Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
POV Laras
Hari ini adalah hari yang selama ini aku nantikan, aku berjalan dengan langkah ringan. Putusan pengadilan sudah turun, dan aku akan benar benar menyandang status janda dengan surat cerai yang sah dari pengadilan. Prosesnya cepat dan tidak ribet, bahkan hanya menghabiskan biaya beberapa ratus ribu saja. Sungguh ku anggap ini adalah sebuah keberuntungan yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.
Senyumku merekah, dengan pasti kembali ku ayunkan langkah menuju pulang ke rumah, setelah mengambil akta cerai. Aku akan mengurus surat surat lainnya besok, untuk merubah status ku di KTP dan juga KK. Biarlah ini akan menjadi kejutan untuk mas Bimo saat nanti dia kembali ke rumah. Aku sudah gak sabar melihat reaksi lelaki itu, apakah masih bisa sombong dan menyepelekan diri ini lagi. Dan aku juga tidak tau, apakah masih bisa bertemu dengan laki laki itu, karena bulan depan aku harus pindah dari rumah peninggalan ibuku. Mbak Rani tetap ingin mengambil rumah itu, dan aku tak lagi ingin mendebat karena tak mau adu mulut dan yang ada emosi. Biarlah, mungkin ini adalah ujian hidup yang harus aku jalani. Aku juga mulai mencari tempat kos untuk nanti aku tempati bersama Luna.
Waktu berjalan begitu cepat, saat ini aku sedang mengantar anakku untuk test masuk kelas inklusi di salah satu SMP negri. Berharap, Luna mendapatkan yang terbaik meskipun kondisi ekonomiku tengah sulit. Apapun yang terjadi aku harus berusaha keras untuk bisa menyekolahkan dan memberikan yang terbaik untuk anak istimewaku.
Pukul dua belas lewat sepuluh menit, aku dan Luna sudah kembali ke rumah. Dan siapa sangka, ternyata sudah ada mas Bimo juga saudara perempuannya, mbak Iis kakaknya mas Bimo. Mereka terlihat duduk di kursi bambu yang ada di teras rumahku.
"Dari mana, kok lama banget? Aku sudah nunggu hampir tiga jam di sini." Tanya mas Bimo dengan wajah bersungut-sungut. Sedangkan mbak Iis hanya diam saja melihatku dengan wajah angkuhnya.
"Ngantar Luna tes buat masuk SMP." Sahutku singkat, meskipun ada rasa kesal juga gak suka terhadap mas Bimo dan kakaknya. Aku tetap menyalami mereka, layaknya menghormati seorang yang tengah bertamu.
"Silahkan masuk." Aku mempersilahkan masuk dengan wajah datar, terlihat mas Bimo kesal dan menatapku sangat tajam, tapi aku tak perduli.
"Luna, memangnya kamu mau sekolah di mana?" Tanya mbak Iis dengan nada yang terdengar mencemooh.
"SMP satu." Sahut Luna cuek, setelah menyalami ayah dan budenya, Luna buru buru masuk ke dalam kamarnya dengan wajah di tekuk. Aku tau bagaimana perasaan anak perempuan ku, pasti dia kembali tidak nyaman. Karena bukan hanya mas Bimo yang sering meremehkan Luna, tapi juga seluruh keluarganya yang sering membuli anakku dengan kata kata pedas yang menyakitkan.
"SMP satu, apa gak terlalu tinggi itu. Di sana itu tempatnya anak orang orang kaya dan juga pintar pintar, emang sanggup?" Cemooh mbak Iis dengan bibir terangkat ke samping, sedangkan mas Bimo terlihat tersenyum sinis meremehkan.
"Apapun itu, harusnya mbak gak perlu bicara seperti itu sama Luna. Lagian, Luna itu sekolah di jalur khusus. Gak semua sekolahan itu buka jalur inklusi mbak, dan sekolah yang paling dekat dari rumah cuma SMP satu. Dan gurunya Luna juga yang menyarankan untuk mendaftar ke sana. Aku juga sudah ke dinas pendidikan, dan disana juga disarankan untuk mendaftar kesana." Sahutku kesal dengan menahan amarah di dada ini.
