Amara Calista seorang gadis berbadan bongsor, yang mempunyai hobi main basket, jatuh cinta pada seniornya yang bernama Altaf Alfarizi. Altaf yang mempunyai banyak fans, awalnya hanya memandang sebelah mata pada Amara. Amara berusaha sungguh-sungguh untuk merubah penampilannya demi mendapatkan hati Altaf. Dan dengan kekuasaan sang papa Amara bisa mendapatkan Altaf melalui sebuah perjodohan. Namun sebuah musibah membuat Amara pupus harapan dan memilih berpisah dengan sang suami tercinta. Bagaimana kisah cinta Amara dan Altaf? Ikuti kisah lengkapnya dalam "Asmara Ke Dua".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsia Niqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ara yang Menang
Hampir sebulan Ara mengikuti bimbingan dengan Altaf. Jadwal olimpiade masih satu minggu lagi. Altaf disibukkan dengan acara pertandingan basket antar sekolah hari ini. Untuk persiapan Altaf datang kesekolah lebih awal. Karena rombongan akan berangkat dari sekolah menggunakan bus sekolah. Ara yang mengatakan akan hadir sebagai suporter juga datang kesekolah. Walaupun yang lain langsung menuju tempat pertandingan.
Altaf sudah sampai di parkiran sekolah, ketika baru melepas helmnya ada motor ninja merah berhenti di samping motornya. Pengendaranya yang hanya menggunakan celana jeans biru tua yang dipotong pendek separoh paha, masih ada sobekan di sana sini dan kemeja putih yang empat kancing atasnya sengaja di buka, serta kaos putih sebagai dalamannya. Ara lah pengendara motor itu. Ara membuka helmnya lalu membetulkan ikat rambutnya.
Altaf melihat ke arah Ara dan melotot tajam.
"Ara, kamu mau nonton basket apa mau pamer paha?!" Kata Altaf marah.
"Loh kak Al kenapa marah, suka-suka Ara dong, Ara mau pakai apa?!"
"Jangan gila kamu, kamu mau jadi tontonan, mereka nggak jadi nonton basket trus nonton paha kamu! Jangan cari sensasi! Mana kunci!" Kata Altaf yang semakin marah dan minta kunci motor Ara karena lebih mudah mengeluarkan motor Ara dari pada motornya yang terparkir di tengah. Dengan takut-takut Ara menyerahkan kunci motornya.
"Naik! Pakai kembali helmnya!" Kembali Altaf memberi perintah. Setelah memakai helmnya Ara naik motornya yang sudah ada Altaf nangkring duluan di depan. Ara membonceng di belakang.
Dengan kecepatan tinggi Altaf membawa Ara.
"Kak, kita mau kemana, jangan ngebut kak!"
"Jangan banyak ngomong! Pegangan!' kembali Altaf memberi perintah dan menarik gas motornya lebih kencang. Tak dapat berpikir panjang Ara langsung berpegangan di perut Altaf.
Mereka sudah sampai di depan toko pakaian. Altaf memarkirkan motor Ara dan langsung menarik tangan Ara setelah melepas helm.
"Kak, tolong carikan celana panjang yang longgar untuk adik saya!" Kata Altaf pada pegawai toko.
"Baik mas!" Jawab pegawai itu. Pegawai itu memberikan beberapa celana panjang untuk di coba Ara di kamar pas. Setelah mengganti dengan celana panjang Ara keluar dan Altaf sudah menunggu di depan kamar pas.
"Jangan yang itu, sempit! paha kamu sampai menjerit!" Kata Altaf saat Ara keluar dengan memakai celana jeans yang ketat. Lalu Ara ganti lagi dengan celana yang longgar dan keluar lagi, Altaf memperhatikan dengan wajah kesal.
"Itu cingkrang!" Kamu kayak orang bodoh, ganti lagi!" Katanya.
"Maaf mas, itu size sudah paling besar dan panjangnya hanya ada ukuran standar. Sedang adik mas kan tinggi banget. Kecuali pakai yang untuk cowok, biar panjangnya pas!" Kata pegawai toko itu.
"Ya udah kak, kasih yang punya cowok aja!" Kata Altaf, dan pegawai itu memberikan celana cargo warna krem pada Ara. Lalu Ara mencobanya.
"Nah itu aja, cocok sama kamu, mana celana pendek sialan tadi tadi?!" Pinta Altaf sambil tangannya kedepan.
"Buat apa, biar Ara simpan!" Kata Ara yang ikut kesal.
"Sini, nggak usah ngeyel!" Kata Altaf lagi makin ngegas sambil mengambil paksa celana pendek yang ada di tangan Ara, lalu memasukkan kedalam ranselnya.
Setelah mendapatkan apa yang di cari Altaf membawa Ara kembali ke sekolah. Saat sudah sampai diparkiran Altaf langsung menarik tangan ara dengan kuat setelah turun dari motor dan melepas helmnya.
Altaf menarik tangan Ara berjalan dengan cepat menuju tempat peserta berkumpul.
Namun saat berada di lorong sekolah yang sepi Ara menghempaskan tangan Altaf hingga tangannya terlepas.
"Ara.....! Kata Altaf sambil membalik badan melihat ke belakang, dan betapa terkejutnya melihat Ara yang sudah banjir air mata.
"Ra......!" Kata Altaf lirih saat menyadari tindakan kerasnya pada Ara.
"Apa, mau marah lagi, emangnya kakak siapa, kakak apanya Ara hah! Papa Ara aja nggak pernah membentak Ara!" Kata Ara sambil terus menangis.
