Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Hati yang Biasa Saja
"Hmm, kakaknya Cia ya?!" Puput menyipitkan mata. Memastikan lagi wajah tampan di hadapannya itu yang masih diingatnya kemarin datang ke rumah bersama Enin.
Rama mengangguk diiringi seulas senyum manis. "Kalau aku gak ragu. Kamu pasti Puput."
Puput membalas dengan anggukkan dan sikap ramah. "Saya ditelpon polisi-----" ucapannya tidak tuntas karena Rama memotongnya.
"Iya. Maaf ya udah mengganggu waktunya. Biar kasusnya segera di BAP dan pelaku dapat hukuman setimpal. Saya kesini mewakili keluarga Cia buat menemani kamu memberi kesaksian. Sebagai respect kami atas kebaikanmu menyelamatkan Cia." Rama mengemukakan alasan yang masuk akal agar pendekatannya terlihat natural.
"Waduh...jadi tersanjung." Puput sedkit membungkukkan kepala diiringi senyum lebar. "Makasih ya Aa....eh Pak....eh Mas...eh...siapa namanya lupa?" sambungnya sambil terkekeh tanpa dosa. Bingung harus memanggil apa terhadap kakaknya Cia itu. Ia bahkan lupa dengan nama yang sudah diabsen Cia saat percakapan orderan tadi siang.
Rama tersenyum simpul. Setiap gerak Puput di hadapannya itu tak luput dari atensinya. Di satu sisi miris juga dengan sikap cuek wanita itu. Di saat wanita lain akan antusias ingin berkenalan bahkan mencari tahu tentang profilnya, ini malah sampai lupa dengan nama. Padahal saat kunjungan ke rumahnya, Enin sudah memperkenalkan.
"Saya Rama Ad....."
"Panggil Rama saja." Hampir saja Rama keceplosan menyebutkan nama panjangnya. Bisa-bisa terbongkar jati dirinya sekarang. Situasi dan kondisi yang sangat tidak relevan.
Puput mengangguk-angguk. "Ya udah atuh yuk....kita masuk!" Ia pun lebih dulu melangkah mendahului Rama.
Lagi-lagi Rama dibuat terkejut dengan sikap Puput yang melangkah dengan gesit dan enerjik. Ia segera mensejajari berjalan di sisinya. Tadinya berharap akan ada adu canda dulu dengan mendengarkan Puput yang bingung memanggil embel-embel namanya. Apakah mau memilih Aa Rama atau Mas Rama atau Kak Rama. Tujuan agar bisa lebih akrab lagi. Namun kenyataan diluar ekspektasi. Malah ditinggalkan dengan melenggang cepat.
Rama dengan setia menemani dan memperhatikan Puput di ruang penyidik. Sekitar kurang dari satu jam lamanya, tanya jawab seputar kronologis pun selesai. Keduanya pun keluar bersamaan dengan adzan magrib berkumandang.
"Sekarang mau lanjut kemana?" Rama mengehentikan langkahnya begitu sudah berada di lobi. Memperhatikan Puput yang sedang menatap layar ponsel.
"Gak kemana-mana, saya mau lanjut pulang aja." sahut Puput usai membalas pesan dari Ibu yang menanyakan kenapa belum pulang.
"Gimana kalau kita makan dulu? Saya yang traktir."
Puput menggelengkan kepala. "Aduh maaf ya, saya gak bisa. Mau pulang sekarang karena Ibu khawatir jam segini belum juga pulang."
Menjadi percakapan terakhir karena selanjutnya Puput pamit lebih dulu terhadap Rama. Klakson motor dibunyikan sekali, begitu melewati Rama yang masih berdiri di parkiran.
Rama menatap lekat kepergian Puput sambil terpaku di tempatnya berdiri. Sampai motor tak terjangkau pandangan karena sang driver melajukan dengan cepat. Membuat Rama geleng-geleng kepala. Takjub dengan kelihaian Puput membawa motor.
...***...
