Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARISAN BUNDA
Regita bergegas turun dari meja bar, tangannya mendorong pelan bahu Aksa agar memberinya ruang. "A-aku baru ingat... ada tugas sekolah yang belum selesai," katanya dengan suara terbata, lalu segera berbalik dan melangkah menjauh dengan langkah tergesa.
Aksa mengangkat alis, menahan senyum melihat kepanikan Regita yang jelas-jelas terpancar. "Oh, tugas sekolah?" gumamnya pelan, menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh.
Sementara itu, Regita terus melangkah ke kamar dengan perasaan tak karuan. Ia bisa merasakan wajahnya memerah dan detak jantungnya masih berdebar cepat akibat momen tadi.
Di dapur, Aksa menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia membuka kulkas, mengambil botol air dingin, lalu meneguknya hingga tandas seolah ingin mendinginkan perasaannya yang sedikit panas. "Sial!" gumamnya. "Kali ini lolos, tapi besok? Kita lihat."
Regita menutup pintu kamarnya dengan cepat, merosot ke lantai sambil memegang dadanya yang masih berdebar kencang. Ia menatap ke depan sambil mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya dari perasaan yang campur aduk. “Kenapa aku jadi kayak gini?” gumamnya, menunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas.
Sementara itu, Aksa berjalan keluar dari dapur dan berhenti sejenak di lorong menuju kamarnya, tatapannya mengarah ke pintu kamar Regita yang tertutup rapat. Ia tersenyum kecil, lalu bergumam pelan, “Lo gak akan bisa keluar dari perangkap yang gue buat, Git. Seperti biasa,” pikirnya sambil terkekeh sendiri.
Masih dengan senyum yang tak hilang, ia mengangkat bahu dan berjalan menuju kamarnya, merasa ada keasyikan tersendiri dalam memancing reaksi polos dari Regita. Namun, di balik senyum itu, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Perasaan yang ia rasakan semakin sulit ditepis, terutama ketika melihat wajah Regita yang begitu merah dan terguncang tadi.
"Besok kita lihat, Regita. Gue nggak akan nyerah begitu aja," bisiknya sambil menatap keluar jendela kamarnya, seolah berjanji pada dirinya sendiri.
•••
Regita sedang menatap langit-langit kamarnya, mencoba mengusir bayangan kejadian di dapur beberapa waktu lalu. Tapi, semakin ia mencoba melupakan, semakin bayangan Aksa memenuhi pikirannya. Ia meraih bantal untuk menutup wajahnya, berusaha menenangkan detak jantung yang kembali menggila.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Suara Bundanya, Ratih, terdengar dari balik pintu, "Git, Bunda masuk ya."
Regita buru-buru duduk dan mengatur napasnya. "Iya, Bun. Masuk aja."
Ratih muncul dengan senyum khasnya, tangan memegang ponsel. "Git, Bunda mau ngajak kamu ke rumah temen Bunda. Yuk, siap-siap ganti baju."
Regita mengerutkan kening, bingung. "Mau ngapain, Bun?"
"Nemenin Bunda arisan, lah. Yuk ah, kita harus berangkat sekarang," jawab Ratih santai sambil meletakkan ponsel di meja belajar Regita.
Regita mendesah pelan, mencoba mencari alasan. "Bun, aku ada tugas sekolah. Kayaknya nggak bisa ikut deh. Nanti kalau tugasnya nggak selesai, aku gimana?"
"Tugasnya bisa dilanjut nanti malam," jawab Ratih tanpa ragu. "Nggak ada salahnya kamu ikut sekali-sekali. Masa Bunda pergi sendirian? Temen-temen Bunda pada bawa anaknya, lho. Nggak enak kalau Bunda datang sendiri."
Regita menghela napas, jelas tak tertarik. "Temen Bunda yang mana sih? Deket rumah ini?"
Ratih menggeleng, wajahnya terlihat antusias. "Temen baru di kompleks ini. Katanya rumahnya besar, ada kolam renangnya juga. Siapa tahu kamu bisa santai di sana sambil main air."
"Kolam renang?" Mata Regita sedikit berbinar sebelum buru-buru meredam antusiasmenya. "Tapi aku nggak punya baju ganti, Bun."
"Bunda udah siapin semuanya. Yuk, sekarang ganti baju yang rapi. Jangan sampai kita telat." Ratih menarik lembut tangan Regita, membuat gadis itu menggerutu pelan.
"Baiklah, Bun. Tapi cuma kali ini aja ya," ucap Regita menyerah sambil berjalan menuju lemari.
