Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 : Tabir Masa Lalu
Naina membeku beberapa detik, tangannya yang masih berada di bawah bantal perlahan ia tarik. Pura-pura merapihkan rambutnya sambil berusaha menenangkan jantungnya yang terus bertalu-talu, takut Tuan Minos curiga.
“Cerita tentang apa, Tuan?” sahut Naina kemudian tanpa menoleh ke belakang.
Pergelangan tangan milik pria itu ditarik dari pinggang Naina. Pandangan Tuan Minos pun berpindah ke atas, menatap langit-langit ruangan yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba.
Hening beberapa detik. Tuan Minos masih berpikir harus mulai dari mana untuk mengungkap tabir masa lalu yang sebelumnya selalu dirinya kunci rapat-rapat.
Dalam keheningan yang menyelimuti, pikiran Tuan Minos sudah berkelana jauh pada potongan-potongan ingatan tentang masa lalu. Tepat pada sebuah malapetaka yang membuatnya berada dalam lingkaran kutukan sampai detik ini.
Setelah mengembuskan napas panjang, Tuan Minos berkata, “Tentang ... Seorang anak laki-laki tak berdosa yang harus menanggung sebuah kutukan hanya karena terlahir dengan fisik sempurna.”
Masih dalam posisi berbaring dengan punggung yang membelakangi Tuan Minos, Naina menyimak hingga keningnya mengerut. Merasa tertarik sekaligus penasaran perihal cerita tersebut.
“Dahulu sekali, sekitar ratusan tahun yang lalu, anak itu terlahir dari rahim seorang wanita cantik yang tak memiliki suami. Dia mengurus bayi itu sendirian dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.”
“Di suatu waktu, sang ibu mulai putus asa. Merasa tak sanggup harus membesarkan putranya seorang diri dalam kondisi kemiskinan. Di tengah keputusasaan, dia dipinang oleh seorang penyihir paling hebat di zaman itu.”
“Penyihir itu memiliki kondisi fisik yang benar-benar jelek. Jika bukan karena kemampuan sihirnya, mungkin dia akan menjadi cemoohan orang-orang. Dan karena perempuan itu tidak punya pilihan selain menerima ajakan menikah darinya, akhirnya pernikahan pun dilangsungkan.”
“Waktu demi waktu berjalan, pernikahan tak terjadi sesuai dengan bayangan perempuan tersebut. Kehidupan bahkan lebih susah ketika menikah dengannya. Sebab orang-orang mulai bergunjing, mempertanyakan tentang ketulusan cinta dari si perempuan terhadap penyihir buruk rupa itu.”
“Gosip mulai menyebar, membuat nama baik dari penyihir tercoreng. Demi membuktikan cinta yang tulus dari perempuan itu, penyihir melakukan ritual pembuktian cinta. Dan yang terjadi ternyata perempuan itu tidak benar-benar cinta. Penyihir itu jatuh cinta sendirian.”
Sejauh ini, Naina tidak memberi komentar apa-apa. Telinganya setia mendengar cerita tersebut, sambil sesekali angguk-angguk untuk menunjukkan bahwa dirinya memang mendengarkan.
Dalam pikirannya mulai berspekulasi. Menebak-nebak akhir dari cerita tersebut.
“Akhirnya penyihir itu menelan mentah-mentah semua gosip yang beredar. Karena terlanjur sakit hati, penyihir itu pun pergi beberapa hari untuk melakukan perjanjian dengan iblis. Di sana, dia meminta satu hal yang melibatkan anak dari perempuan itu.”
“Fisik buruk rupanya selama ini, ternyata wujud pemberian iblis agar penyihir itu memiliki kehidupan yang abadi. Dan di perjanjian kedua yang dilakukannya, wujud buruk rupa itu dipindahkan pada anak laki-laki tersebut.”
Naina reflek menoleh ketika menyadari perubahan nada suara dari Tuan Minos. Nadanya mengalun sendu, seolah kalimat yang baru terucap itu mengandung makna kesedihan yang mendalam.
“Hanya karena merasa iri melihat anak itu memiliki paras yang menawan, dan juga dia memiliki dendam pada ibu dari anak itu, akhirnya anak tersebut menanggung kutukan dan harus menjalani kehidupan yang abadi,” tutup Tuan Minos dengan suara parau.
Naina merubah posisinya dengan benar, ikut terlentang sambil menatap ke atas. “Maaf, Tuan. Apakah kau sedang menceritakan dirimu sendiri?”
Tuan Minos menyeret pandangan ke samping, menatap Naina yang sedang memasang wajah penasaran. “Sudah kuduga, itu terlalu mudah untuk ditebak.”
Saat dugaannya telah terkonfirmasi, mata Naina langsung membelalak. “Eh, ternyata benar, ya?” Tangannya dipakai untuk menutup mulut, masih belum percaya dengan apa yang barusan dirinya ketahui.
Detik yang sama, dalam kepala Naina langsung memutarkan potongan-potongan kalimat mengenai cerita yang dikeluarkan Tuan Minos sebelumnya. Mengingat kembali tentang maksud dari kutukan yang menimpa anak dalam cerita tersebut, yang artinya itu adalah Tuan Minos sendiri.
“Aku masih penasaran, Tuan. Lalu bagaimana kau bisa mengembalikan tubuhmu seperti semula?”
Naina melayangkan pertanyaan tersebut sambil memantapkan pandangannya pada Tuan Minos. Tubuhnya tengkurap, menggunakan kedua siku sebagai tumpuan.
Tak ada lagi perasaan takut saat beradu pandang dengan pria itu. Entah mungkin karena Naina sudah tahu bahwa wujud mengerikan itu hanya sebatas kutukan saja, jadi dirinya mulai terbiasa untuk menerima kondisinya tersebut.
