NovelToon NovelToon
Between Blood, Sin, And Sacrifice

Between Blood, Sin, And Sacrifice

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Dunia Lain
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

*Dijamin TAMAT karena isi cerita telah dibuat dan hanya dikirimkan secara berkala

Mengira bahwa Evan–suaminya hendak membunuhnya, Rose memilih menyerang pria tersebut. Tanpa tahu bahwa Evan berupaya melindungi Rose biarpun tahu bahwa dirinya akan meninggal di tangan istrinya sendiri.

Penyesalan selalu datang belakangan, namun hadir kesempatan untuk memperbaiki garis nasib yang mengikatnya dalam bayangan cinta dan dendam. Rose kembali mengulangi kehidupannya, satu demi satu disadarkan dengan bunga tidur misterius.

Mempraktekkan intrik dan ancaman, menemukan pesona sihir untuk memutus tali asmara yang kusut antara Rose dan Evan yang menjadi suaminya di kehidupan lama dan sekarang. Apakah ia akan berhasil membalik takbir yang telah ditentukan oleh Dewa, atau malah gagal melakukannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 - Little Fox

Ia semakin takut ketika melihat gagang pedang di atas meja. Rose merapalkan kedua tangannya di depan dada dan memanjatkan doa dalam hatinya, "Jangan sampai aku terbunuh disini, kumohon."

Marquess Drevan menaruh buku tebal itu ke meja, menaikkan salah satu alisnya ke atas. Tidak lama, tawanya pecah karena melihat gadis tersebut mencicit seperti tikus yang hendak disembelih. "Rossie, apakah kau mengira aku ingin membunuhmu?"

Panggilan itu, pertama kalinya si muka tembok memanggilnya dengan dekat. Sebutan baru itu membuat Rose mengerjabkan matanya berulang, wajah memelasnya sirna. Hanya tersisa raut tidak percaya, "Rossie?"

Marquess Drevan menoleh ke bawah, kedua lengannya setengah memaksa Rose agar berdiri. Awalnya ia hanya ingin mengusirnya, namun sekarang dia menjadi ingin menggodanya. Putra sulung Moonstone menyentil hidung mancung rubah nakal itu, "Ingin mencicipi bagaimana rasa pedangku?"

Ketika gadis itu membalas tatapan pria jangkung di depan matanya, ia baru menyadari bahwa manik hijau gelap milik pria itu memiliki daya tarik tersendiri. Alis, mata, hidung, dan bibirnya. Tidak ada yang tidak sempurna satu pun. Rahangnya yang kencang membuat Rose merasa konyol sendiri. Kecantikan itu memperlihatkan sentuhan lugas dan tak tersentuh.

Sadar dengan posisi keduanya yang terlampau dekat, Rose mendorong dada kokoh lelaki itu. Sekaligus mengutarakan penolakannya atas pertanyaan bernada candaan tadi. "Cicipi saja sendiri."

"Ckckck, jidatmu ini licin sekali," beonya dengan suara rendah. Sedangkan gadis itu merasa tersinggung. Jidat licin? Apa-apaan!

Rona merahnya menyebar ke seluruh wajah dan lehernya, bukan karena malu. Melainkan marah akibat jidatnya disebut licin.

"Kulihat dari kedatanganmu itu, dapat ditebak kalau kau ditinggal sendiri sampai hampir gila bukan?" selorohnya dengan santai. Kedua lengannya terlipat di depan dada.

Rose menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal, sedikit meringis.

Teringat rencana awalnya, ia meletakkan sisa bubuk obat yang diberikan oleh Marquess Drevan sebelumnya ke meja kayu. Ia berdeham kecil, "Eve tidak.. tertarik menyembunyikan bekas luka itu."

Marquess Drevan tidak merubah ekspresinya.

"Rossie."

Pria tersebut mengarahkan pandangannya naik turun, menilai pakaian gadis itu yang berantakan. Kemudian berhenti tepat di mata perempuan itu, "Bolehkah aku memanggilmu dengan nama ini?"

Sejenak, gadis muda yang baru memasuki usia 15 tahun itu merasakan gelenyar aneh di hatinya. Untungnya kali ini ia dapat memasang tameng agar tidak membiarkan dirinya goyah. Teringat sesuatu, ia mengajukan pertanyaan, "Bagaimana denganmu? Evan? Setuju tidak?"

Marquess Drevan tersenyum dengan susah payah, lalu menepuk kepala si gadis berdahi licin ini. "Tentu."

"Berarti kita sudah sepakat dengan nama sebutan itu," balas perempuan tersebut sekenanya.

"Adikmu benar-benar berhasil membuatku gila, dia merebut Eve tanpa ampun," adu Rose seraya mendecakkan lidahnya.

