Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjauh
Beberapa hari berikutnya, Lily masih berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia fokus dengan kuliah dan tugas, berusaha tidak terlalu memikirkan Radit. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang masih terasa kosong. Ia sering teringat dengan perhatian Ezra beberapa waktu lalu. Kebaikan dan kepedulian Ezra yang ditunjukkannya semakin membingungkan perasaannya.
Lily mulai bertanya-tanya, apakah ia merasa sesuatu yang lebih terhadap Ezra? Dan jika iya, apakah itu benar? Ataukah itu hanya pelarian dari rasa patah hatinya terhadap Radit? Semuanya terasa begitu rumit.
Suatu malam, Lily tak tahan lagi dengan kebingungannya. Ia memutuskan untuk berbicara dengan Melisa tentang hal ini. Di ruang tamu, mereka duduk di sofa sambil mengobrol santai. Setelah beberapa saat, Lily mengumpulkan keberaniannya untuk membuka topik yang sebenarnya membuatnya gelisah.
"Mel, aku mau ngomong sesuatu... tapi aku takut kamu bakal marah atau ngerasa aneh," kata Lily, suara pelannya hampir tenggelam dalam hening malam.
Melisa mengangkat alis. "Apa sih yang bisa bikin aku marah sama kamu, Lil? Ayo, ngomong aja."
Lily menggigit bibirnya, merasa sedikit ragu sebelum akhirnya berbicara. "Aku... aku nggak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini aku ngerasa... kayak ada sesuatu yang beda sama Ezra."
Mata Melisa melebar sedikit. "Sesuatu yang beda gimana?"
"Ya... kamu tahu, dia perhatian banget sama aku, dan aku... aku jadi sering mikirin dia," lanjut Lily dengan nada pelan, mencoba memahami perasaannya sendiri saat ia mengatakannya. "Aku takut, Mel. Takut aku jadi ngerasain sesuatu yang lebih ke dia, padahal... dia kakakmu."
Melisa terdiam sejenak, tampak berpikir. Ia sebenarnya sudah lama merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Lily terhadap kakaknya, tapi ia berharap itu hanya imajinasi semata. Sekarang, mendengar pengakuan dari sahabatnya sendiri, Melisa merasa sedikit terganggu, namun ia mencoba tetap tenang.
"Lily, aku paham kamu lagi galau dan bimbang setelah putus sama Radit," ujar Melisa pelan. "Tapi aku perlu kamu tau, Ezra emang orangnya perhatian ke semua orang, bukan cuma kamu. Aku khawatir kamu lagi terjebak sama perasaan rebound setelah putus."
Lily mendengarkan dengan seksama. "Maksud kamu, aku cuma salah paham dengan perasaanku sendiri?"
"Mungkin aja," jawab Melisa sambil mengangguk. "Lagipula, Ezra kan deket sama Nadia, kamu sendiri pernah lihat mereka sering bareng. Aku nggak mau kamu salah paham atau berharap terlalu jauh."
Lily menggigit bibirnya, mencoba memproses kata-kata Melisa. Ia tahu sahabatnya tidak bermaksud jahat, tapi ia tak bisa menahan rasa sakit di dadanya. Apakah benar semua perhatian Ezra itu hanya biasa saja, tanpa makna lebih?
"Jadi kamu pikir, aku nggak boleh terlalu baper sama perhatian Ezra?" tanya Lily ragu-ragu.
Melisa menghela napas panjang, memandang Lily dengan penuh perhatian. "Aku cuma nggak mau kamu sakit hati lagi, Lil. Ezra mungkin perhatian sama kamu, tapi kamu harus ingat, dia itu kakakku. Aku lebih kenal dia daripada siapa pun, dan dia mungkin nggak punya perasaan yang sama kayak kamu."
Lily terdiam, merasakan dadanya semakin berat. Meskipun rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, ia tahu Melisa mungkin benar. Jika ia terus membawa perasaannya lebih jauh, ia bisa saja terluka lagi, kali ini oleh seseorang yang jauh lebih penting baginya daripada Radit.
