Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Si Ungu Favorit Liam•
Setelah makan malam yang penuh kehangatan dan candaan, Alina dan Liam akhirnya meninggalkan restoran bersama.
Begitu mobil berhenti di tepat di depan rumahnya, mereka berdua turun dan berjalan berdampingan, Liam membuka kunci pintu dan mereka mulai masuk bersama namun ada sesuatu yang tak liam sadari sejak ia keluar dari mobil.
"Kita sudah sampai di rumah," ucap Alina, menghentikan langkahnya.
"Iya, lalu?" wajah datar Liam menatap Alina.
"Lepaskan tanganku," ucapnya pelan.
Liam menelan ludah, lalu menatap ke bawah dimana jemarinya terus menggenggam jemari Alina dengan erat, seolah enggan melepasnya. Menyadari itu, cepat- cepat Liam melepasnya, ia membuang muka dengan perasaan salah tingkah, lalu memasang wajah dingin saat menatap Alina lagi.
"Sudah larut, kau harus istirahat!" ucapnya dan tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menaiki tangga, meninggalkan Alina yang terdiam di bawah, merasakan debar halus yang tertinggal di tangannya, bersama perasaan yang mulai sulit ia definisikan.
...Pagi, pukul 06: 30...
Dua porsi nasi goreng terhidang di meja, lengkap dengan telur setengah matang di atasnya. Ketika semuanya siap, ia ingat bahwa Liam mungkin belum mengeluarkan baju kotornya.
Tanpa berpikir panjang, Alina membawa keranjang cucian dan naik ke lantai atas. Di depan pintu kamar Liam, ia mengetuk pelan, namun tidak ada jawaban. Merasa pintu kamar Liam tidak terkunci, Alina pun melangkah masuk.
Ini Pertama kalinya ia berada di kamar suaminya, dan ruangannya... kacau balau. Baju-baju berserakan di lantai, meja kerja penuh berkas yang berantakan, dan kasur Liam terlihat lebih mirip seperti kapal pecah.
Alina lalu memungut beberapa pakaian kotor di lantai, lalu tiba-tiba matanya tertumbuk pada… celana dalam ungu yang tersembunyi di balik sofa.
"Astagfirullah, Liam" gumamnya, mengernyitkan dahi, menghalau rasa jijik.
"Masa celana dalam dibiarkan berserakan. Ihhh!” Alina mencubit pinggiran kain itu dengan dua jari, dia menghela napas, lalu memasukkannya ke keranjang cucian.
"Kau bisa, Alina. Ini semua milik suamimu yang harus dibersihkan," gumamnya lagi, berusaha menguatkan diri dari barang intim milik suaminya.
Setelah selesai Alina berdiri, bersiap keluar. Namun, tepat saat ia berbalik, Liam keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk melilit pinggang. Dia tidak menyadari keberadaan Alina, malah asyik menyanyikan lagu rock, lalu handuk yang menutupi alat vitalnya lantas ia tarik dan memutar-mutarkannya ke udara.
"Aaaaa!!!!" Alina menjerit, terkejut hingga keranjang baju di tangannya jatuh, karena tak sengaja melihat pusaka Liam yang menggantung, Dia buru-buru menutup mata dan memutar tubuh ke arah jendela.
Tubuhnya mendadak gemetar. Liam yang mendengar jeritan istrinya pun syok melihat keberadaan Alina di kamarnya, dengan cepat ia segera menutupi kembali pusakanya dengan handuk, matanya melotot dan wajahnya memererah, campuran rasa malu dan kesal.
"Apa yang kau lakukan? kau berani masuk kamarku, tanpa izin?!"
"Aku hanya mau mengambil baju kotormu, untuk di cuci!" sahut Alina, matanya tetap terpejam.
Liam mendengus keras.
"Kau tidak perlu melakukan itu,lagipula aku tidak percaya kau bisa mencucinya sampai bersih! sekarang keluar," usir Liam, lantang.
"Pakai bajumu dulu!" balas Alina, tetap menutup mata.
Liam menggerutu, berjalan ke lemari, lalu menarik pakaiannya dan mulai berpakaian. Begitu sudah rapi, Liam berbalik badan ke arah istrinya.
"Sudah, sekarang keluar." ucap Liam.
Alina dengan hati-hati membungkuk, memunguti pakaian kotor yang jatuh dari keranjang. Namun, saat ia akan melangkah pergi, tangan Liam mencekal lengannya.
"Tinggalkan saja baju-bajuku di sini, Alina, kau mau membantahku lagi?" ujarnya tajam, menahan keranjang yang ia bawa.
"Biarkan aku melakukanya." ucap Alina pelan.
Rahang Liam mengeras lalu sudut bibirnya menciptakan senyum sinis
"Apa kau tidak lelah terus mencari perhatian dariku? kau pikir dengan segala tindakanmu bisa membuatku jatuh cinta? jangan harap, sekali lagi,itu tidak akan terjadi!"
Alina menatapnya, lalu menghela napas.
"Terlalu rendah jika harapanku hanya untuk dunia dan manusia, Liam. Kau takan pernah mengerti konsep pahala dan dosa karena kau tidak mempercayainya."
Liam mendengus, memasang wajah dingin.
"Dan kau meyakini bahwa dengan melakukan tugas tugasmu bisa berpahala dan membuatmu bahagia?"
Alina mengangguk pelan.
"Jika aku ikhlas aku akan bahagia, jika aku tidak di bahagiakan olehmu, Allah pasti akan membahagiakanku dengan caranya yang paling istimewa dan aku yakin itu.. Allah tidak akan pernah mengkhianati janji-Nya."
