelompok Wira memasang ekspresi yang muram mendengar itu.

“Setelah kejadian itu, setiap hari kami hidup dalam ketakutan. Ketakutan akan kematian, kelaparan... atau pengkhianatan. Dan akhirnya, beberapa hari kemudian, seorang Ruo berhasil menyusup ke camp.”

Nora terkejut. “Ruo berhasil menyusup? Lalu apa yang terjadi?”

“Camp menjadi kacau. Semua orang berlarian. Banyak yang tewas. Aku dan Farah memutuskan untuk kabur,” jawab Rama dengan suara berat.

Nora kembali bertanya, “Sejak itu anak Anda sakit, Pak?”

Rama menggeleng pelan. “Tidak, waktu itu Farah masih sehat dan bugar.”

Flora ikut bertanya, “Mungkin karena lingkungan tempat ini? Apakah kondisi kumuh di sini membuatnya sakit?”

Rama menghela napas lagi. “Sepertinya bukan itu. Farah mulai sakit... setelah Ruo menyerang kami.”

Mendengar ini, Wira yang sejak tadi hanya mendengarkan langsung menyilangkan tangan, berpikir dalam-dalam. “Ruo menyerang... Bagaimana kalian bisa selamat?” tanyanya dengan nada curiga.

Rama menjawab dengan ragu, “Entahlah. Ruo itu sempat menangkap Farah... dan menggenggam kepalanya.”

Mata Wira langsung melebar. Ia menatap Farah yang terbaring lemah di kasur. Dengan langkah perlahan, ia mendekati anak kecil itu. “Ruo... menyentuh kepalanya?” tanyanya dengan nada rendah.

Rama mengangguk. “Ya... setelah itu dia melepaskan Farah, dan entah bagaimana kami berhasil melarikan diri.”

Wira menyipitkan matanya, mendekat sedikit lagi. “Apakah demamnya sudah turun?” tanyanya, sementara tangannya merogoh ke dalam jaketnya.

Tiba-tiba, SYATTT!

Pisau tajam di tangan Wira melukai lengan Farah. Gadis kecil itu langsung terbangun dan menjerit lemah.

“WIRA! APA YANG KAU LAKUKAN?!” Nora berteriak panik, buru-buru menghampiri anak itu.

Rama terkejut. “ANAKKU!”

Sementara itu, kelompok Wira terpaku, Meyrin ketakutan, ,tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Wira. Tapi, beberapa detik kemudian, mereka menyaksikan sesuatu yang tak terduga. Luka di lengan Farah mulai menyembuh dengan cepat. Kulitnya menutup kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Wira mundur selangkah, mencengkeram granat kriogeniknya. “LARI SEMUA!” teriaknya.

Namun, Rama langsung melompat melindungi anaknya, berteriak, “TIDAK! JANGAN!”

Nora juga dengan cepat berdiri di depan Wira, memasang badan.

“WIRA! DIA BUKAN RUO!” teriak Nora.

“DIA RUO! MINGGIR, NORA!” Wira berteriak kembali dengan penuh emosi, mencoba menyingkirkan Nora.

Rama berteriak, “TIDAK! ITU ANAKKU!”

Wira terus maju, tapi Nora tetap menghadangnya. Keduanya saling dorong dengan penuh kekuatan.

“BIMA, TAHAN NORA!” Wira memerintah dengan keras.

Namun, Nora balas berteriak, “BIMA, TAHAN WIRA!”

Bima berdiri diam di tengah kebingungan, tidak tahu siapa yang harus ia ikuti.

Tepat saat Wira berhasil melewati Nora, tangannya sudah siap melepas pin granat. Tetapi sebelum ia sempat melakukannya, suara kecil terdengar.

“A-Ayah...”

Wira terdiam. Semua orang menoleh.

Gadis kecil itu membuka matanya perlahan, memandang ayahnya dengan tatapan lemah. “A-Ayah... aku sakit...”

Suasana menjadi hening. Wira menurunkan granatnya perlahan, wajahnya penuh kebingungan. Nora menatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca, sementara Rama langsung mendekat, memeluk anaknya dengan erat.

“Farah... kau sadar?” bisiknya, suaranya bergetar.

Farah mengangguk lemah. “Aku... aku sakit, Ayah...”

Wira berdiri di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah ini benar-benar Ruo? Atau sesuatu yang lain?

Malam semakin larut, keheningan hanya dipecahkan oleh napas para penghuni rumah yang tertidur lelap. Di sudut ruangan, Wira masih terjaga, duduk bersandar di dinding. Di sampingnya, Nora tetap duduk dengan mata yang mulai sayu namun tetap menolak untuk tidur.

“Tidurlah, Nora. Besok kita harus melanjutkan perjalanan,” kata Wira dengan nada pelan namun tegas.