“Salah satunya dengan cara berendam dalam air yang dibasuh dengan bunga mawar biru. Tapi itu hanya berlangsung satu malam saja,” jawab Tuan Minos tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit ruangan.
“Salah satunya?” Kedua alis Naina bertaut. “Berarti masih ada cara lain selain itu, Tuan?”
Perhatian Naina seakan tersedot habis oleh cerita mengenai masa lalu Tuan Minos. Dirinya lupa bahwa beberapa helai rambut yang akan dibawanya saat melarikan diri dari sini masih ada di bawah bantal.
Tubuh Tuan Minos bergerak ke samping, menghadap pada Naina. Sorot matanya yang tak terlihat seperti biasanya, tertuju penuh pada sang istri.
“Ada.” Tatapan Tuan Minos semakin teduh, tak lagi menusuk seperti biasanya.
“... Untuk itulah aku selama ini mencari wanita yang bisa menjadi istriku. Bertahun-tahun lamanya aku menunggu, dan mungkin kaulah yang selama ini aku cari,” pungkas Tuan Minos.
Sejurus kemudian, tubuhnya beringsut dari kasur. Mata Naina memindai Tuan Minos yang nampak akan beranjak pergi.
“Apa ada yang harus aku lakukan untuk mematahkan kutukan itu, Tuan?”
Tubuh bak monster milik pria itu terpampang jelas tanpa ditutupi kain sehelai pun, berdiri membelakangi Naina. Tuan Minos dengan santai berjalan keluar ruangan tanpa memerdulikan pakaiannya yang teronggok di lantai, pun meninggalkan gadis itu seorang diri di sana.
“Setelah waktunya tiba, kau akan mengetahuinya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Tuan Minos sebelum tubuhnya menghilang dari balik pintu.
Naina membatu di tempat beberapa saat. Ujung matanya melirik pada bagian kasur yang ditempati Tuan Minos sebelumnya, sisa-sisa darah dan nanah yang lengket memenuhi bagian kasur tersebut.
Berlama-lama di sini membuat Naina mual, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi juga. Ingin membersihkan diri dan istirahat.
“Ah, hampir saja aku lupa!” Naina berbisik seraya menepuk pelan jidatnya saat menyadari bahwa helaian rambut milik pria itu masih tertinggal di bawah bantal.
Karena tahu bahwa Tuan Minos bisa kapan saja memantau dirinya melalui bola sihir, Naina berusaha menunjukkan gerak-gerik yang tak mencurigakan. Pura-pura mencari sesuatu di sana, lalu menyelipkan helaian rambut itu di antara rambutnya sendiri.
“Apa malam tadi berjalan lancar, Tuan?” Tora dengan cepat menyapa ketika tahu Tuannya sudah keluar dari ruangan.
“Ya, begitulah,” balas Tuan Minos acuh.
Kaki hitam panjang itu bergerak menuruni tangga dengan gontai. Tidak tahu kenapa suasana hatinya mendadak buruk setelah mencoba menceritakan bagian dari kisah masa lalunya.
Sambil membawakan jubah milik Tuannya, Tora kembali bertanya, “Apa kau butuh sesuatu, Tuan?”
Tuan Minos menyambar jubah hitam tersebut, memakainya dengan asal. “Aku lapar, bawakan sesuatu untukku!”
Saat Tora putar balik arah terbangnya, Tuan Minos langsung tahu ke mana tujuan gagak tersebut.
“Jangan usik Naina! Dia belum tidur. Jadi siapkan makanan seadanya saja,” perintah Tuan Minos sambil mendaratkan bokongnya pada kursi di ruang tengah, siap menunggu makanan diantar ke meja.
Tora yang mendengarnya langsung berkedip-kedip. Sedikit kaget juga bingung. Karena merasa ini pertama kalinya bagi Tuannya itu untuk menyebut nama Naina. Sebelumnya, Tora tahu betul kalau Tuan Minos selalu sentimentil jika menyangkut tentang gadis itu.
Sambil terbang menuju dapur, diam-diam Tora cekikikan. Membayangkan apa yang telah dilakukan Naina hingga membuat Tuan Minos bisa berubah meski sedikit.
“Apakah malam tadi mereka bersenang-senang dengan baik?” gumam Tora yang rasa penasarannya kian menjadi.
Sementara itu, di tempat lain, Naina yang sudah tiba di kamar belum berpikir untuk istirahat. Alih-alih memikirkan tubuhnya yang terasa remuk akibat aktivitas semalam, Naina masih memikirkan tentang caranya meninggalkan kastil ini tanpa diketahui oleh Tuan Minos.
Tapi di sisi lain, dengan perasaan bimbang, Naina juga berpikir akan nasib Tuan Minos jika kutukan yang diceritakannya itu benar-benar adanya terjadi.
“Jangan tertipu, Nona!”
Naina terperanjat beberapa detik kala mendengar suara barusan yang berbisik tepat di telinganya. Tapi ketika menengok, tidak ada siapapun di samping kiri dan kanannya. Dapat dipastikan bahwa memang sedari awal Naina hanya seorang diri di sini.
“Dia hanya mengarang cerita untuk mendapat belas kasihanmu! Dan sekali kau peduli padanya, maka kau tidak akan pernah menemukan pintu keluar dari penderitaan ini!”
Suaranya begitu nyata. Bahkan hembusan napasnya yang hangat menyelinap masuk di antara rongga telinganya.
Kepala Naina menengok-nengok, masih mencari keberadaan seseorang itu. “Hei! siapa yang di sana?”
***