"Gila....gila....gila!" Rama berjalan mondar mandir sambil mengacak-ngacak rambutnya. Merasa gemas sendiri. Tidak mempedulikan Damar yang jengah dan merasa terusik karena mengganggu konsentrasi bermain game.
"Huft. Baru kali ini ketemu cewek model si Puput." Rama menghela nafas kasar. Kali ini berhenti mondar mandir. Beralih berkacak pinggang menatap Damar. Meski diacuhkan.
Rama tertawa sumbang, lanjut geleng-geleng kepala. "Semua cewek selalu berharap diajak jalan atau makan sama gue. Di kota kecil ini.....pesona gue di hadapan Puput luntur, Bro." Ia pun menepuk jidat, menggeleng tidak percaya.
Seorang Rama Adyatama. Wajah tampan dan senyum manisnya bikin kaum hawa meleleh. Follower IG nya bahkan selalu mengomentari histeria di setiap foto yang diunggahnya. Ia terlalu percaya diri dengan pesona yang dimilikinya. Sayangnya, Puput tidak menampakkan ketertarikan sama sekali. Buktinya, ajakan makannya ditolak dengan tegas.
"Gila....gila...gilaaa!" Teriak Rama sambil menjatuhkan tubuh di ranjang. Sampai ponsel yang sedang dimainkan Damar tersikut dan jatuh dari pegangan.
"Damn it! Ah lo emang beneran gila." Damar mendelik kesal. Keasyikannya bermain game ML terganggu oleh kelakuan Rama yang terus mengoceh membahas tentang Puput. Bahkan kini ponselnya sengaja ditindih oleh sahabatnya yang dipastikan mulai terserang virus cinta.
"Stop dulu maen game nya! Kasih saran dulu, kapan bagusnya gue minta maaf, bro?"
"Ah, kalau dia karyawan biasa gak akan seruwet ini. Gue gak akan gengsi minta maaf jika memang gue salah. Dan balikin lagi jabatannya ke posisi semula. Selesai."
"Tapi ini Puput....orang yang pengen gue kejar. Lo tau, dia B aja ngeliat gue. Seorang Rama idola gadis dan emak-emak....tapi di depan Puput?! Astaga gue kayak Kang Panci....dipandang sekilas doang...kagak dibeli." Pungkas Rama mendesah kecewa.
Damar yang tadinya kesal menjadi tertawa lepas. Menjadi geli mendengar ocehan Rama. Ia pun menjatuhkan kepala di bantal. Ikut telentang seperti Rama sambil menatap plafon kamar. Selama tinggal di rumah Enin, mereka memang tidur sekamar. Orang luar tidak akan menyangka, dibalik sikap cool seorang Rama, aslinya memiliki sifat humoris. Namun setelah patah hati dikhianati sang kekasih Karenina, lalu beralih bertunangan dengan Zara, Rama berubah menjadi pendiam.
"Besok lo ke kantor. Klarifikasi segera....mumpung belum lama." Damar memberikan saran.
"Selamat berjuang dapetin mojang Ciamis." Lanjut Damar sambil tertawa. "Lo biasa dikejar-kejar cewek, kini kebalik ngejar satu cewek. Ini kayaknya bakalan gak mudah dapetin hati Puput. Harus pakai strategi," sambungnya dengan jari mengetuk-ngetuk pelipis.
"Tapi sebaiknya beresin dulu hubungan lo sama Zara. Nanti si Puput kalau tahu bisa salah faham dikira lo selingkuh. Makin susah digapai dah hatinya...." Damar sok bijak menasehati sahabatnya itu.
Rama mencerna. Apa yang dikatakan Damar sangatlah benar. Ia harus lepas dulu dari Zara. Meski bakalan tidak mudah karena sudah mencoba. Wanita itu tidak mau diputuskan. Membuatnya harus memutar otak.
Tiba-tiba Rama tertawa sendiri dengan pandangan menerawang. "Heran, Mami yang do'ain lo dapat mojang Ciamis, do'anya malah nempel ke gue."
