SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, bel istirahat pertama berdering, memecah keheningan di seluruh SMA Rimba Sakti. Seperti biasa, murid-murid berhamburan keluar kelas menuju kantin, lapangan, dan berbagai sudut sekolah. Suasana menjadi riuh, penuh dengan canda tawa dan obrolan ringan. Namun, di antara semua keramaian itu, The RADAN memilih untuk berkumpul di markas baru mereka yang sunyi di belakang sekolah.
Arga membuka pintu markas dengan tangan terentang, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk masuk. "Gimana kalau kita pakai istirahat ini buat ngatur strategi?” tanyanya, meletakkan tas di salah satu kursi.
Rian langsung mengambil tempat duduk di kursi yang sebelumnya ia anggap paling nyaman. “Aku suka ide itu, tapi... kita juga harus makan dulu. Laper banget.”
Aisyah tertawa kecil, kemudian berkata, “Tapi bener juga, kita harus bicarain tentang Klub Misteri. Mereka udah lama dikenal, tapi kayaknya sekarang mulai aneh. Ritual-ritual itu... menurut kalian beneran?”
Arga termenung sejenak, memikirkan ulang, “Sulit dibilang. Yang pasti, mereka bukan cuman legenda kosong. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyiin.”
Dimas yang duduk di sudut, masih dengan laptopnya, ikut menyuarakan pendapat. “Mereka keliatan lebih aneh dari yang kita kira. Tapi itu bukan masalah kita sekarang, kan? Masalah kita sekarang itu gimana cara kita dapat lebih banyak informasi tanpa mereka curiga.”
“Gimana kalau aku yang mulai?” Rian berseru, senyum liciknya muncul. “Aku bisa ngobrol-ngobrol santai sama mereka, sambil ngopi kayaknya seru. Nanti dikasih beberapa pertanyaan halus. Aku kan charming, mereka pasti bakal terbuka.”
Nadya memutar bola matanya, tapi tersenyum. “Charming apanya? Aku malah langsung yakin mereka bakalan sadar kalau kamu punya maksud terselubung.”
Baru saja percakapan mereka mulai menghangat, tiba-tiba pintu markas terbuka dengan suara keras. Semua anggota langsung menoleh ke arah pintu dan mendapati sekelompok siswa berdiri di sana.
“Nah, akhirnya ketemu,” kata seorang cowok bertubuh tinggi dengan suara yang cukup berat. Tatapannya dingin, namun senyum di wajahnya tampak tidak terlalu ramah. Di belakangnya ada dua orang lagi, satu cowok dan satu cewek dari kelas 11, serta seorang cowok yang tampak dari kelas 10.
“Kalian? Ada apa?” tanya Arga.
Mereka adalah para anggota dari Klub Misteri. Cowok yang berdiri paling depan, jelas pemimpin dari kelompok itu, melangkah masuk tanpa diundang. “Kalau kalian belum tau, aku Aldi,” dia memperkenalkan dirinya dengan singkat. “Yang ini Fira, Dani, yang ini dari kelas 10 namanya Reza.”
“Udah tau kali,” celetuk Rian yang langsung dihadiahi cubitan kecil dari Nadya agar laki-laki Cindo itu diam.
Reza, cowok kelas 10 yang berdiri paling belakang, terlihat polos dan canggung, seolah-olah ia tidak yakin mengapa dirinya berada di situ. Fira, cewek berambut panjang yang tak pernah dikuncir, dia sekelas dengan Nadya dan dijuluki gadis paling misterius di angkatan mereka. Dani, tubuhnya lebih pendek beberapa senti dari Aldi menatap mereka sambil tersenyum licik.
“Kita cuman denger aja sih, katanya kalian punya markas baru,” lanjut Aldi dengan nada yang agak meremehkan. “Dan sekarang kalian nyebut diri jadi detektif sekolah. Gimana, seru?”
“Seru, mau gabung?” ajak Rian santai, tapi jelas ada sedikit tantangan dalam suaranya.
Dani terkekeh kecil, “Ya kali. Kita cuman mau ngasih tau kalau ada peraturan tak tertulis di sini,” katanya dingin. “SMA Rimba Sakti ini punya sejarah. Klub Misteri udah lama eksis di sekolah ini, jauh sebelum kalian muncul. Dan ada wilayah-wilayah yang gak boleh kalian sentuh.”
“Santai aja, wilayah kita cuman markas ini,” balas Dimas masih berkutik dengan laptopnya seolah tak peduli dengan apa yang tengah terjadi.
Namun, lain halnya dengan Aisyah yang alisnya terangkat penasaran, “Wilayah?”
Aldi melipat tangan di depan dada, bersandar pada dinding dengan santai. “Iya, wilayah. Hutan belakang sekolah, misalnya. Itu ‘milik’ kami. Jangan pernah ganggu kita kalau kita ada di sana.”
Arga mencoba menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan, meskipun peringatan itu cukup jelas bersifat mengancam. “Kita gak ada niat ganggu kalian. Kita juga gak akan ganggu kalian kalau kalian juga gak ganggu kita,” katanya dengan nada tenang, tapi penuh ketegasan.
“Tapi, kalian tau kan...” Dani menyela dengan senyum mengejek, “...sekolah ini cuman butuh satu klub investigasi. Jadi kayaknya klub kalian itu... nggak terlalu penting, sih.”