Marquess Drevan hanya bergumam dan pergi ke sudut ruang kerjanya, mengambil beberapa barang bersamanya. Ketika memutar badannya melihat sosok gadis itu, ia menyadari bahwa si ' jidat licin' telah berada dalam mood yang baik.

Dengan mata berbinar lagi, Rose kali ini membentuk kelopak matanya yang lebar menjadi bulan sabit. Angin berhembus, membuat beberapa helai rambut sanggul itu bergerak. Lelaki itu langsung melemparkan sebuah jubah ke rubah cilik ini.

"Pakailah, kita akan berjalan jalan."

Jalan yang mereka lalui dipenuhi oleh banyak orang, termasuk anak kecil. Mereka berlarian tanpa arah yang jelas dan hampir menabrak kaki Rose. Tawa lolos dari bibirnya ketika melihat keramaian ini. Semua orang menikmati nuansa semarak yang lebih ramai dari biasanya.

Selain kios yang berjualan makanan ringan, terdapat penjaja mainan unik dan berbagai kipas bermotif.

Hari ini ternyata penanggalan Halloween. Rose menyapa sejumlah orang asing dan berkeliling dengan riang. Kostum yang dipakai oleh setiap orang berbeda beda, hanya Marquess Drevan dan Rose yang menggenakan terusan biasa.

"Aku ingin topeng ini," pinta Rose pada lelaki di sebelahnya. Jarinya menunjuk pada kedua topeng yang berbentuk rubah oranye dan kelinci hitam.

Marquess Drevan de Moonstone melihat ke sekeliling seolah-olah tidak peduli dengan sekitar. Tetapi ketika menerima sinyal dari gadis di sebelahnya, ia mengulurkan sejumlah uang. Sebelum menerimanya, pria tua yang baik hati itu berbicara, "Sebenarnya kami menyiapkan permainan disini, jika anda berhasil, topeng ini saya berikan secara cuma cuma."

"Wah, saya mencobanya dulu ya pak," jawab Rose, membuat Marquess Drevan urung memberikan uangnya. Setelah 5 kali percobaan, Rose gagal total menamatkan permainan itu.

"Apakah boleh jika orang di sebelahku mencoba?" tanyanya penuh harap, tidak rela membayar untuk topeng itu.

Pria tua mengelus kumisnya, setelah itu ia mempersilahkan anak muda itu untuk mencoba. Rose kembali menoleh ke Marquess Drevan, jemari lentiknya menyentuh lengan lelaki tersebut dan menggerakkannya. Menghindari melihat mata berbinar itu, Marquess Drevan segera mengiyakan tanpa mendengar lebih lanjut.

"Silahkan dilempar anak muda."

Permainan itu berupa memasukkan seutas kain agar jatuh ke dalam gelas yang berjarak sekitar 100 cm. Terlihat mudah namun tidak mudah. Rose menggigit kuku jarinya ketika melihat pria di dekatnya berusaha melemparkan kain tersebut masuk ke dalam gelas.

Di percobaan pertama ia gagal, namun seterusnya Marquess Drevan melempar dengan mudah dan tepat sasaran. Setelah melewati sesi permainan, Marquess Drevan berhasil mengambil topeng tersebut. Gadis itu tertawa dengan senang karena mendapatkan topeng gratis.

"Lumayan..!!"

Rose berniat memberikan topeng rubah ke wajah Evan, namun pria itu merebut topeng kelinci hitam dengan cepat. "Hei?! Itu punyaku," keluhnya ketus.

"Kau lebih cocok dengan topeng rubah, perangaimu mirip seperti hewan pencicit itu."

Pria tua yang menyaksikan dan mendengarkan percakapan anak muda itu tertawa lepas. Selepas kedua anak itu pergi, matanya turun ke bawah. Namun ia terkejut ketika menemukan dua potong pounds di selipan barang jualannya.

Berlari mengejar lelaki itu, si pria tua hendak mengembalikan uang yang ia terima. Namun Marquess Drevan menolaknya, "Permainanmu tidak buruk, anggap saja kami sedang bersenang senang."

Rose mengintip setiap kios, tidak mendengar jelas apa yang dibicarakan kedua lelaki yang berjarak 4 langkah darinya. Jika saja diketahui bahwa topeng gratis ini dibayar oleh Marquess Drevan , sudah dipastikan ia akan mencak-mencak laksana penyimpan uang nan kikir.

Menyeberang jalan, pria bertopeng kelinci hitam dan perempuan bertopeng rubah oranye berjalan beriringan. Beberapa kali senandung keluar dari bibir Rose. Hari telah gelap, namun ia masih tidak puas berkeliling. Lampu kuning dan lilin membuat lingkungan sekitarnya terasa sangat indah.

"Ini, makanlah."

Rose mengendus dan mengambil menyuap sesendok sup walet. Dalam satu suapan, matanya terbuka lebar. Ia membalasnya dengan penuh semangat, "Terima kasih Evan, cobalah!!"

