Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 15 — Menjelajahi Dungeon Part 2 —
Hari-hari berikutnya di Dungeon terasa seperti uji ketahanan fisik dan mental. Dinding batu yang dingin, lorong-lorong gelap tanpa ujung, dan gemuruh suara monster yang terus menghantui. Kelompok kami terus bergerak, bertarung, dan bertahan, sementara aku tetap berada di belakang, memantau situasi dan memberikan arahan.
Sistem pelatihan ini terbukti cukup efektif. Semua orang mulai menunjukkan peningkatan, baik dalam kekuatan fisik maupun penguasaan skill mereka. Kenta semakin lihai dengan skill bertarungnya, menggunakan pedang besar dengan presisi yang sulit dipercaya. Ayana, dengan kekuatan penyembuhannya, menjadi penyelamat tim, memastikan tidak ada yang terluka parah selama pertempuran.
Namun, di balik suasana yang tampak harmonis, aku bisa merasakan ketegangan yang mengintai.
“Levelku naik lagi!” seru Kenta suatu malam ketika kami berhenti untuk beristirahat di ruangan aman. “Sekarang aku level 15!”
“Aku baru level 12,” kata Ayana, terdengar sedikit iri. “Tapi skill penyembuhanku juga meningkat. Sekarang aku bisa menyembuhkan luka besar tanpa banyak menguras stamina.”
Beberapa teman yang lain juga mulai membanggakan kemajuan mereka, membicarakan detail statistik, skill baru, dan bagaimana sistem mereka bekerja. Percakapan itu terus berlangsung, membahas bagaimana mereka bisa memanfaatkan sistem ini untuk bertahan hidup di dunia ini.
“Aneh juga, ya,” ujar Kenta tiba-tiba, suaranya lebih serius. “Kenapa sistem ini begitu mirip dengan game? Seperti... ada sesuatu yang sengaja dibuat untuk mengatur kita.”
Ayana mengangguk setuju. “Aku juga berpikir begitu. Kenapa ada statistik, skill, dan bahkan level? Rasanya tidak wajar untuk dunia nyata.”
Mereka mulai saling melempar teori. Ada yang berpikir sistem ini adalah cara dunia ini menjaga keseimbangan kekuatan, ada juga yang berpendapat bahwa kami hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
Aku hanya duduk di sudut, memperhatikan mereka berbicara. Sistem. Topik yang sensitif bagiku.
Sejak hari itu, ketika kristal sihir menunjukkan "Null" dan sistemku sempat mengalami kerusakan, aku memutuskan untuk tidak terlalu banyak bicara tentang hal ini. Lagipula, apa yang bisa kukatakan? Bahwa aku memiliki sistem yang berbeda, sebuah sistem yang berasal dari kegelapan? Bahwa aku menyembunyikan fakta bahwa aku bukan pahlawan seperti mereka?
Tidak, aku tidak bisa mengambil risiko itu.
“Bagaimana menurutmu, Hayato?” Kenta tiba-tiba bertanya, mengalihkan perhatian semua orang padaku.
Aku menoleh perlahan, mencoba menyembunyikan keterkejutanku. “Entahlah,” jawabku singkat, mencoba bersikap seolah aku tidak terlalu peduli. “Mungkin kita memang hanya pion, seperti yang kalian bilang.”
Kenta mengerutkan alisnya, tetapi tidak mendesakku lebih jauh. Ayana, di sisi lain, tersenyum samar. “Ya, mungkin begitu. Tapi aku rasa selama kita tetap bersama, kita bisa mengatasi apapun.”
Aku hanya mengangguk, meskipun di dalam hati aku meragukan kata-katanya. Tetap bersama? Jika mereka tahu kebenaran tentangku, akankah mereka masih mau berdiri di sisiku?
Pertanyaan itu terus menghantuiku saat kami melanjutkan eksplorasi Dungeon lebih jauh.
Di lantai berikutnya, kami bertemu dengan kelompok monster yang jauh lebih tangguh daripada sebelumnya. Seekor Ogre raksasa dengan kulit kehitaman memimpin kelompoknya, menyerbu kami dengan senjata besar yang mampu menghancurkan dinding batu dengan mudah.
“Awas!” teriakku, memberikan perintah kepada tim. “Kenta, hadapi Ogre itu langsung! Yang lain, serang dari samping untuk mengalihkan perhatian kelompoknya!”