"Emang kamu sanggup bayarnya, Ras? Nanti aku lagi yang kamu repot kan untuk gaya hidupmu yang sok kaya itu. Apa kamu pikir aku gak tau, itu cuma akal-akalan kamu saja biar terlihat wah dengan menyekolahkan Luna di sana." Sahut mas Bimo dengan wajah yang terlihat memuakkan.
"Emang selama ini kamu kasih uang ke aku, mas? Dan memang selama ini kamu bertanggung jawab dengan kehidupanku dan Luna, enggak kan? Dari Luna masuk TK sampai sekarang kamu gak tau apa apa, kan?" Balasku dengan tatapan tajam, mas Bimo terlihat salah tingkah dan tak bisa menjawab ucapanku. Dan itu kesempatanku untuk menguliti wajah aslinya di depan kakaknya yang selama ini selalu mengira dan menuduhku menghabiskan uang adiknya itu.
"Perlu mbak Iis tau, selama ini adik mbak ini tidak pernah memberi nafkah untuk kami. Aku berjuang sendirian untuk menghidupi anakku. Dan adik mbak ini juga sudah gak pernah pulang kerumah ini lagi, bahkan menghubungi anaknya lewat telpon pun juga gak pernah." Sambung ku dengan menekan semua kalimat yang terucap, mbak Iis hanya diam dengan senyuman sinis, aku tau kalau mereka sebelas dua belas, sama sama tidak punya hati.
"Oh iya, ada yang harus kamu tau mas. Sebentar, aku akan kasih sesuatu yang membuatmu bahagia, tunggu sebentar." Ucapku tenang, lalu dengan langkah pasti aku mengambil akta cerai yang sudah aku foto copy dan menyerahkan pada mas Bimo dan tak lupa juga ku serahkan KK dan KTP baruku yang sudah aku foto copy juga.
"Apa maksudnya ini, Ras?" Tanya mas Bimo dengan wajah yang terlihat kaget.
"Harusnya tak perlu aku jelaskan, semua sudah jelas bukan. Sekarang kita sudah bukan lagi suami istri, dan kamu bisa menikahi selingkuhan kamu secara sah. Tapi, untuk dapatkan akta duda kamu, kamu harus mengganti uang yang sudah aku keluarkan untuk mengurus perceraian kita ini, gimana?" Sambung ku dengan senyum mengembang, entahlah, kenapa tiba tiba pikiran itu muncul. Aku gak mau memberikan surat itu cuma cuma pada mas Bimo, enak saja. Aku harus bisa memanfaatkan keadaan. Lagian uangnya juga untuk kebutuhan Luna yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.
"Licik kamu, Ras!" Sungut mas Bimo dengan wajah merah padam.
"Licik? Maksudnya gimana ya, mas? Bukannya yang selingkuh itu kamu, dan yang gak bertanggung jawab itu kamu ya. Aku juga gak sudi terus menerus kamu perlakukan seenaknya, ngaku ngaku suami tapi gak pernah nafkahi dan selalu abai dengan kebutuhan anak istri. Memang aku ini kamu anggap apa, jangan seenaknya kamu perlakukan aku seperti itu terus menerus." Sahutku dengan dada bergemuruh, mas Bimo hanya diam dengan bibir terkatup rapat. Sedangkan mbak Iis justru tersenyum lebar melihat pertengkaran kami.
"Sudahlah Bim, lagian kamu juga katanya sudah gak punya perasaan apapun sama si Laras. Dan juga ini menguntungkan kita loh. Kalau kalian pisah, berarti barang barang di rumah ini bisa kita ambil dan taruh di rumahnya emak. Kebetulan di rumah sana barang barangnya sudah mulai rusak." Sahut mbak Iis sumringah, aku hanya bisa ternganga dan ingin tertawa mendengar ocehan mantan kakak ipar ku itu. Sedangkan mas Bimo terlihat salah tingkah dan menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Entahlah drama apa yang dibuat lelaki itu di depan keluarganya, sampai sampai kakaknya berpikir kalau semua barang yang ada di rumahku miliknya Bimo, aaah dasar parasit.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..