"Hedeuh.....! Kalau sudah diterjang badai, banjir bandang air mata plus ingus yang ke mana-mana gini gua mana tega, bisa apa gua!" Kata Altaf dalam hati.
"Sorry....!" Kata Altaf sambil menarik tangan Ara lagi dengan lembut, membawanya ke dalam pelukannya.
"Kakak minta maaf Rara, kakak nggak mau kamu jadi bahan gunjingan, apalagi sampai mereka terang-terangan mem bully kamu!" Kata Altaf lagi setelah beberapa saat hening dan Ara nyaman dalam pelukan Altaf. Altaf semakin mengeratkan pelukannya, membawa kepala Ara dalam ceruk lehernya, karena tinggi Altaf hanya beda sedikit dari Ara, hanya beda sekitar sepuluh senti.
Setelah agak lama berpelukan namun Ara tak berkata apapun, Altaf mengurai pelukannya.
"Rara, kakak minta maaf, kakak nggak ada maksud marah sama Rara." Rayu Altaf.
"Trus itu tadi apa namanya kalau nggak marah?" Kata Ara judes. Dan setengah heran Altaf mengubah panggilan untuknya dan untuk dirinya sendiri dengan menyebut kakak.
"Iya....iya... Sorry, kakak ngaku salah ok, sekarang kita damai. Udah yuk kita ngumpul sama yang lain, Rara ikut bareng bus aja!" Kata Altaf sambil menggandeng tangan Ara. Namun Ara melepasnya lagi.
"Ada apa lagi Rara?"
"Kakak nggak lihat mata Ara merah, sembab?" Kata Ara ketus.
"Trus maunya Rara gimana, nggak ikut? Jangan dong, atau gini aja, Rara tunggu di sini, kakak mau lihat persiapan dulu, nanti kalau mau berangkat kakak kirim pesan, ok?!" Kata Altaf mengakhiri perdebatan.
"Iya!" Jawab Ara sambil cemberut.
"Rara! Masih ngambek? Ya udah duduk di sini aja, tunggu ya, ingat berangkatnya bareng, nanti Rara ngikuti bus. Ini buat temen nunggu, jangan ke mana-mana!" Kata Altaf memberikan satu batang coklat pada Ara lalu bergegas pergi meninggalkannya.
Hampir setengah jam Ara menunggu Altaf tak muncul atau mengirim pesan. Menunggu dengan kebosanan coklat pun sudah ludes dimakan Ara, akhirnya yang di tunggu nongol juga.
"Lama ya?" Tanya Altaf yang tak dijawab oleh Ara.
"Ayok kita berangkat!" Kata Altaf kembali menggandeng tangan Ara, dan Ara hanya menurut.
"Kakak kok nggak naik bus? Emang boleh pemain misah dari rombongan?" Tanya Ara heran.
"Boleh, karena darurat!" Jawab Altaf sambil jalan ke parkiran.
"Darurat gimana kak, Ara bisa berangkat sendiri!"
"Nggak usah ngajak debat Rara, jamnya sudah mepet.
"Lepas kemeja Ra, Rara pakai jaket kakak ini. Lain kali kalau naik motor perhatikan safety, pakai jaket pakaiannya yang bener, jangan lupa pakai helm." Altaf menasehati Ara sambil melepas kemeja Ara memasukkan ke dalam ranselnya dan memakaikan jaket denimnya pada Ara. Altaf memakaikan helmnya Ara lalu memakai helmnya sendiri, dan langsung nangkring di motor Ara.
"Kakak nggak pakai jaket, nanti kena angin gimana? Kakak naik bus aja lah!" Kata Ara sok bijak.
"Apa iya kakak naik bus pakai helm? Ini topi kakak, Rara pakai di sana nanti, biar mata merahnya nggak kelihatan. Kita berangkat bareng, pikiran kamu lagi nggak mod, nanti nggak fokus nyetirnya. Ayok cepetan!"
Setelah perdebatan itu mereka berangkat menuju lokasi pertandingan mengiringi bus rombongan. Sampai di sana Ara duduk di bangku penonton, tiba-tiba Rena dan Dea mendekati Ara dan duduk di sebelahnya.
Ara diam tak menyapa, sampai pertandingan berlangsung beberapa menit.
Rena merasa geram karena tak di pedulikan Ara, begitu juga dengan Dea.
"Hai anak gajah, lo tadi berangkat bareng Altaf kan, ini juga topinya Altaf, gimana ceritanya bisa sama kamu?!" Tanya Rena ketus.
"Bukan urusan kak Rena!" Jawab Ara tak kalah ketus.
"Heh, ya jelas jadi urusan kami dong, lo tuh anak baru, jangan macam-macam sama kita!" Kata Dea marah.
"Kakak berdua ini kenapa? apanya kak Al, pacar?" Tanya Ara berani dengan menatap muka mereka berdua. Rena dan Dea gelagapan sendiri.
"Kalau bukan pacarnya kak Al, kak Rena dan kak Dea nggak ada hak nglarang siapapun dekat sama kak Al. Suka-suka kak Al dong mau deket sama siapa aja! Lagian kakak berdua ini kalau mau bersaing dapetin perhatiannya kak Al, kenapa jadi tenen dekat, harusnya jadi musuh, trus gelut, ya kan? Emang aneh kalian berdua!" Kata Ara makin berani. Dea mendorong bahu Ara dengan kasar, lalu dibalas Ara lebih kasar. Dari lapangan Altaf menyaksikan perdebatan mereka bertiga membuat ia tak fokus bertanding. Namun tak lama Vano datang dan mengajak Ara pindah tempat. Hati Altaf sedikit lega, setidaknya ada yang melindungi Ara dari Rena dan Dea, walaupun ada rasa sedikit cemburu.