Ratih tersenyum penuh kemenangan. "Janji Bunda, cuma kali ini... sampai arisan bulan depan," katanya terkekeh kecil.
Regita memutar bola matanya, tahu betul Bundanya tak akan berhenti sampai ia menyerah. "Bunda ini nggak ada matinya ya," gumamnya sambil memilih baju. Meski terlihat malas, diam-diam ia penasaran dengan rumah yang disebutkan Bundanya.
Regita melangkah keluar dari kamarnya setelah bersiap. Ia mengenakan gaun midi berwarna lavender dengan potongan sederhana namun elegan, membuatnya terlihat anggun tanpa terlalu berlebihan. Rambutnya ia biarkan terurai dengan sedikit gelombang alami yang jatuh di bahunya. Ia melengkapi penampilannya dengan sepasang sandal bertali emas dan tas kecil yang disampirkan di pundak.
Ratih, yang sedang menunggu di ruang tamu, memandang anaknya dengan mata berbinar. "Cantik banget! Anak Bunda kok makin hari makin memesona, ya?" katanya bangga.
Regita tersenyum kecil, sedikit tersipu. "Bun, nggak usah dilebih-lebihin gitu," katanya sambil mengambil ponsel dari meja.
Setibanya di rumah Tante Nadia, tempat acara arisan berlangsung, suasana rumah besar itu langsung membuat Regita terpana. Bangunan dua lantai dengan desain modern minimalis, lengkap dengan kolam renang di halaman belakang yang mengilap di bawah sinar matahari sore. Beberapa tamu sudah berkumpul di ruang utama yang luas dan dihiasi dekorasi elegan.
"Ratih! Akhirnya datang juga!" suara Tante Nadia terdengar saat mereka melangkah masuk. Perempuan itu langsung memeluk Ratih dengan hangat.
"Iya, Nad. Maaf ya telat sedikit," jawab Ratih sambil tertawa kecil. "Oh ya, ini anakku, Regita."
Tante Nadia memandang Regita dengan senyum lebar. "Wah, cantik banget, Ratih! Regita, silakan masuk ya, nak. Ngobrol-ngobrol sama anak-anak muda di belakang aja. Kevien juga ada di sana."
Regita menoleh, penasaran dengan nama yang disebutkan. "Kevien?" gumamnya, tapi segera tersadar dan tersenyum sopan. "Iya, Tante. Terima kasih."
Ratih menepuk punggung Regita pelan. "Sana, Git. Nggak usah malu-malu."
Dengan sedikit ragu, Regita melangkah ke arah taman belakang. Benar saja, ia melihat beberapa anak muda sedang berkumpul di dekat kolam renang. Salah satu dari mereka membuatnya terkejut. "Kevien?" panggilnya tak percaya.
Kevien, yang sedang berbicara dengan seseorang, menoleh dan tersenyum lebar begitu melihat Regita. "Regita? Kamu ngapain di sini?"
"Harusnya aku yang nanya," balas Regita sambil berjalan mendekat.
Kevien tertawa kecil. "Ini rumahku. Jadi aku jelas di sini. Kamu?"
"Ikut Bunda arisan," jawab Regita, masih sedikit bingung. "Tante Nadia itu ibumu?"
"Yup. Dunia ini sempit banget, ya?" Kevien tersenyum ramah. "Mau duduk sini? Atau mau aku ambilkan sesuatu? Minum? Makanan?"
Regita mengangguk pelan, merasa canggung. "Boleh deh. Air putih aja, ya."
Kevien berdiri dan bergegas mengambilkan minuman. Ketika kembali, ia menyerahkan gelas kepada Regita. "Ngomong-ngomong, kamu cantik banget hari ini," katanya dengan nada menggoda.
Regita tersenyum kaku, merasa sedikit salah tingkah. "Ah, biasa aja kali."
Kevien menyandarkan diri di kursi di sebelah Regita, memandangnya dengan penuh minat. "Serius. Kayaknya aku harus lebih sering ikut acara arisan kayak gini kalau tahu bakal ketemu kamu."
Regita tertawa kecil, meski masih merasa aneh dengan suasana ini. "Jangan bercanda. Nanti kamu bosen sendiri."
"Kalau ada kamu, mana mungkin aku bosen?" Kevien membalas dengan senyum khasnya, membuat Regita semakin salah tingkah.
Regita menyesap air putihnya pelan, berusaha mengalihkan perhatian dari tatapan Kevien yang tak lepas darinya. Ia tak tahu kenapa, tapi entah bagaimana, suasana di rumah besar ini membuat jantungnya berdetak lebih cepat.