Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Eneg?
Dean terus menekan tubuh Winarsih hingga punggung wanita itu bersandar pada gawang pintu kamarnya.
Jari tangan kanannya perlahan membelai pundak Winarsih yang tak tertutup. Meski bisa dibilang wanita itu menerima ciumannya, tapi tubuh Winarsih tetap kaku. Tangannya kirinya malah berpegangan pada tiang pintu.
Winarsih bisa dibilang tidak begitu pandai berciuman, tapi hal itu semakin membuat Dean ingin lebih lama menyusuri tiap sudut bibir wanita itu dengan lidahnya.
Tangan Dean perlahan naik mengusap rahang hingga ke belakang telinga dan menyibakkan rambut Winarsih yang terurai. Sesekali Dean mengangkat bibirnya untuk sejenak menarik nafas sebelum kemudian kembali menyapu bibir penuh Winarsih.
Tak sadar berapa lama Dean mengulur-ulur waktu mengakhiri ciuman itu, tapi kemudian Winarsih tiba-tiba melepaskan ciumannya.
Kedua tangan wanita itu mendorong tubuhnya menjauh. "Hueeekkkk...." Winarsih membungkuk ke atas sepetak bedeng bunga yang tersusun tepat di bawah jendela.
Dean yang tangannya masih berada di lengan kiri Winarsih kemudian spontan mengusap punggung wanita itu.
"Ini namanya kamu sakit." Tangan kiri Dean masih berada di punggung Winarsih mengusap pelan punggung pembantunya. Tangan Dean tampaknya semakin sok akrab dengan tubuh wanita itu.
"Masuk angin?" tanya Dean ikut menunduk melihat Winarsih yang ternyata tak ada memuntahkan apapun.
"Nggak Pak, saya cuma ngerasa eneg aja. Kayak ada aroma yang nggak enak," ucap wanita itu kemudian menegakkan dirinya lagi sembari menarik nafas.
Wajah wanita itu semakin terlihat pucat. Dean mulai merasa insecure. Kali pertama Winarsih menerima ciumannya, wanita itu malah muntah.
"Ya udah, kamu istirahat ya. Saya juga mau masuk," ucap Dean.
"Baik Pak." Winarsih mengangguk pelan.
Mendengar itu, Dean mundur dua langkah kemudian berbalik meninggalkan pembantunya.
Ketika memastikan dirinya tak lagi terlihat dari pintu kamar Winarsih, Dean mengangkat tangan kanan-kirinya untuk mencium lipatan lengannya bergantian.
"Gua masih wangi banget padahal," gumam Dean sembari terus berjalan menuju kamarnya.
"Hah--Hah--Hah" Dean juga meletakkan telapak tangannya di depan mulut bak sedang memaksa keong untuk keluar dari cangkangnya.
"Nafas gua juga seger-seger aja tuh. Gua nggak ngerokok, nggak ada makan yang aneh-aneh juga. Kok bisa dia kayak jijik gitu ya ama gua?" Dean masuk ke kamarnya dengan menggaruk-garuk kepala.
Dean benar-benar merasa insecure.
*******
Winarsih merasakan tangan Dean yang hangat memegang dan mengelus bahunya.
Awalnya Winarsih tak tahu harus merespon apa terhadap ciuman pria itu. Dia merasa rendah karena tetap memperlakukan Dean dengan baik setelah pria itu memperkosanya.
Rasanya dia ingin menolak, mendorong pria itu agar menjauh darinya. Tapi tak melihat Dean selama dua minggu lebih, menimbulkan keinginan lebih di hatinya.
Winarsih merasa semakin sulit menjauhi anak majikannya itu. Apalagi, Deanlah laki-laki pertama yang melihat tubuh polosnya. Dean jugalah yang meninggalkan banyak tanda kemerahan di sekujur tubuhnya.
Saat dirinya mulai hanyut dalam ciuman Dean tadi, tiba-tiba dia merasa perutnya bergolak. Pria yang masih sangat wangi meski sudah seharian berada di luar itu tiba-tiba aromanya terlalu menusuk di hidungnya.
Winarsih jadi teringat akan cerita tetangganya yang baru menikah di desa beberapa bulan yang lalu. Saat menghubung-hubungkan cerita yang pernah didengarnya itu, membuat wajah Winarsih semakin pucat.
Benarkah dia mengalami hal yang sama?