Dia menatap Liam yang tampak mulai kehilangan kata-kata.
"Jadi tolong, biarkan aku melakukan tugas tugasku sebagai seorang istri ya setidaknya selama kita terikat dengan pernikahan, setelah itu... " Alina tertawa getir.
"Entah apa yang terjadi, tapi aku akan mencoba menjalaninya dengan lapang hati." lanjut Alina, matanya penuh harap.
Liam terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan penuh pertimbangan. Ia melirik ke tangan Alina yang masih di perban dengan tatapannya tak berubah.
"Lukamu bagaimana? jangan sampai kau melakukan tugas-tugas rumah tangga dengan keadaan seperti itu, kau justru akan semakin merepotkanku." ujarnya dingin datar, meski sebanarnya itu adalah cara Liam menunjukan keperdulian.
Di balik cadarnya Alina tersenyum tipis.
"Sudah mendingan, tidak sesakit sebelumnya. Tapi aku yakin aku masih bisa melakukan tugas-tugasku dengan baik."
Liam mengangguk, meski wajahnya terlihat ragu ragu, ia lalu melipat tangan di dada.
"Besok aku akan mencari pembantu. Aku tak yakin kau bisa melakukan semuanya sendiri."
Alina mengangguk, setuju.
"Baik, tapi urusan kamar kita, biar aku yang mengurusnya. Termasuk pakaian dan makananmu. Setidaknya, aku tak ingin ada orang lain yang tahu bentuk celana dalammu."
Liam terkekeh sinis.
"Oke, tapi jangan mengeluh kalau lelah."
Alina hanya tersenyum, lalu berbalik untuk meninggalkan kamar. Namun, langkahnya lagi-lagi terhenti ketika Liam memanggilnya.
"Alina, tunggu."
Ia menoleh, agak bingung.
"Apa?"
Liam mengangkat sebuah celana dalam berwarna ungu dari lantai, melambai-lambaikannya.
"Kau sengaja meninggalkan si ungu ini?"
Alina hanya menatapnya tak percaya, menahan tawa sekaligus jengkel.
"Kau sungguh…"
Liam menyerahkan celana itu ke keranjangnya.
"Cuci yang bersih, jangan sampai rusak. Ini favoritku."
Alina mendecak samar dan geleng-geleng kepala, ia lalu buru-buru keluar dari kamar.
"Hidup dengan pria seperti ini sungguh ujian yang besar." batin Alina.
Alina menuruni tangga sambil membawa keranjang pakaian kotor, dengan senyum tipis yang tak bisa ditahan. Terlepas dari keangkuhannya, ada sisi Liam yang kadang membuatnya tak habis pikir. Sikapnya selalu arogan, bahkan untuk hal-hal kecil, namun Alina mulai terbiasa menghadapi karakter suaminya yang kompleks itu.
Sesampainya di dapur, Alina menata keranjang dan mulai memilah pakaian yang akan dicuci. Pikirannya masih terpaku pada kejadian di kamar tadi, tatapan tajam Liam yang penuh kesombongan, namun anehnya, ia bisa merasakan kehangatan kecil di balik tatapan itu. Sambil tersenyum kecil, ia berbisik pada dirinya sendiri,
"Liam dan kesombongannya… sepertinya itu takkan pernah berubah."
Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. Liam muncul di ambang pintu dapur dengan wajah serius, tangannya menyilang di dada. Ia menatap Alina dengan pandangan menilai, seperti sedang mengevaluasi sesuatu.
"Alina, kau yakin tahu cara menggunakan mesin cuci?" tanyanya dengan nada meremehkan. Ia berpikir istrinya yang hidup dalam kemanjaan ayahnya tak dapat mengoperasikan mesin cuci. Dia tidak tahu saja, bahkan sebelum dia mempelajarinya Alina sudah lebih dulu pandai.
"Liam, ini hanya mencuci pakaian. Jangan khawatir, pakaian-pakaianmu akan tetap aman." ucap Alina, tenang.
Liam mendengus, matanya setengah tertutup sambil menatap keranjang pakaian.
"Pastikan kau tidak merusak apa pun. Pakaian kantor di sisi kiri, dan pastikan warnanya tidak luntur," ujarnya, seolah-olah memberi instruksi penting.
Alina menghela napas panjang sambil menyahut penuh kesabaran.
"Baik, Yang Mulia. Pakaianmu akan kukembalikan dalam keadaan prima. Apa ada instruksi khusus lainnya?" candanya, setengah serius.
Liam menatapnya dengan wajah datar, namun di ujung bibirnya muncul senyuman samar yang seolah tak bisa ditahan.
"Kalau begitu, kita lihat apakah kau bisa melakukannya dengan benar. Dan ingat, tak perlu sok-sokan menjadi istri ideal."
Alina hanya mengangguk sambil memutar tubuhnya kembali ke mesin cuci.
"Percayalah, aku tidak berniat memamerkan apa-apa. Aku hanya mencoba menjalani peranku dengan ikhlas."
Mendengar jawaban Alina yang begitu tenang, Liam terdiam sejenak. Wajahnya tetap keras, tetapi tatapannya melunak sedikit sebelum ia berdeham.
"Baiklah. Kalau ada yang perlu diperbaiki, kau tahu harus ke siapa." Sambil berkata begitu, ia berbalik dan meninggalkan raung cuci.
Alina tersenyum sendiri, lalu bergumam pelan,
"Sombong sekali, tapi setidaknya dia mulai menghargai usahaku, meskipun hanya sedikit."
...[•••]...
...Bersambung.......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.