Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan
Abimanyu dengan acuh tak acuh menikmati makan siang buatan istrinya. Dia tersenyum senang saat menikmati suapan pertamanya, mengabaikan Gerald yang terus bertanya.
“Lo berisik banget, sih?” sahut Abimanyu saat Gerald masih saja tidak puas karena tidak mendapat jawaban dari rentetan pertanyaan yang dia lontarkan.
“Katakan, lo, maksa dia, kan? Jangan-jangan, lo ngancam dia dengan nilai kecil?” Gerald menuding, kedua tangannya bertumpu di atas meja kerja Abimanyu dan tubuhnya sedikit condong ke depan untuk mengintimidasi.
Abimanyu mendengkus mendengar tuduhan Gerald. “Bukannya lo, ya, yang terkenal pelit banget sama nilai?”
Abimanyu berkata, tanpa menghentikan kegiatannya yang sedang makan siang buatan Infiera.
Sebelum Gerald dapat membalas perkataan rekan sejawatnya itu, pintu masuk ruangan terbuka dari arah luar. Bu Rita, salah satu dosen melonggokkan kepalanya dan berkata, “Pak Gerald, dipanggil ke ruang rapat sekarang karena ada beberapa hal yang harus dibahas.”
“Baik, Bu, saya akan segera ke sana,” jawab Gerald, tapi posisinya sama sekali tidak berubah, dia kembali menoleh pada Abimanyu. “Jawab dulu!”
“Apa?”
“Kau mengancam mahasiswamu untuk membuat makan siang, kan?”
“Pak Gerald cepat! Sebentar lagi kita akan kedatangan perwakilan dari dinas pendidikan.”
“Hus!” Abimanyu mengibaskan tangannya, mengusir.
“Baik, Bu.” Gerald menjawab cepat, dia tidak lupa kembali mengancam Abimanyu. “Gue bakal nagih jawabannya nanti setelah rapat.”
Setelah itu, Gerald pergi meninggalkan ruangannya. Sedangkan Abimanyu hanya mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh dan meneruskan makan siangnya.
Selang lima menit setelah kepergian Gerald. Bu Rita kembali masuk dan berjalan menuju ke meja kerjanya. “Wah... Pak Abi tumben makan di kantor, Pak.”
“Iya, Bu,” jawab Abimanyu singkat.
Bu Rita hanya melirik sekilas kotak makan siang Abimanyu. Terlihat jelas kalau itu adalah bekal yang dibawa dari rumah. Namun, karena sifat Abimanyu yang berbanding terbalik dengan Gerald, dia tidak bisa menggoda rekannya itu.
“Pak Abi, saya duluan. Mau makan siang sama yang lain di kantin.”
Abimanyu hanya tersenyum dan mengangguk sebagai tanggapan.
Tumben! Itulah yang ada di benak Bu Rita. Selama ini, Abimanyu jarang sekali terlihat makan siang di kampus. Kalaupun terpaksa harus makan di kampus, Abimanyu biasanya makan di kantin bersama dengan Gerald.
Dosen yang dia ketahui masih melajang, rasanya cukup lucu jika membawa bekal sendiri dari rumah.
Bu Rita bersama dengan beberapa rekan dosennya bergegas menuju kantin dan mengambil menu makan siang hari ini yang disediakan oleh Mang Ujang. Siang itu, suasana kantin sangat ramai dan cukup penuh. “Ayo, kita ke sana.” Bu Rita mengajak rekannya yang lain untuk makan di maja yang masih kosong di sisi barat dekat mushola.
“Ibu boleh duduk di sini, ya?” Bu Rita berkata pada mahasiswa yang juga sedang makan siang di sana.
Infiera, Bimo, dan juga Anisa mengangguk dan menjawab bersama, “Silakan, Bu.”
“Ibu perhatikan kalian bertiga selalu kompak, ya?” goda Bu Rita karena dia cukup sering melihat ketiga teman serangkai itu bersama-sama.