Dia ingin segera mengecek sesuatu di kamarnya. Jadi ketika Dean berbicara dan berpamitan, suara pria itu sudah mengambang tak terlalu didengarkannya.
Ketika Dean pergi, Winarsih langsung mengunci pintu dan menuju laci meja untuk mengambil sebuah agenda yang biasa dipergunakannya untuk mencatat keperluan bulanan.
Winarsih mencari lembaran yang berupa kalender dan menelusuri satu tanggal yang dilingkarinya pada bulan lalu.
Saat menemukan satu tanggal yang dicarinya. Winarsih menggigit bibir. Jika perkiraannya benar, dia harus berbuat apa?.
Tubuhnya tiba-tiba merasa lemas seolah semua darahnya berhenti mengalir.
*******
Ryan masuk ke ruangan Dean membawa sebuah clear holder hitam dan langsung meletakkan benda itu di atas meja atasannya.
"Apa nih? Perkembangan?" tanya Dean langsung meraih clear holder dan langsung membukanya.
Clear holder itu berisi beberapa buah foto dan dua lembar kertas.
"Ini profil prianya? Latar belakang pekerjaannya harus lengkap Yan. Sampein ke agen yang kita sewa, kita harus tau semua usaha yang terkait dengan pria ini. Dan yang paling penting, sejak kapan pria ini dekat ama Disty" tukas Dean sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Oke Pak, berkas ini biar saya yang simpan aja ya. Saya agak khawatir kalau tunangan Bapak itu masuk ke sini dan ngoprek-ngoprek meja tanpa sepengetahuan Pak Dean." Ryan meringis saat mengatakan itu.
Dean mendengus, "Iya--iya. Elu aja yang simpen."
"Oke, itu aja Pak. Saya pamit dulu." Ryan berbalik pergi.
Tapi saat langkah kaki sekretaris itu nyaris mencapai pintu, Ryan berbalik.
"Oh iya Pak, tadi di lobby gedung saya ketemu Pak Toni. Dia minta nyampein pesan ke Bapak, katanya 'jangan lupa pertemuan bulanan Genk Duda Akut di tempat biasa' gitu aja Pak." Ryan nyengir kemudian menghilang di balik pintu.
Dean semakin meringis mendengar pesan Toni sahabatnya sejak SMA yang mengingatkan soal pertemuan rutin mereka dengan beberapa teman lainnya.
Di tanggal-tanggal tertentu Genk Duda Akut yang entah siapa pertama kali menamainya itu, memang selalu bertemu di sebuah cafe daerah Sudirman tak jauh dari kantornya.
Tempat pertemuannya tak pernah berubah, hanya tanggalnya saja yang selalu dicocokkan dengan kesibukan mereka masing-masing.
Dan tentu saja nama Genk itu hanya berupa ungkapan. Dari empat orang yang selalu bertemu, hanya seorang saja yang berstatus duda, yang seorang sudah lama menikah, seorang lagi pengantin baru dan Dean satu-satunya yang masih berstatus lajang.
Tak heran, kebanyakan topik pembicaraan mereka selain pekerjaan adalah tentang wanita. Jika para pria berkumpul, porsi durasi pembicaraan pasti lebih banyak ke soal yang satu itu.
*******
(Beer Garden SCBD Sudirman, pukul 21.00)
"Kalo gua sih sukanya emang yang tipe begini," ujar Toni menunjukkan satu foto wanita yang akun instagramnya selalu dia stalking.
"Cantik kok, tunggu apalagi?" ujar Langit yang baru-baru ini menikah dan statusnya sekarang adalah pengantin baru.
"Gua baru nyandang status duda tiga bulan kali Laaaang, masa iya gua langsung nikahin anak orang" jawab Toni yang nyatanya adalah satu-satunya duda di Genk norak yang dinamainya itu.
"Nggak usah buru-buru Ton, entar pusing kayak gua," ucap Rio.
"Pusing napa emang? Bini lu hamil lagi?" tanya Langit terkekeh.
"Iya, kok bener sih?" tanya Rio.
Langit yang mendengar jawaban Rio tertawa karena pertanyaan asalnya barusan kepada Rio ternyata benar.
"Ya kerjaan lu ama bini lu apalagi coba selain nyetakin anak? Ni yang ketiga atau keempat?" tanya Toni.
"Ketiga Ton, jangan lebay lu!" balas Rio cemberut.
Toni, Langit dan Dean tertawa terbahak-bahak.
