Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan setelah melahirkan
Setelah melewati proses persalinan yang melelahkan, Hesti merasa lega sekaligus bahagia melihat bayi yang baru lahir dalam pelukannya. Tangisan bayi itu adalah suara kehidupan baru yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi setiap orang tua. Namun, ada kegelisahan di hati Hesti. Ia segera menelpon Dody untuk memberi kabar bahagia ini.
Hesti dengan suara lelah tapi bahagia "Dody, alhamdulillah, bayinya sudah lahir. Anak kita sehat, semuanya berjalan lancar..."
Dody dengan nada datar Oh, syukurlah... ya, baguslah kalau semuanya baik-baik saja."
Hesti terdiam sejenak, berharap mendengar lebih banyak kegembiraan dari suaminya. Namun, jawaban Dody yang terdengar dingin dan tanpa emosi membuat hatinya tersayat. Ia berharap suaminya akan bersukacita mendengar kabar kelahiran anak mereka, tetapi nada suara Dody justru mencerminkan ketidakpedulian.
"Kenapa Dody terdengar begitu... tak bersemangat? Ini kan anaknya juga. Mengapa dia tidak bahagia seperti yang aku harapkan?"
"Aku sedang sibuk sekarang, Hesti. Nanti aku telpon lagi, ya."kata Dody selanjutnya seolah tak mau berkata banyak di telepon
Hesti berusaha menahan air mata "Iya... baiklah, Dody."
Hesti menutup telepon, perasaannya campur aduk antara bahagia karena kelahiran bayinya dan kecewa dengan sikap Dody yang dingin. Dia mencoba menguatkan hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Dody sedang sibuk dan tidak sempat merespon dengan benar. Namun, jauh di lubuk hati, Hesti merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dan Dody.
Ibunya melihat Hesti termenung "Ada apa, Nak? Kok kelihatan sedih? Harusnya ini hari bahagia."
Hesti tersenyum kecil, menutupi perasaannya "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma lelah. Mungkin butuh waktu untuk benar-benar menikmati semua ini."
Malam itu, Hesti memandangi bayinya yang tidur di pelukannya. Rasa cinta yang mendalam untuk anaknya melampaui segala rasa sakit dan kekecewaan yang ia rasakan. Namun, Hesti tahu, dirinya tidak bisa mengandalkan Dody sepenuhnya dalam menjalani kehidupan ini.
Malam itu Hesti berusaha tidur, tapi pikirannya terus berputar. Bayinya yang baru lahir tidur nyenyak di sampingnya, namun hatinya tidak tenang. Kekecewaan terhadap Dody membuat Hesti merenung tentang masa depan rumah tangganya. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Dody tidak pernah benar-benar memperlihatkan tanggung jawab sejak mereka menikah.
Keesokan paginya, setelah mengurus bayinya, Hesti duduk bersama ibunya di ruang tamu. Ia mencoba menutupi kegelisahan hatinya, tetapi ibunya bisa merasakan ada sesuatu yang salah
"Nak, kamu kelihatan lesu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Dody?" Ibu berkata sambil mengamati wajah Hesty yang kelihatan sedih
Hesti menghela napas "Aku... nggak tahu, Ma. Sejak aku menikah dengan Dody, aku merasa dia berubah. Dia sering tidak ada di rumah, dan sekarang setelah bayinya lahir, dia tidak terlihat bahagia. Aku takut dia nggak mau bertanggung jawab."
Ibunya memegang tangan Hesti dengan lembut, mencoba memberinya kekuatan.
"Nak, kalau memang Dody tidak bisa bertanggung jawab, kamu harus siap. Jangan terus bergantung padanya. Kamu masih punya kami, dan kamu kuat. Tapi kamu juga harus tegas dengan Dody, tanya langsung apa niatnya."kata ibu sambil memegang tangan Hesty
Kata-kata ibunya membuat Hesti semakin sadar bahwa dia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakpastian. Dia harus tahu apakah Dody benar-benar ingin menjadi bagian dari hidupnya dan anak mereka.
Di malam yang sama, Hesti memutuskan untuk menelpon Dody lagi, meskipun hatinya penuh keraguan. Ketika Dody mengangkat telepon, Hesti langsung bertanya dengan tegas.
"Dody, kita harus bicara. Aku tahu kamu sibuk, tapi ini penting. Bagaimana dengan masa depan kita? Aku merasa kamu tidak benar-benar ada untuk aku dan anak kita."kata Hesty saat menelpon Dody lagi
Dody terdengar agak kesal "Masa depan? Aku kan udah bilang, aku sibuk. Jangan mendesakku terus, Hesti. Aku juga punya masalah sendiri."
Kata-kata Dody yang terkesan acuh tak acuh membuat Hesti semakin hancur. Namun, kali ini dia tidak ingin mengalah begitu saja.
"Dody, kita sudah menikah, punya anak. Aku butuh kepastian, dan aku tidak bisa terus seperti ini, merasa diabaikan. Aku butuh kamu ada di sini, bukan cuma untuk aku, tapi untuk anak kita juga."
Dody terdiam sesaat, lalu dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya, dia menjawab.
Dody: "Aku nggak janji, Hesti. Kita lihat aja nanti.
Jawaban itu bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Hesti. Dia menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi, air matanya perlahan mengalir. Dalam hati, Hesti tahu, dia tidak bisa terus menunggu janji yang tidak pernah pasti dari Dody.
Hesti berpikir ngga ada gunanya bicara dengan Dody b"Aku harus melakukan sesuatu. Aku nggak bisa terus menggantungkan harapanku pada Dody... Aku harus kuat demi anakku."
Malam itu, Hesti memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada Dody. Ia harus merencanakan hidupnya sendiri, terlepas dari apapun yang terjadi dengan Dody. Ia ingin masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan anaknya, meskipun itu berarti harus berjuang sendirian.