“Haha... Ibu tidak tahu, ya, kalau itu, kan, penerusnya AB3,” seloroh Anisa, sambil terpingkal.
“Ya, AB3 itu perempuan semua. Sedangkan kalian ada satu personil pria.”
“Kolaborasi, Bu.” Fiera menimpali. Dia juga ikut tertawa dengan candaan temannya.
Sedangkan Bimo, tiba-tiba meletakkan kepalan tangannya di depan mulut, “Are you ready for the show?”
Semua orang yang ada di meja itu tertawa karena tingkah Bimo, seolah-oleh dia sedang berada di atas panggung.
“Aduh, kalian ini anak muda, tapi ternyata tahu AB3 juga, ya?”
“Kita mah emang remaja jompo, Bu.” Fiera menyahut yang langsung disoraki kedua temannya yang lain. “Itu mah elo saja kali.”
Fiera terus tertawa dengan karena puas menggoda teman-temannya.
Bu Rita melirik makanan yang ada di hadapan Infiera. Dia menyipitkan matanya karena mengenali menu yang ada di hadapan mahasiswanya itu. “Fier, menu makan siang kamu sama persis dengan Pak Abimanyu.” Bu Rita sama sekali tidak memiliki maksud apa-apa. Dia hanya spontan mengatakan itu.
Uhuk!
Fiera yang sedang tertawa tersedak dan terbatuk tiba-tiba. Dia menyambar minuman miliknya dan meneguknya.
“Kamu kenapa?” Bu Rita terlihat khawatir karena mahasiswanya itu terus terbatuk karena tersedak. “Hati-hati.”
Suara batuk Fiera cukup menarik perhatian, mengingat di meja itu ada beberapa dosen yang juga sedang makan siang, terlihat mengkhawatirkannya.
“Ada apa ini?” tanya seseorang yang baru saja muncul dari arah belakang.
Bu Rita menoleh ke sumber suara. “Ini, loh, Bu Almira. Tersedak. Dia kaget hanya karena saya bilang menu makan siangnya sama dengan Pak Abimanyu.” Bu Rita tertawa. Dia masih tidak berpikir terlalu jauh, dirinya juga tidak tahu kalau yang memberikan makan siang pada Abimanyu adalah Infiera. Hanya Gerald yang mengetahuinya.
Mendengar hal itu, wajah Almira sedikit keruh. Dia mengangkat wajahnya melihat Infiera yang sedang minum air mineral untuk meredakan batuknya.
“Saya baik-baik saja, Bu.”
“Kamu, sih, Bimo, malah konser,” tegur Bu Rita, padahal dia juga menikmati dan cukup terhibur setelah sejak pagi rapat untuk membahas diklat yang akan diadakan di luar kota. Beberapa dosen menolak untuk pergi karena beberapa alasan. Jadi, mereka masih harus membahas siapa yang akan pergi.
Fiera memalingkan wajahnya. Dia tidak mau menatap pada Almira, karena setelah mendengar ucapan Bu Rita, entah kenapa dirinya merasa kalau wanita yang diketahui sebagai mantan kekasih suaminya itu menatap dengan pandangan aneh.
“Kalau begitu, saya duluan, Bu. Saya hanya beli air minum saja.”
“Silakan, Bu, saya selesaikan makan siang dulu. Baru bergabung lagi.”
Almira hanya mengangguk dan berbalik meninggalkan kantin. Baru, saat itu Fiera mengangkat kepalanya, menatap punggung Almira yang semakin menjauh.
***
Usai makan siang, Infiera langsung pergi ke perpustakaan, sedangkan teman-temannya ada kelas sampai pukul dua siang nanti. Suasana perpustakaan cukup sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang datang dan langsung pergi lagi setelah mendapatkan bukunya.
“Bu Gina sudah masuk saja. Engga bulan madu, Bu?” goda Fiera saat menghampiri petugas perpustakaan yang baru menikah sekitar satu minggu yang lalu itu.