Bagi Dean, berkumpul bersama sahabat-sahabatnya itu bisa disamakan dengan sebuah piknik.
Karena memang dia bisa tertawa hingga rahangnya nyaris lepas saat bersama mereka. Padahal bisa jadi topik pembicaraan mereka terasa biasa saja di telinga orang lain.
"Jadi kali ini hamil Bini Lu kebiasaannya apalagi?" tanya Toni pada Rio yang duduk bersandar dengan cemberut sambil memeluk sebotol kecil bir.
"Dia jijik ama gua. Katanya gua bau banget. Masak gua abis mandi, gosok sana-sini, pake sabun wangi, sehari tiga kali. Tetep dikatain bau. Tiap gua ajak enak-enak, dia nutupin mukanya pake bantal terus. Berasa enak-enak ama siapa coba?" tutur Rio sebal.
"Wah, pelajaran baru buat gua nih! Ntar kalo tiba-tiba Jingga jijik liat gua, berarti bisa jadi tanda-tanda dong ya?" tanya Langit nyengir.
"Ya elu cek-cek juga dia jijiknya kenapa. Bisa jadi emang jijik beneran," ujar Toni tertawa.
"Anjirrr lu!" maki Langit pada Toni sambil ikut tertawa.
"Emang ada ya begituan? Tiba-tiba eneg? Ngerasa lu-nya bau gitu? Trus bini Lu muntah nggak?" tanya Dean penasaran karena ingat dengan tingkah Winarsih kemarin.
"Ho'oh. Muntah. Tapi makannya banyaaaak banget. Kelaperan mulu. Tau dah tu anak ntar jadi segede apa," tukas Rio menggelengkan kepalanya kemudian menenggak sedikit bir di tangannya.
"Kelaperan terus? Seringnya tengah malem?" tanya Dean lagi pada Rio.
Rio mengangguk.
"Emang lu udah ngebuntingin siapa De?" tanya Toni.
"Tau nih, serius amat nanyanya. Jadi curiga gua," ujar Langit melirik Dean yang jadi salah tingkah.
"Apaan sih tai! Gua cuma nanya doang," jawab Dean asal.
"Yah kan bagus kalo bener. Artinya lu tokcer!" sambung Toni terbahak.
Dean ikut tertawa. Tapi kepalanya tak berhenti berpikir. Masa iya sih Winarsih hamil? Segampang itu? Hanya dalam sekali.... Eh? Dua kali.
Kalau benar hamil bagaimana?
Duh. Kenapa malam itu dia tak memakai pengaman? Tapi Kalau dia sempat pakai pengaman itu artinya dia sedang waras dan tak mungkin sampai memaksa Winarsih.
Dean menggigit bibir bawahnya terus berpikir-pikir.
Dan saat seorang pelayan melintas di dekatnya, Dean kembali meminta buku menu dan memesan beberapa menu makanan untuk dibawa pulang.
"Udah hampir tengah malam, elu pesen makanan untuk siapa?" tanya Toni heran karena Dean tak pernah memesan menu untuk take away.
"Untuk satpam gua, kasian saban malem bukain gerbang," jawab Dean asal.
"Wah, satpam di rumah menteri emang beda ya. Makannya Chicken Cordon Bleu!" sindir Langit tertawa.
Lewat tengah malam, keempat sahabat itu meninggalkan daerah Sudirman untuk kembali ke rumah masing-masing.
Dean meninggalkan mobilnya di depan lobby rumah karena terburu-buru dengan membawa sebuah bungkusan makanan.
Benar atau tidak perkiraannya, Dean hanya sedang mencoba memberi perhatian lebih kepada Winarsih sebisa mungkin.
Mumpung dia masih bisa.
Dean sadar saat itu sudah terlalu larut. Jadi, jika Winarsih sudah tidur, Dean berencana akan memberikan semua makanan itu kepada para satpam yang pasti akan menerimanya dengan senang hati.
Dia berjalan masuk ke rumahnya lurus menuju ruang makan dan menembus dapur bersih. Setelah menuruni tiga anak tangga yang menuju ke dapur utama, Dean langsung keluar lewat pintu paling belakang.
Nafasnya yang terengah-engah seakan terhenti sesaat. Mata Dean meredup, dan bibirnya terukir sebuah senyum saat melihat sosok wanita yang dirindukannya seharian ini sedang berjalan-jalan di dekat tanaman bambu, seolah memang sedang menunggunya.
To Be Continued.....