Dia Lelakiku

Dia Lelakiku

Tak di inginkan

Menikah dengan orang yang di cintai adalah keinginan semua orang tak terkecuali dengan Meta Tantiana.

Gadis manis itu akhirnya bisa melabuhkan cintanya pada lelaki pujaannya yang merupakan cinta pertamanya, Dipta Prayoga.

Bagi Meta, Dipta adalah dunianya. Ia yang sudah membayangkan indahnya kehidupan pernikahan perlahan justru harus sering meneguk pahitnya rasa kecewa.

Itu semua di karenakan ... Dipta tak pernah memperlakukannya seperti seorang istri.

Bahkan, usia pernikahan yang sudah menginjak enam bulan Meta belum sekali pun merasakan indahnya malam pertama.

Alasan yang selalu di berikan Dipta hanya, ia belum siap.

Kecewa tentu saja. Ada rasa rendah diri yang di alami Meta.

Apa dia tak cantik?

Apa dia tak menarik?

Apa dia ... Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Dipta yang ia kenal sejak kecil selalu bersikap baik dan menyayanginya, entah kenapa berubah drastis setelah mereka justru telah menikah.

.

.

"Aku ada lembur nanti Met, kamu ngga usah nunggu. Dan please, jangan tidur di sofa, badan kamu berat. Jujur aku cape kalau harus selalu mindahin kamu," keluh Dipta pagi ini yang membuat gerakan tangan Meta yang tengah membuka kaleng selai terhenti.

"Maafin aku Dip, ngga tahu kenapa kalau kamu belum pulang perasaan aku ngga tenang," jawab Meta sendu.

Tak ada panggilan sayang atau mas seperti pasangan yang lainnya. Sebenarnya Meta sudah pernah mencoba tapi Dipta menolak, dia merasa geli dengan panggilan itu katanya.

Geli? Apa di panggil istri dengan sebutan mas terdengar menggelikan?

"Lah nyatanya kamu bisa tidur. Kalau enggak, kamu beli sofa aja buat di kamar, mungkin kamu lebih suka tidur di sofa dari pada di ranjang," ejeknya.

Meta tersenyum kaku. Tak ada perbincangan lagi setelah itu, dulu Meta menganggap semua perkataan Dipta itu hal biasa.

Namun entah kenapa, akhir-akhir ini Meta merasa sensitif. Dia merasa jika Dipta sengaja sedang memojokkannya secara tak langsung.

"Tadi mamah telepon," ucap Meta sembari mengoles selai di rotinya.

Dipta yang tengah menguyah lantas menghentikan kegiatannya setelah mendengar ucapan sang istri.

"Ya seperti yang kamu pikirkan, dia bertanya apa aku sudah hamil?" cibir Meta yang merasa ironi dengan kehidupan rumah tangganya.

Dipta meletakan rotinya secara kasar. "Aku lelah di atur terus oleh mamah, tak bisakah dia berhenti? Aku udah nurutin apa yang dia mau!" sentaknya.

Mendengar ucapan sang suami tubuh Meta bergeming. Entah kenapa dia merasa jika ada makna tersembunyi dari ucapan suaminya itu.

Apa maksud Dipta, dia menikahiku karena keinginan mamahnya?

"Aku belum siap Met, kamu tahu itu!"

"Kenapa Dip? Adakah aku salah? Aku kurang menarik? Atau kurang agresif. Maafkan aku karena aku memang—"

"Aku belum siap memiliki anak!"

"Aku bisa ikut KB kalau itu maumu. Aku lelah Dip, kamu ngga tau gimana perasaanku selalu di tanya sama mamah. Apa kamu mau aku jujur!" ancam Meta.

Dipta bangkit berdiri. Lelaki yang sudah menjadi suami Meta selama enam bulan itu menatap sang istri sengit.

"Apa kamu ngga mau menunggu Met? Apa semua harus sesuai kemauan kamu?"

Meta merasa di pojokkan, entah kenapa ucapan suaminya seolah dirinya-lah yang egois di sini.

.

.

Setelah perdebatan singit pagi tadi, Meta hanya bisa mengeluh pada kakaknya, yang tak lain merupakan sekretaris suaminya juga.

"Sorry ya Met kakak terlambat. Suami kamu ngasih kerjaan ngga kira-kira," ucap Jelita setelah meneguk minumannya.

"Thanks, kamu emang selalu tahu yang aku suka," sambungnya.

Meta yang memang sedang banyak pikiran hanya bisa tersenyum kaku. Jelita yang paham dengan raut wajah sang adik lalu menggenggam tangannya.

"Kenapa lagi hemmm? Apa suami kamu itu buat masalah?" tebak Jelita yang tepat sasaran.

Meta mengangguk, hanya pada sang kakak dia berani bercerita. Jika dengan ibunya dia khawatir sang ibu akan langsung marah pada suaminya.