Nora tidak segera menjawab. Ia memandang Farah yang terbaring tenang di dekat mereka. “Kalau begitu, kau juga harus tidur, Wira,” katanya akhirnya.

Wira mendesah panjang. “Tenang saja. Aku tidak akan meledakkan gadis ini. Kalau aku melakukannya, kita semua bakal membeku bersama. Aku tidak gila.”

Nora tetap diam, tidak tertawa ataupun membalas sarkasme Wira. Keheningan sesaat melingkupi mereka sebelum Wira berkata lagi, “Kalau dia tiba-tiba berubah menjadi Ruo, aku akan membangunkan kalian. Jadi, tidurlah.”

Nora menunduk sedikit sebelum berbicara dengan suara pelan. “Aku tahu, Wira...”

Wira memandangnya, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”

Nora menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku tahu kau hanya ingin melindungi kami.”

Kata-kata itu membuat Wira terdiam. Ia memalingkan pandangan, menatap bayang-bayang dinding yang samar oleh cahaya bulan.

“Tapi caramu... terkadang membuat hatiku tidak nyaman,” lanjut Nora dengan nada lirih namun tegas. “Aku ingin mempercayaimu, Wira. Tapi aku butuh kau menunjukkan bahwa kau tetap manusia, bukan monster.”

Wira menghela napas, menatap lurus ke depan. “Nora, dengarkan aku... Kau mungkin benar kalau kebaikan adalah kekuatan. Tapi aku tidak punya kemewahan itu. Jika kau melihatku sebagai monster, aku bisa menerimanya. Karena yang aku takutkan bukan pandangan orang terhadapku, melainkan kemungkinan aku gagal melindungi kalian. Jika mereka merenggut kalian dariku... aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya tahu bahwa kekuatan adalah satu-satunya cara untuk menjaga keindahan ini tetap ada.”

Nora menatap Wira dengan raut wajah yang berubah lembut. Ia menarik napas dalam sebelum berkata, “Monster? Wira, saat kami kehilanganmu beberapa bulan lalu, setiap hari terasa seperti mimpi buruk. Aku hidup dengan ketakutan, merasa tidak berdaya. Setiap langkahku terasa berat, setiap napasku sulit. Tapi... saat aku melihatmu kembali, aku tidak melihat monster. Aku melihat harapan.”

Wira menoleh, terkejut mendengar kata-kata itu.

“Ketika kau melawan Ruo dan mengalahkan mereka, kau memberikan sesuatu yang sudah lama hilang dari kami... kekuatan untuk bertahan. Kau memberikan kami alasan untuk percaya lagi. Terima kasih, Wira,” kata Nora, senyumnya tipis namun penuh makna.

Wira terdiam, membiarkan kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Ia menunduk sedikit, lalu berkata dengan nada pelan, “Kalau begitu, tidurlah. Aku akan berjaga.”

Namun Nora dengan wajah cemberut berkata, “Tidak. Aku akan tetap di sini, menemanimu.”

Beberapa menit berlalu, tanpa mereka sadari Nora mulai terlelap. Kepalanya perlahan bersandar ke paha Wira, napasnya teratur, menandakan ia telah tertidur. Wira menatapnya sekilas, menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

“Perasaan ini...” gumam Wira dalam hati, sambil memandangi bayangan di dinding. “Perasaan yang indah ini... suatu saat akan hilang.”

Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Malam terus berlanjut, membawa mereka lebih dekat pada pagi yang tak terhindarkan.

Wira tetap terjaga sepanjang malam, matanya tak lepas dari Farah yang kini terlihat lebih tenang. Cahaya pagi mulai menyelinap melalui jendela pecah di rumah Rama, menandai hari baru. Perlahan, Farah membuka matanya, memandang sekeliling dengan kebingungan.

“Siapa kau?” tanyanya dengan suara lemah.

Wira yang masih duduk di sampingnya menjawab singkat dengan nada datar, “Aku orang lewat.”

Nora, yang baru saja terbangun, mendekat dengan senyum lembut. “Dia Wira, dan aku Nora. Salam kenal, ya.”

Pak Rama segera mendekati putrinya dengan wajah penuh lega. “Syukurlah kamu sudah bangun, Farah. Mereka ini orang-orang yang menolong kita. Berterimakasihlah.”

Farah menatap Wira dan Nora, lalu memaksakan senyum kecil. “Terima kasih sudah membantu kami.”

Wira hanya mengangguk ringan. “Sama-sama.”

Dia berdiri, merapikan tasnya, lalu berkata dengan tegas, “Baiklah, karena semuanya sudah lebih baik, kami pamit dulu.”

Pak Rama menatap Wira dengan ragu. “Tunggu. Ngomong-ngomong, ke mana tujuan kalian?”