"Thanks, Mel," ujar Lily pelan. "Aku bakal coba untuk nggak terlalu bawa perasaan."
Melisa tersenyum tipis, lega bahwa Lily mencoba memahami posisinya. "Kamu bakal baik-baik aja, Lil. Aku yakin. Dan kalau kamu butuh apa-apa, aku selalu ada buat kamu."
Malam itu, Lily kembali ke kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu bahwa ia harus menahan perasaannya terhadap Ezra, tapi hatinya tidak bisa berhenti memikirkan semua momen perhatian yang pernah diberikan Ezra kepadanya. Entah bagaimana, Lily hanya berharap semua ini akan menjadi lebih mudah seiring berjalannya waktu.
***
Sejak malam itu, Lily memutuskan untuk menjaga jarak dari Ezra, seperti saran Melisa. Ia tak ingin terjebak dalam perasaan yang mungkin hanya bertepuk sebelah tangan, dan juga tidak ingin merusak persahabatannya dengan Melisa. Namun, meski niatnya sudah bulat, melaksanakannya jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan.
Setiap kali Lily berada di rumah Melisa, Ezra selalu tampak hadir di sekitarnya. Kadang-kadang hanya untuk menyapa, atau bahkan hanya sekadar lewat, tapi kehadirannya selalu membuat hati Lily berdebar lebih cepat. Setiap percakapan singkat, setiap senyuman yang dilemparkan Ezra, selalu membawa Lily kembali ke perasaannya yang ia coba redam. Tapi kini, Lily mencoba bersikap lebih dingin, seolah tidak peduli, meskipun dalam hati ia bergelut dengan kebingungannya.
Suatu sore, Lily duduk di teras rumahnya sambil membaca buku. Ia berharap bisa mengalihkan pikirannya dari Ezra dengan berkutat pada tugas kuliah dan cerita fiksi yang ia baca. Namun, suara familiar terdengar dari depan rumah Melisa.
"Lily!" Ezra memanggil, berjalan mendekat dengan senyum hangat yang membuat hati Lily sedikit goyah. "Lagi ngapain? Kok sendirian aja di luar?"
Lily berusaha tetap tenang, mencoba untuk tidak terlihat terpengaruh. "Biasa, lagi baca buku," jawabnya singkat tanpa melihat Ezra secara langsung. Ia berusaha menyibukkan diri dengan buku di pangkuannya, meskipun kata-kata di halaman tak lagi menarik perhatiannya.
Ezra mendekat, duduk di kursi yang bersebelahan dengannya. "Buku apa yang lagi kamu baca?"
Tanpa bisa menghindar, Lily akhirnya menutup buku itu dan menatap Ezra, mencoba tersenyum tipis. "Hanya novel biasa. Nggak ada yang menarik, kok."
Ezra memiringkan kepalanya, memperhatikan Lily dengan tatapan penuh perhatian. "Kamu kelihatan agak jauh belakangan ini, Lil. Ada apa? Kita nggak sering ngobrol seperti dulu."
Lily merasakan dadanya sesak mendengar pertanyaan itu. Ia tahu Ezra tidak bermaksud jahat, tapi justru perhatian itulah yang membuatnya semakin sulit. Dengan lembut, ia mencoba menormalkan nada suaranya. "Nggak ada apa-apa, kok. Mungkin aku lagi sibuk aja dengan tugas kuliah."
Ezra mengangguk, meski masih tampak sedikit ragu. "Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu bilang ya. Aku selalu siap buat bantu kamu."
Lily tersenyum canggung. Perhatian yang diberikan Ezra membuatnya semakin sulit untuk menjauh, tapi ia tetap berusaha menjaga batas. "Terima kasih, Ezra. Aku akan ingat itu."
Setelah percakapan singkat itu, Ezra akhirnya pamit untuk kembali ke rumah Melisa. Saat ia pergi, Lily menghela napas panjang, merasa lega namun juga tersiksa. Menjauhkan diri dari seseorang yang begitu baik dan perhatian sepertinya bukan hal yang mudah. Namun, Lily terus meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