NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terbongkar

Hanum tak ambil pusing saat Siska buru-buru berpamitan. Ia antar gadis yang tampak gugup itu sampai di gerbang depan. Sepeninggal Siska, Hanum segera menanyai adik Kinar. Bocah laki-laki itu tampak gemetar ketakutan lalu menangis memanggil-manggil Kinar. Anak-anak lain heboh. Salah satunya terlihat berlari ke depan dan tak lama kemudian kembali bersama Taufan.

“Ribut-ribut apa ini?” tanya Taufan. “Dani, kamu kenapa nangis? Ada yang sakit? Atau ada yang nakal?” Ia raih lengan kurus anak asuh barunya itu.

Adik Kinar bernama Dani itu menggeleng. “Takut, Pak.”

“Takut sama siapa?” tanya Hanum buru-buru. Kemudian ia tersentak saat Dani menunjuk dirinya. “Takut sama aku? Kenapa?” paniknya.

Dani bersembunyi di belakang Taufan. Semua yang ada di tempat itu tampak keheranan. “Mbak yang tadi sama kamu.”

“Siska?” tanya Hanum dengan sedikit merasa lega. Dani mengangguk ragu-ragu. Wajahnya memucat, tak lagi ceria seperti sebelum melihat Siska. “Kamu kenal temenku itu?”

“Siska siapa yang kamu maksud, Dek?”

Semua menoleh ke arah suara barusan. Kinar. Gadis berseragam SMA itu melangkah tergesa mendekat pada adiknya. Ia dekap bocah laki-laki yang mulai terisak itu. Kinar cemas melihat Hanum dan semua orang mengerumuni adiknya sementara bocah itu tampak ketakutan.

“Tadi... Mbak cantik yang suka kasih aku kue di panti asuhan Pak Muki... dateng ke sini,” terang Dani.

Sontak Kinar membelalak. Ia remas bahu bocah itu. “Trus kamu diapain?”

Dani menggeleng. “Dia pergi.”

“Mbak Kinar,” panggil Hanum, “bisa kita bicara sebentar?”

***

Esok harinya, Hanum benar-benar masuk sekolah meski ia merasa kondisinya masih agak lemah. Hanya saja ia tak sabar ingin memastikan penjelasan Kinar mengenai Siska langsung dari mulut gadis itu sendiri. Selama berjalan dari panti menuju sekolah, otak Hanum hanya dipenuhi Siska. Ia bahkan tak sadar telah menonjok sesosok kuntilanak yang mengagetkannya saat lewat di belokan gang.

“Pagi, Hanum! Kamu udah beneran sembuh?” sapa Sandi yang baru turun dari sepedanya di depan gerbang sekolah bersamaan dengan tibanya Hanum di sana.

“Alhamdulillah, Mas,” jawab Hanum sambil tersenyum ceria.

Sandi mengamati diri Hanum yang wajahnya masih pucat. “Jangan bohong! Tuh muka kamu kayak kanvas kosong.”

“Aku udah nggak tahan ketinggalan pelajaran.”

Sandi mendengus tawa. “Dasar! Masih awal tahun tuh mending jangan terlalu serius, main aja dulu.”

“Yee! Ajaran sesat!”

Sandi tergelak. Mahesa berdeham. Sontak Hanum dan Sandi menoleh pada pria itu yang berdiri di depan pos satpam. “Good morning, Om Satpam,” sapa Sandi. “Selamat pagi, Pak Mahesa,” timpal Hanum. Mahesa hanya mengangguk sebagai respons.

Sesampainya di kelas, Hanum melihat Siska sedang duduk dengan gelisah di bangkunya. “Pagi, Sis,” sapa Hanum dengan santai. Siska buru-buru berdiri lalu menghampiri Hanum yang menuju bangkunya.

“Syukur deh kamu beneran masuk hari ini.”

Hanum meringis. “Kan kamu sama temen-temen ngangenin aku. Ya aku harus cepet sembuh, dong.”

“Kangenku sih udah terobatin pas ketemu kamu kemarin,” sahut Siska.

Setelah meletakkan tas, Hanum beranjak ke samping Siska. “Tapi kamu buru-buru pergi kayak lihat setan. Kan aku jadi kesepian.”