Kenta maju dengan pedang besarnya, menghadapi Ogre tanpa ragu. Ayana segera mengambil posisi di belakang, siap memberikan penyembuhan kapan saja. Yang lain mulai melancarkan serangan ke monster-monster yang lebih kecil, mencoba memisahkan mereka dari pemimpin mereka.
Aku tetap di tempatku, mengawasi pergerakan musuh dan memberikan arahan ketika diperlukan.
“Kenta, hindari serangan horizontalnya! Fokus pada kaki kirinya!” seruku ketika melihat pola serangan Ogre.
“Roger!” Kenta menjawab sambil mengayunkan pedangnya ke kaki Ogre, membuat makhluk itu kehilangan keseimbangan sesaat.
“Sekarang! Serang titik lemahnya di punggungnya!”
Salah satu teman kami yang menggunakan panah segera menembakkan serangan ke arah punggung Ogre, mengenai tepat di antara tulang belakangnya. Ogre itu mengeluarkan raungan kesakitan, tetapi masih bertahan.
“Ia belum jatuh! Kenta, habisi ia sekarang!”
Dengan teriakan keras, Kenta melompat ke atas Ogre yang terhuyung-huyung dan menancapkan pedangnya ke leher makhluk itu. Darah hitam menyembur, dan akhirnya Ogre itu tumbang.
Kami semua terdiam sejenak, menarik napas lega setelah pertarungan yang berat itu.
“Kerja bagus, semua,” kataku singkat. Selesai dengan itu, kami pun memutuskan untuk beristirahat.
Malam itu, saat semua orang beristirahat, aku duduk sendirian, merenung. Dalam diam, aku memikirkan Eirene lagi.
Ia pasti masih berada di hutan itu, menunggu seperti yang kuminta. Hutan Kegelapan—tempat yang tidak pernah berhenti memberikan aura menyeramkan. Suasana dinginnya, bayangan pepohonan tinggi yang memblokir cahaya, dan suara-suara aneh yang bergema di malam hari... Membayangkannya saja sudah membuatku khawatir.
Hanya satu minggu lagi. Jika aku tidak menemukannya, apakah ia akan berpikir aku benar-benar meninggalkannya?
Aku menggenggam batu kecil di tanganku, yang sebelumnya sudah kutinggalkan pesan untuk Eirene. Sebuah pesan sederhana, tetapi aku berharap ia bisa memahaminya. Harapan terakhirku adalah bahwa Eirene tahu aku tidak akan pernah benar-benar melupakannya.
Aku harus bertahan. Aku harus menemukan cara untuk kembali padanya.
Hanya satu minggu lagi.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah yang terus menghantuiku. Seharusnya aku tidak meninggalkannya di hutan itu. Eirene pasti sendirian, menghadapi kegelapan dan bahaya yang ada di sana. Aku bahkan tidak tahu apakah ia baik-baik saja atau sudah... Tidak, aku tidak ingin memikirkan hal terburuk.
Kenapa aku begitu naif? Aku kira, kembali ke teman sekelas akan menjadi pilihan yang tepat. Kupikir aku bisa menemukan jalan keluar dari semua ini jika tetap bersama mereka. Tetapi, melihat cara mereka memperlakukanku setelah kristal itu menunjukkan hasil Null... aku mulai ragu.
"Skill tidak berguna." "Pahlawan yang lemah." Bisikan-bisikan mereka masih terngiang di telingaku, seperti jarum kecil yang menusuk. Bahkan para pelayan di istana tidak lagi memperlakukanku dengan hormat. Mereka semua memandangku rendah, seolah aku hanyalah beban yang tidak pantas berada di sini.
Ironis, bukan? Ketika mereka tidak tahu aku adalah calon Raja Iblis, itu seharusnya menjadi hal yang bagus. Tetapi, kenyataan bahwa mereka menganggapku lemah justru terasa lebih menyakitkan. Aku bisa saja menghancurkan mereka dalam sekejap... tetapi aku tidak melakukannya.
Eirene mungkin adalah satu-satunya orang yang mempercayaiku tanpa syarat. Ia tahu siapa aku sebenarnya—bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai calon Raja Iblis—tetapi sebagai Hayato. Dan aku meninggalkannya.
Aku memejamkan mata, mencoba meredakan emosi yang meluap. Namun, rasa sesal itu terlalu kuat. Jika saja aku mengikuti takdirku sebagai calon Raja Iblis dan meninggalkan teman-teman sekelasku... mungkin aku tidak akan merasa sehancur ini.
Mereka tidak pantas mendapatkan pengorbananku. Tetapi Eirene pantas mendapatkan segalanya.