“Tiap harilah bulan madu,” selorohnya, “Ibu cuman dapat libur empat hari, Fier. Jadi engga bisa kemana-mana. Suami apa lagi, dia cuman libur dua hari aja, karena lagi sibuk banget di kantornya.”
Fiera mengangguk dan mengatakan, ‘sabar’ pada Bu Gina, lalu berjalan menuju ke rak paling ujung di mana artikel yang dibuat mahasiswa berada. Sudah lama dia tidak membaca artikel kampus, pikirnya.
“Wah, banyak yang baru rupanya.”
Fiera mengambil salah satu majalah kampus keluaran terbaru. Biasanya, bagian jurnalistik selalu meng-update berita terbaru dari kalangan mahasiswa yang berprestasi. Baik segi akademik maupun non akademik. “Wow, ternyata ada artis juga di kampus ini. Kok aku engga tahu?” Fiera membaca sebuah profil mahasiswa seni yang baru saja terjun ke dunia akting. Meski hanya sebagai pemeran pendukung, tapi dia cukup mendapat perhatian.
Fiera sama sekali jarang update mengenai berita selebriti tanah air. Selama ini, dia lebih suka nonton acara hiburan semacam varietyshow Korea.
Saat sedang asyik membaca beberapa berita mengenai mahasiswa di kampusnya, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya, “Terima kasih untuk makan siangnya, ya.”
“Astagfirulloh.” Fiera bergeser ke samping kanannya, karena orang yang berbicara berada di samping kirinya.
“Kamu seperti melihat hantu saja.” Orang itu tertawa pelan. Dia menyandarkan tubuhnya di rak buku yang ada di sampingnya.
Fiera terkejut dengan keberadaan Abimanyu yang ada di sana. Dia langsung melirik kesana-kemari untuk memastikan tidak ada orang yang melihat mereka bersama di sana.
“Mas, ngapain di sini? Bagaimana kalau ada yang lihat?”
Abimanyu menegakkan tubuhnya. Dia melangkah satu langkah ke hadapan istrinya. “Tidak ada siapa-siapa. Bu Gina baru saja keluar karena dipanggil sama dekan.”
“Tetap saja. Bagaimana kalau ada mahasiswa lain yang lihat.”
Abimanyu mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. Dia kembali mengulang perkataannya, “Makasih, ya, masakan kamu enak banget. Kamu belajar dari mana masak itu?”
Fiera langsung merona mendengar pujian dari Abimanyu. Tidak menampik jika dia senang mendapatkan pujian itu, terlebih Abimanyu adalah suaminya.
“Dari mamah. Di Bandung, kan, banyak kentang kecil kaya begitu. Biasanya kami masak sendiri.”
“Nanti, kalau kita pulang ke Bandung. Kita minta kentangnya sama bapak, ya?”
“Kita?” Fiera malah mengulang ucapan Abimanyu dan mengabaikan pertanyaan pria itu.
“Tentu saja. Bukannya kamu mau pulang ke Bandung pas libur semester ini?”
Memang, tapi Fiera sama sekali tidak berpikir jika Abimanyu akan ikut ke Bandung bersamanya. Selain itu....
“Bukannya Mas sedang sibuk?” tanya Fiera dengan suara pelan, takut banget kalau ada orang lain yang melihat dan mendengar pembicaraan mereka.
“Memang, tapi Mas usahakan buat nganter kamu pulang. Bapak sudah nitipin kamu ke mas. Masa mas biarin kamu pulang sendiri.”
Fiera terdiam dengan ucapan Abimanyu. Dia merasa asing dengan perhatian pria itu.
“Apa yang kamu pikirin?”
Fiera tersadar. Ternyata dirinya melamun. “Tidak ada. Mas masih mau di sini? Aku harus pergi, masih ada kelas bentar lagi.” Sebenarnya, dia hanya ingin menghindar saja karena takut ada orang lain yang masuk ke ruangan perpustakaan itu.
“Engga, mas ke sini hanya buat bilang makasih saja karena makanan kamu enak.”