"Itu karena Tuhan lebih tahu hamba Nya yang menderita kan elo," ledek Damar sambil memeletkan lidah. Berbuah tonjokkan di lengan yang dilayangkan Rama.
Ketukan di pintu kamar terdengar.
"Sayang, belum tidur kan?! dipanggil Papi ada penting katanya."
"Sayang---"
Rama dan Damar saling pandang dan bersamaan mendecak. Orang yang mengetuk pintu dan berteriak jelaslah suara Zara. Dengan malas Rama bangun menuju pintu.
Damar menatap punggung Rama yang kemudian hilang dibalik pintu.
Gue gak akan nyari mojang Ciamis, Bro. Sudah ada satu nama yang singgah di hati untuk diperjuangkan.
Sama-sama tidak mudah, Bro. Karena dia udah punya pasangan. Tapi jatuh cinta memang butuh perjuangan. Gue harus bisa menyentuh hatinya.
Damar terkekeh sendiri. Tiba-tiba saja bermonolog dalam hati dan sok melankolis. Sementara ini ia memilih menggenggam sendiri. Belum waktunya berbagi cerita kepada Rama tentang urusan asmaranya.
...***...
"Ini pesanan Cia, Bu." Puput menuliskan pada secarik kertas agar Ibunya tidak keliru dan lupa. Karena ada beberapa pesanan di hari esok.
"Alhamdulillah---" sahut Ibu dengan mata berbinar. Bersyukur mendapat lagi konsumen baru yang bisa jadi langganan. Ia membaca rincian pesanan sekalian menuliskan daftar belanja untuk dibeli besok pagi ke pasar induk.
"Berarti urusan Teteh jadi saksi udah beres, Teh?" Ibu lanjut membahas kasus Cia. Setelah magrib tadi, anak sulungnya itu menceritakan alasan pulang telat.
"Katanya petugas sih nanti sekali lagi pas sidang digelar. Ya... Teteh mah siap-siap aja." Puput beralih rebahan berbantalkan boneka ulat milik Rahmi. Menatap layar televisi yang sedang menayangkan Primetime News.
Aul datang dari arah dapur. Bergabung duduk di karpet sambil membawa sepiring kentang goreng dan saos botol. Baginya tidak afdol nonton tv tanpa ada cemilan.
"Oh ya Teh, tadi ada Pak Sodiq dan istrinya bertamu. Katanya tidak akan perpanjang kontrak rumah. Malah akan beres-beres pindahan akhir bulan ini. Katanya Pak Sodiq dimutasi ke cabang Banjarsari."
Puput sontak bangun dengan wajah semringah. "Alhamdulillah....ini jadi kabar baik dong." Ia menjentikkan jari penuh semangat.
Ibu malah mengerutkan kening tidak sependapat. Keluarga Pak Sodiq sudah empat tahun mengontrak rumah dua lantai di wilayah Cikoneng. Rumah yang dibangun almarhum suaminya untuk investasi. Sewa kontrakannya menjadi penambah dapur ngebul. Padahal Ibu sudah senang, mengira kedatangan kepala unit Bank BUMN itu untuk memperpanjang kontrak yang akan habis 2 bulan lagi. Malah sebaliknya.
Puput mencoel kentang goreng ke saos cabe sebelum memulai menjelaskan maksudnya.
"Gini Bu, Teteh udah punya ide dan bikin konsep untuk membuka rumah makan....eh terlalu keren kesannya....ganti warung nasi deh. Masakan Ibu sudah teruji banyak disukai. Jadi Ibu gak usah lagi buat dagangan yang dijual keliling sama Ceu Nining. Kita ganti dengan jualan offline dan online daftar di aplikasi."
"Yang bikin tersendat untuk realisasi, Teteh bingung soal tempatnya dimana. Di sini rasanya kurang pas. Rumah ini terlalu kecil jika dibagi dua fungsi untuk tempat tinggal dan tempat makan pengunjung."
"Kalau rumah Cikoneng kan dua lantai. Lantai atas bisa untuk tempat tinggal, lantai bawah untuk tempat makan. Masih ada lahan di belakang rumah. Bisa untuk membuat dapur baru."
Ibu dan Aul menyimak penjelasan Puput dengan khusyu.
"Plusnya nih Bu, Ami bentar lagi masuk SMP dan sekolah pilihannya dekat rumah. Zaky juga ke SMA nya deket. Aku juga sama, jadi deket ke tempat kerja."
"Aku juga bisa motong kompas jalan ke kampus. Gak harus muter kayak di sini. Kadang terasa cape banget kalau pas banyak tugas." Aul menyahut. Secara tidak langsung menyutujui ide kakaknya itu.
Ibu terdiam sesaat dan nampak berpikir dengan kening mengkerut.
"Baiklah, Ibu setuju sama ide Teteh. Biar ditukar aja, jadinya rumah ini aja yang dikontrakkin. Soalnya kalau gak diisi, rumah bisa cepet rusak."
Aul mengangkat tangan kanan, mengajak adu tos dengan sang kakak. "Yes, kita pindah." ujarnya usai beradu telapak tangan. "Tenang, Teh. Aku juga akan bantu bagian marketing."
"Kalau perlu, motor Teteh mau dijual buat tambahan modal. Masih ada mobil kolot yang bisa dipakai." Pungkas Puput. Bersamaan dengan ketukan di pintu depan. Zaky dan Ami baru pulang mengaji di masjid.
...***...
Keesokan harinya. Merupakan hari kedua Puput menjadi staf admin. Baru saja menyalakan komputer, telepon di meja berdering.
"Putri, kamu dipanggil Pak Hendra ke ruangannya sekarang!"
"Bikin masalah apalagi sih. Baru juga hari kedua skorsing udah dipanggil lagi."
Puput mengabaikan ucapan Septi yang pedes. Malas untuk meladeninya. Hanya mengiyakan akan menghadap sekarang ke ruang Pak Hendra.
Disinilah Puput berada. Duduk berhadapan dengan sang manajer, Pak Hendra.
"Put, ada kabar baik." Hendra mulai membuka percakapan dengan kedua tangan terlipat di meja. Wajahnya nampak berbinar bahagia.
Puput menunggu kelanjutan ucapan sang manajer yang menatapnya sambil mengulas senyum.
"Kamu gak jadi kena skors. Si boss barusan menganulir dan memerintahkan saya untuk menyampaikannya sama kamu. Putri Kirana...selamat kembali ke meja asalmu," pungkas Hendra dengan wajah penuh kepuasan.
Puput masih mengatupkan bibir dengan wajah datar. Entahlah, apa harus kaget sekaligus bahagia mendengar kabar ini. Sebab hatinya justru tidak merespon apapun. Biasa saja.
"Ini serius, Pak?!" Barulah ia membuka mulut untuk meyakinkan pendengarannya barusan.
"Seribu rius, Put. Saya sudah dari kemarin melobi lewat asistennya. Alhamdulillah, sekarang disetujui."
Puput memaksakan tersenyum meski hati tidak mensupport. Ia juga merasa heran dengan suasana hatinya sekarang. Padahal berangkat dari rumah dengan ceria, tidak membawa masalah ke tempat kerja. "Terima kasih, Pak. Udah bantuin sampe ngelobi segala." Ia menghargai usaha manajernya itu untuk meminta keadilan.
"Hmm, Pak.....bolehkah saya ketemu big boss langsung?!" Puput merasa punya keberanian untuk menyuarakan aspirasi. Tujuannya, agar dikemudian hari tidak ada karyawan lain yang mendapat hukuman sewenang-wenang seperti dirinya.
"Tanpa diminta pun, si boss menunggumu di ruangannya. Silakan, Put!" Dengan wajah semringah, Hendra membuka satu tangannya mengarah ke pintu keluar.