Rian dengan cepat membalas, “Nah, kalau yang itu opini kalian, jadi terserah. Lagian sekolah ini cukup besar kok buat dua klub.”
Semua anggota The RADAN merasakan ketegangan yang mulai tumbuh di udara. Sementara mereka masih berusaha mempertahankan sikap tenang, jelas bahwa Klub Misteri tidak suka dengan kehadiran mereka.
Aldi tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang ramah. “Terserah kalian aja deh. Liat aja nanti, kalau kalian nggak bubar duluan.”
Klub Misteri akhirnya meninggalkan markas The RADAN, meninggalkan suasana yang berat dan penuh tanda tanya.
Setelah Klub Misteri pergi, suasana markas terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Arga masih terpaku di tempatnya, mencoba memproses pertemuan yang baru saja terjadi. Nadya, yang duduk di sudut dengan tangan disilangkan, menghela napas panjang.
“Jadi... mereka serius, ya?” Nadya bertanya dengan nada masih sedikit tak percaya. “Maksudku, ngapain mereka klaim hutan belakang jadi wilayah mereka? Kayak... ini sekolah milik mereka aja.”
Rian, yang sejak tadi mencoba menahan diri, akhirnya meledak dengan tawa. “Serius banget nanggepinnya. Kalau mereka punya ‘wilayah’ gitu, kenapa nggak sekalian aja mereka klaim kantin itu kerajaan mereka? Atau mungkin lapangan basket jadi tempat singgasana raja?” Dia melanjutkan dengan gaya dramatis, membuat ekspresi seolah-olah dirinya seorang raja.
Aisyah tersenyum tipis, tapi matanya tetap serius. “Nggak lucu, Yan. Mereka jelas gak main-main.”
Dimas ikut angkat bicara sambil tetap memandang layar laptopnya. “Mereka udah lama jadi bagian dari sekolah ini, tapi sekarang mereka lebih kayak cari perhatian dengan cara yang... bisa dibilang berbahaya.”
“Bahaya?” Nadya mengangkat alis. “Kamu pikir ritual mereka benar-benar ada pengaruhnya ke sekolah? Maksudku, kalau mereka cuman main-main di hutan belakang, apa yang bisa mereka lakuin?”
Rian kembali duduk di kursi sambil menyilangkan tangannya di depan dada. “Lagian mereka bilang kalau sekolah ini gak butuh dua klub investigasi, kan? Sedangkan apa yang udah terjadi di sekolah ini, dua kasus yang kita selesaiin sebelumnya, kenapa mereka gak bantu kalau mereka nganggap diri mereka klub investigasi?”
“Karena mereka lebih suka bergelut ke ‘misteri’ yang ada di hutan,” balas Dimas santai.
Arga akhirnya bicara, dengan nada lebih tenang tapi jelas memikirkan lebih dalam. “Tapi udah jelas kita gak bisa anggap mereka remeh. Kita gak pernah tau apa yang sebenarnya mereka rencanain dan yang mereka lakuin di hutan itu. Sekarang mereka lagi merasa terancam karena kita udah resmi jadi klub di sekolah ini. Jadi, semuanya harus hati-hati karena bisa jadi mereka nekat buat ganggu kita.”
Rian, yang mulai bosan dengan obrolan yang serius, tiba-tiba bersandar ke kursinya dan mengangkat tangannya ke udara. “Oke, oke. Aku tetep setuju kalau mereka memang aneh. Tapi, masalah sekarang lebih penting. Kapan kita mau beli barang-barang buat markas?”
Aisyah membuka buku yang ia letakkan di atas meja sedari tadi. “Aku udah nulis apa aja yang kita perlu beli, kok.”
Nadya membaca buku tersebut. “Untunglah gak ada barang-barang aneh di sini.”
“Berarti gak ada sofa, ya?” tanya Rian sedikit cemberut.
“Eh, sipit! Kamu pikir aku ki ATM berjalan po? Ndak usah njaluk sing aneh-aneh (Nggak usah minta yang aneh-aneh) !” gerutu Nadya kesal karena terus mendengar ocehan Rian yang ingin dibelikan sofa empuk.
“Ya, lebih tepatnya...” Rian menyeriangai, “...ATM dengan bonus cashback, diskon 50%, dan promosi tiap akhir bulan.”
Semua tertawa mendengar candaan itu. Mereka merasa suasana kembali menjadi ringan.
“Oke, oke, kita mungkin bisa beli itu pas pulang sekolah nanti,” sahut Arga.
Saat bel tanda akhir istirahat berbunyi, mereka saling bertukar pandang sejenak. Arga berdiri dan berkata, “Kita ketemu lagi di pulang sekolah. Jangan lupa, semua harus hati-hati. Kita nggak tau apa yang lagi direncanain sama Klub Misteri buat bubarin klub kita.”
Semua mengangguk setuju. Mereka tahu, sejak saat itu, The RADAN tidak hanya berurusan dengan misteri yang biasa mereka hadapi, tetapi juga dengan Klub Misteri yang siap untuk melakukan apapun untuk menjaga posisi mereka.
Satu hal yang pasti, pertempuran dingin baru saja dimulai.
...—o0o—...