“Kami sedang menuju Kota Cakra, Camp Raflesia,” jawab Nora cepat.

Rama mengangguk pelan, lalu menatap mereka dengan ekspresi serius. “Kota Cakra? Itu akan sulit... Jembatan besar di sana sudah runtuh.”

Ucapan itu langsung menarik perhatian semua orang. Wira berhenti sejenak, matanya menyipit.

“Yah, itu bisa diduga,” kata Rizki sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. “Ruo itu cerdas. Mereka tidak hanya menyerang kita secara langsung, tetapi juga memutus jalur strategis.”

Flora memandang Wira dengan raut cemas. “Sekarang, apa yang harus kita lakukan?”

Wira terdiam sejenak, tampak memikirkan berbagai kemungkinan. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rama memecah kebuntuan.

“Bawa kami bersama kalian. Saya tahu jalannya,” kata Rama.

Wira menatapnya, mempertimbangkan sejenak, lalu tersenyum kecil. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita berangkat.”

Mobil kini terasa jauh lebih sempit dengan tambahan dua orang. Flora memangku Meyrin di pangkuannya, sementara Farah duduk di pangkuan ayahnya yang berada di depan bersama Bima untuk menunjukkan jalan. Wira duduk di belakang, tepat di samping Nora.

Bima yang mengemudi mulai bertanya. “Jadi, Pak Rama, ke mana kita sekarang?”

“Jembatan besar itu sudah runtuh, jadi tentu kita tidak bisa lewat sana lagi,” jawab Rama sambil menunjuk ke depan. “Tapi kita bisa menyeberang menggunakan kapal.”

Flora yang duduk di tengah langsung bertanya, “Kapal? Bagaimana cara kita membayar mereka?”

Pak Rama menghela napas panjang. “Yah, mereka tidak menerima uang. Yang mereka inginkan adalah senjata, amunisi, makanan, atau emas.”

Rizki langsung bereaksi. “Makanan kita sudah hampir habis. Senjata kita juga terbatas. Kalau begitu, kapal bukan pilihan.”

Wira yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Bagaimana kalau kita menyusup?”

Pak Rama menggeleng tegas. “Itu berbahaya. Orang-orang di sana punya penjaga bersenjata yang tidak segan menembak siapapun yang mendekat tanpa izin.”

Hening sesaat menyelimuti mobil. Situasi mereka benar-benar sulit.

“Ada jalan lain, Pak?” Rizki akhirnya bertanya lagi, suaranya terdengar penuh harap.

Rama terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawab. “Sebenarnya ada... Tapi itu juga tidak mudah.”

“Lewat mana, Paman?” desak Rizki.

Rama menghela napas dalam. “Ada satu jembatan setapak yang bisa kita lalui dengan jalan kaki.”

“Kalau begitu, kita lewat sana saja!” seru Rizki penuh semangat.

Rama menggeleng lagi. “Jembatan itu ada di tengah hutan. Dan hutan itu... tidak seperti hutan biasa.”

“Kenapa?” tanya Flora dengan suara pelan, tetapi penuh kekhawatiran.

“Hutan itu gelap meskipun siang. Jalannya penuh jebakan alam. Ada bekas kawanan survivor yang membangun ranjau buatan untuk melindungi tempat persembunyian mereka. Belum lagi... suara-suara aneh yang sering terdengar di dalamnya,” jelas Rama, nadanya semakin serius.

Semua orang di dalam mobil terdiam. Hutan itu jelas tidak mudah, tetapi mungkin lebih baik daripada menghadapi para penjaga kapal bersenjata.

Akhirnya, Wira angkat bicara dengan nada tegas. “Ayo kita lewat sana. Lewat hutan akan lebih manusiawi bagiku.”

Mendengar itu, Nora menoleh, menatap Wira dalam diam. Ia tahu alasan Wira memilih jalur hutan bukan karena lebih aman, melainkan karena Wira ingin menghindari kemungkinan menggunakan kekerasan jika mereka memutuskan untuk menggunakan kapal.

Flora menatap Wira dengan lembut. “Baiklah. Kalau begitu, kita siapkan diri untuk melewati hutan.”

Bima menambah kecepatan mobil, membawa mereka mendekati tujuan berikutnya: sebuah hutan gelap yang menyembunyikan jalan setapak menuju jembatan kecil yang mungkin menjadi harapan terakhir mereka untuk mencapai Kota Cakra.

1
laksus kara
bang kapan update bang?
Uryū Ishida
Sejujurnya aku gak percaya bakal suka ama this genre, tapi author bikin aku ketagihan!
Gerhana: Terimakasih, tunggu eps selanjutnya yah
total 1 replies
Jell_bobatea
Penulisnya jenius!
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
kuia 😍😍
author, kamu keren banget! 👍
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!