Marquess Drevan menatapnya dengan senyum simpul untuk waktu yang sebentar sebelum ikut menyendok ke sup tadi dan menyesapnya. Lidahnya mencecap dan ekspresinya sedikit terganggu ketika merasakan rasa pahit. Rose yang memang sudah menyadari rasanya sangat aneh menutup mulutnya dengan tangannya dan mengerling penuh arti, 'Kena kau.' Tertawa jahat dalam hatinya.

"Enak." Satu kata pernyataan dibarengi nada sinis membuat kesan sindiran di ucapannya. Marquess Drevan awalnya berpikir sup walet yang dipajang penjual tampak menggiurkan. Namun dugaannya salah besar, sup ini terasa seperti obat tradisional.

Karena merasa sayang bila dibuang, keduanya berbagi dan menghabiskannya hingga tandas. Ketika mangkuk tadi tidak menyisakan sedikit pun di dalamnya, gadis berjidat licin itu bersendawa kecil. Marquess Drevan mau tidak mau menoleh ke arahnya.

"Hangat sih, sebenarnya jika ada pemanis akan lebih terasa enak," komentar Rose celingak-celinguk.

Setelah membayar makanan tadi, kerumunan besar melintasi jalan dengan kostum berbeda. Terdapat iringan alat musik dan tarian bebas. Semua orang dari umur yang muda hingga tua bergabung disana. Rose meraih pergelangan tangannya, "Ayo kita bergabung di karnaval itu."

Melihat dari lubang topeng, orang orang bergegas dari segala arah dan memenuhi jalan. Marquess Drevan ingin menggenggam tangan Rose namun ia memikirkan hal lain. Lelaki itu memunggut ranting dan mengulurkannya ke gadis itu, "Rubah dan kelinci memegang kayu."

"Hah?" Sejurus kemudian ia baru menyadari bahwa ini mungkin bagian dari permainan Duke Drevan.

Dengan senang hati Rose menyambutnya. Keduanya terus berjalan dan ditemani oleh celotehan gadis itu. Ia tidak menyadari bahwa sekelompok orang tengah membelah kerumunan untuk berkeliling dan tetap maju ke depan. Di sisi lain, Duke Drevan berteriak memanggilnya, namun terlambat.

Karena terdesak dalam himpitan kerumunan, ia malah menabrak perut tambun seorang pria dan terpental ke belakang. Memegang pinggulnya yang sakit, gadis itu berusaha berdiri sendiri. Sebelum ia melihat dengan jelas, sebuah lengan melilit di pinggangnya.

Kepalanya menyender di dada pria itu dan pandangannya berputar. Dengan tarikan ringan, keduanya tiba di pinggir jalan, "Apa kau baik baik saja?" tanya pria itu dengan cemas.

Ketika Rose membuka matanya, kakinya mundur seketika. Ia baru menyadari sosok pria di hadapannya bukan Evan. Pupilnya melebar dan dia mulai berkeringat deras.

Bagaimana dia bisa selengah ini?

1
Bening
segelas kopi untuk pride..
nanti pasti lanjut kok baca nya...
kpn2 mampir ya, ke akun baru ku @ehsanarizqi ..
Cherlys_lyn: Okee, terima kasih atas dukungannya yaa
total 1 replies
ona
rose lucu banget plis
ona
woy evan
ona
kakkkk /Sob//Sob//Sob/
ona
nyesekkkkk pliss /Sob//Sob//Sob/
ona
uwow uwow /Determined/
ona
oh, apa ini cerita di balik kakaknya rose mat*??? tapi disini bakal tetep mat* ga ya??? /Frown/
ona
pangeran ke empat....
ona
bjir ngapain dah pangeran kedua tuh, ngeselin amat
Tini Timmy
bunga untuk mu/Rose/
Bening
5 iklan untuk mu
Cherlys_lyn
Cerita ini berputar dalam perjuangan Rosella Zen yang kembali mengulang kehidupannya dari awal, namun tanpa ingatan yang begitu jelas. Menjadi seorang manusia yang kuat bukan berarti selalu menang di setiap pertempuran, namun bagaimana ia dapat memanipulasi musuh sampai menduganya lemah dan menghabisinya di detik terakhir!
Bening
3 iklan + 2 bunga
Bening
5 iklan..
meluncur untuk mu
Bening
ciri tirani ini...
Bening
suami kyk edbert itu langkah
Bening
ada apa dengan giok nya
ona
apa mulai ke inget?
Bening
cerita ini bagus, di setiap bab nya.
enak di baca tanpa di komentari
Cherlys_lyn: Terima kasih atas ulasannya, nantikan bab selanjutnya yaa 🙏
total 1 replies
ona
kepala sape tuh bjir /Scare/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!