Jelita, gadis cantik itu memang sangat sesuai dengan namanya. Mata yang bulat dan jernih, dia seperti sosok peri dalam cerita dongeng.

Jelita menggenggam tangan Meta. "Apa masih dengan masalah yang sama?"

Meta mengangguk, tak lama air matanya pecah. Jelita yang panik segera pindah tempat duduk dan duduk di sebelah adiknya.

Jelita memeluk tubuh sang adik. Hanya itu caranya menenangkan adiknya yang tengah kalut.

"Aku ngga menarik ya ka? Apa aku terlalu kurus? Atau kenapa ka? Kenapa Dipta berubah seperti ini?"

"Enggak, mungkin dia butuh waktu Met. Ingat dia selalu bersama kita sejak kecil, mungkin dia masih menganggapmu adik kecilnya."

"Aku bukan adiknya ka, aku istrinya!" pekik Meta histeris.

Jelita melepaskan pelukannya dan menatap sang adik.

"Beri dia ruang. Jika kamu selalu menuntut seperti ini kakak takut Dipta jengah."

"Ka kamu ngga tahu perasaanku, aku lelah, apa salahku? Apa karena perjodohan ini? Kalau iya, bukankah dia bisa menolaknya? Aku tak mengerti dengan pikirannya!"

Jelita menarik napas panjang, "Aku juga ngga bisa bantu banyak Met. Dipta ... Sulit di tebak."

Meta mengusap air matanya kasar. "Apa mungkin Dipta mencintai wanita lain Ka?"

Jelita lalu menggeleng, "Kakak ngga tahu Met, semoga aja enggak."

"Tapi akhir-akhir ini dia semakin menghindariku Ka. Hatiku sakit. Kalau aku ada salah harusnya dia mengatakannya padaku dan kita selesaikan semuanya. Tapi enggak begini."

"Ok, kamu tenang ya, coba nanti kakak tanya sama dia baik-baik. Kamu harus lebih mengerti lagi ya. Perusahaan lagi banyak mengerjakan proyek. Banyak sekali yang harus di pikirkan Dipta—"

"Kamu, cobalah berlibur atau menenangkan diri sejenak. Kakak yakin Dipta ngga keberatan. Kita lihat setelah kamu ngga ada, apa dia berubah atau enggak, ok?" saran Jelita.

Meta terdiam. Berlibur untuk menenangkan diri bukan baru kali ini dia lakukan. Namun, tak pernah ada perubahan pada sikap Dipta.

Dipta memang tak pernah melarangnya menenangkan diri. Namun bukan itu yang Meta harapkan dia ingin sang suami berubah, tapi semuanya terasa sia-sia.

"Kakak harus balik, nanti kita ngobrol lagi bareng Vera ya. Dia juga kangen kamu loh, katanya udah lama kita ngga pernah kumpul bareng."

Meta hanya mampu tersenyum tipis. Vera? Sahabat yang tinggal satu kos dengan sang kakak itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang kakak ketimbang dirinya.

Bahkan Meta merasa kini mereka semakin jauh. Justru Meta kini lebih dekat dengan Kiran teman bisnisnya.

Baru juga membahas sang sahabat, tiba-tiba ponselnya berdering. Tertera nama Vera di sana.

Jika dulu Meta sangat bersemangat saat menerima panggilan dari Vera, perlahan rasa itu menghilang dengan sendirinya.

"Iya Ver?" jawab Meta akhirnya.

"Kok kelihatan lesu gitu sih Met, kenapa say?"

"Kamu telepon karena di minta ka Lita Ver?" tebak Meta langsung.

Iya yakin sikap Vera saat ini pasti karena pemintaan sang kakak. Karena Vera tak pernah tiba-tiba menghubunginya seperti dulu.

Apalagi mendengar nada gugup sang sahabat yang dengan mudah Meta rasakan jika tebakannya benar.

"Aku baik-baik aja kalau itu yang mau kamu dengar. Ngga usah khawatir, aku ngga akan ngeluh kok Ver. Maaf ya ka Lita mungkin cemas sama aku."

"Bukan gitu Met, aku emang khawatir sama kamu kok. Apa kamu masih marah sama aku Met?"

.

.

.

lanjut

Terpopuler

Comments

🍾⃝ͩᴢᷞᴜᷰɴᷡɪᷧᴀకꫝ 🎸🎻ଓε🅠🅛⒋ⷨ͢⚤

🍾⃝ͩᴢᷞᴜᷰɴᷡɪᷧᴀకꫝ 🎸🎻ଓε🅠🅛⒋ⷨ͢⚤

🤔 wah perlubdi seliduku itu si dipta nggak beres kayaknya

2024-06-11

0

Teh Euis Tea

Teh Euis Tea

mampir thor

2024-06-10

0

Soraya

Soraya

mampir lagi thor

2024-06-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!