Lagi-lagi ucapan sederhana itu menyentuh hatinya dan membuat pipinya merona. Fiera memalingkan wajah karena malu. “Sama-sama. Padahal, hanya itu yang bisa aku masak,” gumamnya pelan.
“Engga apa-apa, kok, mas suka.”
Fiera merasakan hentakkan jantungnya begitu keras. Dia ingin menyentuh dadanya, tapi menahan diri. Jangan sampai Abimanyu tahu jika saat ini dirinya berdebar hanya karena pujian semacam itu.
“Ya sudah, aku duluan, ya.”
“Bareng aja keluarnya.”
Fiera mengurungkan niatnya untuk pergi. “Tapi, Mas, bagaimana kalau ada yang lihat kita keluar dari perpustakaan sama-sama?”
“Memangnya kenapa?”
“Kok tanya kenapa, sih?”
“Ini, tuh, tempat yang bisa didatangi siapa saja, Fier. Jadi, wajar kalau mas dan kamu keluar dari sini. Kita sama-sama bagian dari kampus ini—kamu mahasiswa dan mas dosennya. Apa yang salah jika keluar dari perpustakaan?”
Fiera diam. Tidak ada yang salah dengan ucapan Abimanyu, tapi tidak tepat juga. Namun, dia sama sekali tidak memiliki hal lain untuk membuat Abimanyu menunggu di sana sebelum dirinya keluar terlebih dahulu.
“Ya sudah.” Hanya itu yang Fiera katakan sebelum dia melangkah menuju pintu keluar dan meninggalkan perpustakaan.
Abimanyu tersenyum tipis. Meski mengatakan hal itu pada sang istri, Abimanyu tetap berjalan di belakang istrinya. Senyum di wajahnya merekah, sedangkan Fiera berjalan cepat dan berharap tidak ada satu pun orang yang melihatnya keluar bersama dengan Abimanyu.
Namun, dugaan Fiera salah, karena beberapa mahasiswa perempuan melihat mereka keluar bersama. Apa lagi, mereka juga melihat Abimanyu tersenyum di belakang Infiera. Cukup aneh untuk dosen yang selama ini terkenal galak.
“Bukannya itu Pak Abimanyu, ya? Wah, dia tersenyum.”
“Hei, kalian perhatikan. Bukankah itu cewek yang tadi di kantin, ya? Yang duduk di belakang kita? Kalian ingat, ga, dia tersedak hanya karena Bu Rita bilang kalau menu makan siangnya sama dengan Pak Abi.”
“Eh, iya, bener. Itu Infiera. Anak sastra.”
“Jangan-jangan, mereka memiliki hubungan lagi. Coba kalian pikir, Bu Rita bilang menu makan siang mereka sama. Terus, sekarang mereka keluar dari perpustakaan bersama-sama.”
Dua orang lainnya membenarkan ucapan temannya itu, tapi salah satu dari mereka mencoba untuk menepis anggapan itu, “Atau mungkin itu hanya kebetulan aja. Lagian ini perpustakaan, kan, bukan tempat yang privat.”
“Tapi, kebetulannya terlalu persis. Okelah kalau hanya keluar dari perpustakaan, masih bisa dimengerti, tapi mereka makan siang dengan menu yang sama. Si Infiera juga keliatannya terkejut banget tadi pas Bu Rita bilang kalau makan siangnya sama dengan Pak Abimanyu.”
“Wah, iya banget. Haha... jangan-jangan mereka pacaran lagi. Ah, beruntung banget si Infiera. Meski Pak Abi galak, dia juga ganteng banget, tahu.”
“Kita harus ngeteh sepertinya sama dia. Kita harus cari tau cara meluluhkan dosen galak.” Ketiga mahasiswa itu tertawa dengan pembicaraan mereka, seraya melanjutkan langkahnya ke tujuan semula. Mereka tidak menyadari ada seseorang yang mendengar pembicaraan ketiganya dengan ekspresi yang sangat rumit.
...Eitsss, jangan buru-buru pergi. Tap dulu like-nya. Jangan lupa juga vote yang banyak dan juga tonton iklannya^^...