Jika cinta pertama bagi setiap anak perempuan adalah ayah, tetapi tidak bagi Lara. Menurut Lara ayah adalah bencana pertama baginya. Jika bukan karena ayah tidak mungkin Lara terjebak, tidak mungkin Lara terluka.
Hidup mewah bergelimang harta memang tidak menjamin kebahagian.
Lara ingin menyerah
Lara benci kehidupan
Lara lebih suka dirinya mati
Di tuduh pembunuh, di usir dari kediamannya, bahkan tunangannya juga menyukai sang adik dan membenci Lara.
Lantas, apa yang terjadi? Apakah Lara mampu menyelesaikan masalahnya? Sedangkan Lara bukanlah gadis tangguh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue.sea_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Bandara Internasional Washington Dulles
Seorang gadis dengan penampilan yang berbeda dari orang orang kebanyakan tengah berjalan dengan anggun.
Pakaian serba hitam sangat begitu kontras dengan kulitnya yang seputih kapas. Wajah yang tertutup masker dan jangan lupakan kacamata hitam bertengger manis di hidungnya.
Setelah melewati perjalanan jauh melintasi benua, gadis cantik itu tiba di Washington. Tak jauh darinya terlihat sebuah mobil tengah menunggu.
"Katakan padanya aku sudah tiba."
Supir sekaligus bodyguard tersebut membukakan pintu mobil untuknya. "Baik nona Laura."
Laura melepas kacamata dan masker yang ia kenakan saat sudah tiba di dalam mobil. Sungguh ia sangat lelah karena harus menyembunyikan wajahnya di hadapan orang orang, bahkan sejak saat ia kecil.
Laura tidak tahu apa alasan pamannya menyuruh Laura menyembunyikan wajah aslinya, padahal menurutnya dia sangat cantik. Tapi, setelah kejadian semalam Laura membuat Laura terkejut dan segera menemui pamannya.
"Nona, apa tidak-"
"Langsung ke markas."
Supir tersebut meneguk ludah Laura sama seperti Edgar, dingin dan tidak tersentuh. Hanya merasakan auranya saja bisa membuat orang orang tercekik.
"Paman ada apa sebenarnya?" Laura menatap ke luar jendela, semakin lama jalan yang di lewati semakin jauh dari kota yang menjadi permukiman warga. Hanya terdapat pohon pohon yang menjulang tinggi.
Laura mencengkram kertas di genggamannya hingga tidak berbentuk. Ia tahu, tidak lama lagi adalah saat di mana puncak rencananya dan paman Edgar. Tapi tidak ada salahnya bukan jika ia ingin memastikan kembali bahwa ia tidak berada di kubu yang salah?
"Apa paman ada di sana?"
"Tuan selalu berada di markas sejak satu bulan yang lalu nona." Balas sang supir.
Laura kembali menatap ke luar, ia tahu letak markas paman Edgar di tengah hutan kemungkinan setengah jam lagi ia baru akan tiba. Yah, pamannya adalah ketua mafia Black Wolf.
Laura sendiri terkadang ikut dalam menjalankan misi, tapi selama enam bulan ini Laura sudah tidak pernah ikut terjun ke dunia bawah. Pamannya mengatakan bahwa ada tugas yang lebih penting daripada pekerjaan gelap tersebut.
"Kita sudah tiba nona." Laura segera turun dari mobil, pandangannya tertuju pada bangunan dengan nuansa hitam. Terlihat menyeramkan dan seperti tidak di tempati. Laura masuk ke dalam seketika seluruh anak buah Edgar menunduk hormat padanya.
"Selamat datang kembali nona."
Kompak mereka seluruhnya, sedangkan Laura hanya berdehem singkat sebelum akhirnya ia segera menuju ruang kerja Edgar.
Tok tok tok
"Masuklah, aku tahu itu kau."
Laura segera masuk, ia tidak terkejut Edgar mengetahui kedatangannya karena sudah pasti supir yang menjemputnya dari bandara sudah mengatakan pada Edgar.
Laura duduk di seberang Edgar. "Siapa dia?"
Edgar tertawa, hal itu sontak membuat Laura terkejut ia tahu bila Edgar tertawa seperti ini sudah pasti pamannya dalam keadaan tidak waras.
"Kau tahu bahkan hanya melihat wajahnya saja." Edgar meneguk whiskey setelah menjawab pertanyaan Laura. Ralat, itu bukan jawaban.
"Tidak mungkin, dia bukan target kita."
Edgar menatap Laura dengan serius mata elangnya beradu dengan manik mata Laura yang menatapnya tak kalah tajam. "Bukankah cukup dengan menghancurkan tua bangka Smith maka semuanya selesai?"
Edgar menggeleng, ia tak habis pikir dengan Laura yang terlalu naif. "Buat dia terpuruk lalu bunuh, dengan begitu harta mereka akan menjadi milik kita berdua, Laura."
"Paman tidak berbagi dengan dua jala*g itu?"
Edgar dengan santainya kembali meneguk whiskey yang memilik harga fantastis itu. Ia tidak memperdulikan dua orang yang dimaksud oleh keponakannya karena memang sedari awal Edgar hanya memanfaatkannya setelah selesai ia akan mencampakkan mereka.
"Kerjakan tugasmu dengan baik disana, paman akan mengawasimu. Kita tidak akan kalah ingat jangan gegabah." Edgar melirik Laura dengan tatapan yang sangat dalam dan penuh kerinduan di dalamnya. "Kembali ke Indonesia Laura paman akan menyiapkan keberangkatanmu besok."
Laura mengangguk, ia segera beranjak dari duduknya. Sebelum tenggelam di balik pintu Laura sempat menoleh ke arah dimana Edgar berada. "Dia tidak menggunakan nama belakangnya dengan benar. Sangat menyebalkan."
Brakk
"Anak itu, dia sangat mirip denganmu."
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya