Menikah dengan seseorang yang di cintai adalah impian semua orang, sama seperti Meta yang akhirnya bisa bersanding dengan lelaki yang ia cintai sejak kecil— Dipta.
Namun setelah menikah sikap Dipta yang dulu hangat, berubah semakin dingin dan tak terjangkau.
Meta tak tahu kenapa!
Namun akhirnya sebuah rahasia besar terungkap, membuat Meta bimbang, haruskah dia melepaskan orang yang ia cintai agar bahagia.
Atau membuktikan pada Dipta bahwa kebahagiaan lelaki itu ada padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan menyakitkan
Liliana yang kesal karena tak kunjung di bukakan pintu oleh Jelita lantas meminta orang kepercayaannya untuk meminta kunci cadangan pada pengelola apartemen.
Liliana tahu jika Jelita ada di dalam, mungkin gadis itu sudah mengetahui dirinya-lah yang datang dan dia memilih bersembunyi.
Biarlah nanti dia berurusan dengan pihak yang berwajib kalau Jelita tak terima jika dirinya masuk ke area pribadinya.
Jelita yang berada di dalam semakin ketakutan karena tak mendapat respons dari Dipta. Justru panggilannya di matikan sepihak oleh kekasihnya itu.
Dengan terpaksa, Jelita menghubungi sang ayah. Dia berharap ayahnya dapat menyeret ibu tirinya pergi dari apartemennya.
"Papih tolong Lita Pih," ucapnya dengan suara gemetar.
"Lita, kamu kenapa nak?" tanya Zaky gugup.
"Mamih pih, mamih mau menyakiti Lita Pih, Lita mohon pih tolong Lita."
"Astaga, kamu sekarang ada di mana?"
Jelita lantas memberitahukan alamat apartemennya. Tanpa pikir panjang Zaky yang tadi berniat datang ke acara rapat pemegang saham, berbalik menuju apartemen Jelita.
Dalam perjalanan, Zaky terus memaki istrinya yang tega membuat anak kesayangannya ketakutan seperti tadi.
Sopir Zaky yang merupakan mata-mata Liliana hanya terdiam mendengar ocehan sang atasan, meski ia sendiri merasa kesal.
Di tempat lain, Dipta pun tak kalah cepatnya mengendarai mobil demi bisa menyelamatkan kekasihnya.
"Tenang Dip! Mamihku bukan seorang kriminal yang akan menyakiti orang!" bentak Meta kesal.
Dipta menurunkan kecepatannya karena tak ingin bertengkar dengan sang istri.
Bukankah dia sudah berjanji akan memperbaiki hubungan rumah tangganya dengan Meta? Jadilah dia mengalah agar tak terjadi pertengkaran.
"Maafkan aku Met, aku hanya takut mamih maki-maki Jelita."
"Bukankah wajar kalau mamih memarahi dia? Bagaimana pun Jelita itu anak mamih dan papih. Ngga mungkin mamih aku bakal bunuh dia!"
"Bukan begitu Met, kamu tahu sendiri Jelita itu lemah, bisa-bisa dia drop lagi."
"Jelita harus bisa menanggung resiko dari apa yang dia perbuat, biarkan dia dewasa dengan caranya Dip, ngga semua bisa kamu tanggung demi dia!"
"Kamu ngomong gini karena cemburu Met? Bukankah aku janji akan memperbaiki hubungan kita?" jawab Dipta jengkel.
"Ini bukan soal cemburu, kamu memang benar-benar ngga paham maksud aku karena terlalu memikirkan Jelita!" balas Meta tak kalah sewot.
"Andaikan saat ini kita menyerah, terus kamu bersama dengan Jelita, kamu pasti sadar dampak apa yang akan dia hadapi kan? Gunjingan orang-orang, sangsi sosial karena kelakuan kalian. Lalu kamu akan sampai kapan pasang badan buat dia?"
"Mamihku mungkin marah dan memaki dia, tapi aku yakin dia enggak akan menyakiti Jelita. Akui saja kelakuan kalian itu salah, mau membela diri bagaimana pun akulah istri sah, yang menjadi korban, paham kan?"
Dipta memilih diam dari pada menjawab ucapan sang istri.
Dia tahu jika ucapan Meta memang ada benarnya, hanya saja dia tak ingin Jelita semakin hancur karena akan mendapat kemalangan bertubi-tubi kelak.
Hanya Dipta yang tahu akan semalang apa Jelita di kemudian hari.
Di putuskan, Di marahi, bahkan mungkin di musuhi orang tuanya. Kemudian di pecat dari pekerjaan.
Bukankah itu sangat bertubi-tubi? Tak ada yang bisa dia lakukan. Oleh sebab itu Dipta berharap mertuanya tak melampiaskan kemarahannya pada mantan kekasihnya itu.
.
.
Jelita semakin ketakutan kala mendengar suara pintu apartemennya yang terbuka.
Dirinya pikir itu adalah Dipta. Sebab lelaki itu yang memberi kode akses unit apartemennya.
Sayangnya yang ia pikirkan salah. Langkah Jelita terhenti kala melihat keberadaan ibu tirinya yang masuk ke dalam unitnya.
"Mamih?"
"Jangan panggil saya dengan panggilan itu, hanya Meta yang boleh memanggil saya dengan sebutan itu."
Jelita terdiam, dia hanya mampu menunduk. Liliana berjalan dan duduk di depan Jelita dengan angkuh.
Sekuat tenaga Liliana menahan diri agar tak menampar wajah sok polos Jelita.
"Benar-benar ibumu menurunkan segalanya padamu ya," sindir Liliana.
Mendengar nama sang ibu di sebut, membuat amarah dalam diri Jelita bangkit. Sebagai seorang anak dia tak suka jika ada yang menghina ibunya.
"Jangan bawa-bawa mamah tante!" bagaimana pun Liliana memang tantenya.
Liliana tersenyum sinis, inilah Jelita yang sebenarnya, menurut Liliana.
"Loh harusnya kamu bangga! Kamu menurunkan wajah cantiknya dan juga sikap lemah lembutnya. Kenapa kamu kesal?"
Jelita mengepalkan tangan dan membuang muka.
"Ah, satu lagi, pemikat suami orang. Itu adalah kelebihan paling besar yang di turunkannya padamu."
"CUKUP TANTE! LEBIH BAIK TANTE KELUAR! ATAU AKU AKAN PANGGIL POLISI!" maki Jelita.
Dia tak peduli jika nanti di benci oleh sang ayah karena telah berani melawan ibu tirinya itu. Sungguh kata-kata Liliana sangat menyakitinya.
Liliana tak gentar, dia bahkan hanya tertawa sumbang mendengar ancaman Jelita yang tak berarti baginya.
"Tinggal satu sifat dia yang belum terlihat darimu, yaitu sifat murahannya yang mau dengan siapa saja, bahkan suami sahabatnya sendiri."
"Apa maksud tante? Kalau tante hanya ingin menjelekkan mamah saya, sebaiknya tante berkaca, tante juga bukan wanita baik yang bisa menyenangkan papah saya. Hanya karena tante kaya saja makanya papah mau sama tante!"
Liliana mengeratkan rahangnya, dia benar-benar benci sekali dengan Jelita.
"Kenapa? Tante marah? Ngga terima? Bukankah begitu kenyataannya? Mau pukul saya? Ayo pukul!" tantang Jelita.
Liliana menarik napas panjang, dia tak ingin terprovokasi oleh sikap Jelita yang ingin memancing kemarahannya.
Liliana bangkit berdiri. Wanita paruh baya itu berjalan menuju balkon apartemen Jelita dan berhenti di sana.
"Sejak dulu, aku selalu merasa waspada padamu, karena sikap buruk ibumu. Banyak orang orang di sekitar yang selalu menenangkan aku kalau kamu tak akan menuruni sifat ibumu itu, sayangnya—"
"Aku selalu percaya dengan instingku, ular tetaplah ular, aku ngga akan pernah mengendorkan kewaspadaanku padamu dan ternyata instingku benar."
"Aku tanya sama kamu, apa hati kecilmu sedikit pun enggak pernah merasa bersalah sama Meta?"
"Sejak dulu hanya Meta yang mau menerimamu dengan tulus. Dia menyayangi kamu. Apa pun miliknya dia selalu berikan padamu."
"Dan kamu, pasti sadar selalu menginginkan apapun milik Meta karena sikap Meta yang seperti itu bukan?"
Jelita terdiam, dia tak merasakan perasaan kasihan pada Meta, sebab seperti pernyataan Liliana, jika sikap memberi Meta-lah yang membuat dirinya berpikir jika Meta akan memberikan apapun padanya.
"Sahabatnya sudah kamu ambil, lalu kamu berencana akan mengambil Dipta? Sayangnya menantuku itu justru memilih Meta," jelasnya.
Mendengar perkataan Liliana, Jelita tersentak tak percaya.
"Kamu sadarkan? Kalau akhir-akhir ini Dipta menjauhimu? Dia memilih memperbaiki hubungannya dengan Meta dan meninggalkanmu."
"Enggak! Itu ngga mungkin, Dipta mencintai saya tante. Tolong biarkan kami bersama. Meta sudah ikhlas meninggalkan Dipta."
Lilianan berbalik dan menatap Jelita yang terengah-engah karena menahan amarah.
"Kamu pikir aku suka menerima sampah sepertinya? Dia tak jauh beda dengan ayahnya dan juga ayahmu!"
"Apa maksudnya?"
"Kamu beneran ingin tahu? Andaikan Meta tak bersama Dipta apa kamu yakin dia mau denganmu?" sinis Liliana.
"Jangan berbelit-belit tante, Dipta sangat mencintai aku, aku yakin dia hanya terpaksa bersama Meta—"
"Kalau tante sayang sama Meta, biarkan Meta mencari kebahagiannya. Dipta tak bahagia dengan Meta. Apa tante mau Meta hanya di jadikan pelampiasan Dipta aja?"
Liliana tertawa, lalu melirik ke arah pintu, setelahnya dia kembali menatap Jelita.
"Apa kamu yakin kalau mereka berpisah Dipta mau bersama denganmu?"
"Kenapa enggak? Kalau tante pikir hanya karena masa lalu orang tuaku, lalu Dipta akan membenciku? Dia enggak sepicik itu!"
"Benarkah? Bagaimana kalau dia tahu kalau ibu kamu adalah selingkuhan ayahnya? Kamu adalah keturunan dari wanita yang telah menyakiti ibunya, apa kamu yakin dia masih akan memilihmu?"
Jelita tersentak, dia tak percaya dengan apa yang Liliana katakan.
"Enggak mungkin," lirihnya.
Di depan pintu Dipta yang mendengar ucapan Liliana pun tak kalah syoknya.
Liliana tersenyum tipis dan berlalu dari sana. Rencananya berhasil.
.
.
.
Lanjut
udahlah meta mending jg pergi ga usah sm si dipta lg laki2 plin plan gitu jgn di arepin
ini belum senjata pamungkas ya 😀
kasihan meta makan janjimu .