Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draf Surat Untuk Mama part 1
Tidak ada manusia yang benar-benar tahu kapan dia mulai jatuh cinta. Tiba-tiba saja seseorang menyadari, dia menyukaimu, dia menginginkan kamu, kemudian perasaan rindu berkembang, perasaan itu terus tumbuh, lama-lama semakin subur, hingga kadang tidak lagi terkendali. Banyak yang akhirnya seperti orang gila, bahkan tak jarang ada yang benar-benar gila.
Dua minggu, Maura, aku menunggumu. Perasaan di dadaku semakin megah. Kau memintaku menantimu untuk memberi jawaban. Pinta atas perasaan yang kunyatakan kepadamu. Perasaan yang sebenarnya sudah lama kupendam. Selama itu, aku hanya mampu diam. Tidak berani mengatakan apa-apa kepadamu. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri lebih dulu. Sebab, aku tahu, mencintaimu bukan sebuah hasrat yang menggebu. Namun, nyatanya setelah kunyatakan, kau membuat aku menunggu.
Tidak masalah dengan apa yang kau pintakan. Aku mengerti, terkadang seseorang memang butuh waktu lebih untuk memahami. Meski sepanjang waktu menunggu, jujur saja, aku tidak pernah tenang. Aku selalu merasa ketakutan. Takut dengan kemungkinan harapanku tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Takut dengan perasaan yang semakin tumbuh. Perasaan yang membuatku hampir sepanjang hari mengingatmu. Perasaan yang membuatku menerka- nerka banyak hal. Kau tahu, Maura? Setiap malam, ketika hendak tidur, kau saja yang ada di kepalaku. Apakah semua orang yang sedang jatuh cinta seperti ini? Atau hanya aku saja yang mengalami hal begini.
Sepanjang masa menunggu itu, kau membawaku masuk ke dalam duniamu. Menemanimu berteleponan sampai larut malam. Tak jarang bahkan sampai kau tertidur, lalu terbangun lagi. Sementara aku masih menunggumu. Entah kenapa, aku nyaman saja mendengarkan embusan napasmu, merasa lebih dekat denganmu, seolah aku sedang menjagamu. Hal itu berlangsung begitu sering Maura, hingga aku merasa sudah begitu dekat denganmu. Perasaanku semakin bertambah, dan itu membuatku semakin takut.
Ketakutanku semakin menjadi-jadi, Maura. Semakin dekat hari yang kau janjikan untuk memberi jawaban. Semakin aku merasa tidak tenang untuk tidur. Semakin aku takut apa yang sudah terbiasa selama dua minggu itu akan hilang. Sejujurnya, aku tidak pernah menyiapkan diri jika kau tidak mencintaiku. Aku tidak pernah mampu merangkai rencana untuk hal itu. Yang aku yakini, kau saja yang aku cintai.
Waktu memang tidak bisa dihentikan la terus melaju dan menghantarkan kita pada titik itu. Hari itu Maura, aku masih ingat, Selasa. Sedari pagi aku semakin tidak keruan. Bahkan teman-temanku mulai bertanya tentang kegalauanku. Sungguh, menunggu jawabanmu membuat hidupku semakin ketakutan. Aku benar-benar takut kehilangan itu datang. Aku takut kalau kau tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Aku takut kalau saja kau tidak bersedia memberiku kesempatan
Maura, ternyata benar. Apa yang kutakutkan terjadi. Kau tidak memberiku kabar hari itu. Sepanjang hari aku menunggumu, sepanjang hari itu pula hatiku seperti sedang dilempar dari satu dahan ke dahan lain. Lalu tersangkut di duri-duri dahan itu. Sakit? Tidak. Aku tidak merasakan sakit. Entah kenapa, rasanya masih. saja sama aku mencintaimu saja. Namun Maura, sejujurnya, aku kecewa kepadamu. Kau tidak menepati janjimu sepenuhnya. Kau hanya memberiku selembar kertas. Seolah seperti itulah perasaanmu kepadaku. Berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan.. Perasaanku kepadamu semakin tumbuh, sedangkan kau mulai membuatnya rapuh.
Ketakutan itu menusuk dadaku. Kau katakan, kau ragu, kau takut, kau tidak ingin kau tidak bisa denganku.
Aku mencoba menerka, mencerna, memahami berkali-kali. Tidak ada yang salah dengan isi selembar kertas yang kau berikan. Nyatanya, kau tidak bisa denganku. Lama aku menyandarkan diri di kursi ini, Maura. Menenangkan hatiku. Bagaimana mungkin kau tidak mencintaiku? Sementara hampir setiap malam, aku mulai terbiasa dengan embusan napasmu. Aku semakin merasakan bahwa hanya kau saja yang menjadi hidupku. Sementara pada kenyataan hari itu, kau menamparku, memintaku sadar. Semuanya sudah berakhir, sudah tidak ada yang harus aku perjuangkan.
"Kembalilah seperti biasa, seperti dulu, sebelum kau menyatakan cinta." Ucapanmu itu Maura, tidak pernah benar-benar bisa mengembalikan semuanya seperti semula. Bagaimana mungkin aku yang sudah semakin mencintaimu, perasaan yang semakin subur ini, bisa kembali begitu saja? Tidak semudah itu, Maura.