Siska terdiam. Ia tampak kebingungan untuk melanjutkan obrolan. “Em... aku mau ke toilet dulu, ya.”

“Ikut, dong!” rengek Hanum. Siska kembali terdiam. Hanum langsung bisa mengerti akan gelagat canggung Siska yang seolah berusaha menghindarinya.

“Kenapa diem? Nggak jadi ke toilet?” desak Hanum. Siska menelan ludah, gugup. Lalu menarik tangan Hanum untuk diajaknya keluar kelas. Langkah kaki Siska terburu-buru menuju toilet. Bahkan langsung mengunci pintunya dari dalam setelah masuk dan memastikan tak ada orang lain di sana selain mereka berdua.

“Num!” Tiba-tiba Siska jatuh berlutut di depan Hanum lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada seperti memohon ampun padahal belum menjelaskan duduk perkaranya.

“Kamu kenapa kayak gini?” Hanum menarik bahu Siska untuk berdiri. “Kamu ada salah?” selidiknya.

Siska tampak berulangkali menoleh ke arah pintu. Hanum sudah habis kesabaran. Ditariknya lengan Siska lalu sedikit meremasnya. “Kamu kenal anak laki-laki yang kemarin kita lihat lagi main sama anak-anak panti, kan?” tanya Hanum, to the point.

Dengan penuh keraguan, Siska mengangguk pelan. “Kenal.” Pipi Siska memerah, matanya menyebak. “Sebenernya... aku tahu kalo dia ilang dari panti asuhan lain. Tapi aku nggak tahu kalo ternyata dia pindah ke tempatmu.”

“Sis...” desis Hanum seraya melempar tatapan mata tajam. “Kamu jujur aja sama aku mulai dari sekarang.”

***

Teman-teman sekelas tampak keheranan melihat Hanum dan Siska yang terus saling mendiamkan satu sama lain sejak pagi hingga bel pulang berbunyi. Mereka menduga bahwa dua murid yang semula selalu bersama-sama itu sedang bertengkar saat ini. Tiar dan Galuh coba bertanya pada Siska karena tak enak jika mengganggu Hanum yang mukanya terus tertekuk. Ya, di penglihatan semua teman, wajah polos manis Hanum berubah galak hingga terasa menyesakkan.

“Kalian berantem?” tanya Tiar pada Siska dengan suara yang cukup jelas terdengar di telinga Hanum. “Apa masalahnya?” timpal Galuh.

“Nggak apa-apa, kok. Bukan masalah besar. Kalian nggak usah khawatir,” jawab Siska yang coba menenangkan teman-temannya.

Tiba-tiba Galuh berceletuk, “Takut dong kalo terlibat masalah sama orang Desa Wilangan.”

“Huss! Jangan keras-keras kalo ngomong,” tukas Tiar, “ntar kamu disantet, tau rasa!”

“Temen-temen!” tegur Siska. “Jangan ngomong aneh-aneh, please! Aku sama Hanum baik-baik aja, kok!”

Hanum yang selesai membereskan alat tulis segera mengentakkan kaki keluar kelas tanpa menyapa tiga orang yang sedang membicarakannya itu. Ia tampar satu genderuwo merah yang tanpa sengaja menghalangi jalannya.

Sandi, yang saat itu lewat di depan kelas Hanum langsung tercengang melihat sikap aneh gadis itu. Terlebih saat Hanum tiba-tiba mengirim chat di grup tentang dirinya yang tidak ingin menghadiri rapat tim karena meriang.

***

Hanum yang yakin telah terlelap mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan jati. Hanum ingat tempat itu. Hanya ada yang sedikit berbeda. Yaitu sebuah punden berundak kecil yang berdiri di sudut ujung jalan setapak tempat dirinya saat ini berpijak.

“Ini kan jalan ke ladang Bapak? Tapi kok...”

Gendang telinga Hanum mendengar suara sayup-sayup alunan musik gamelan. Suara kasak-kusuk dan tawa orang-orang. Gemericik air yang terdengar menenangkan. Dan suara beberapa kambing yang bersahutan.

“Ini mimpi,” gumam Hanum sembari mengedar pandang.

Saat berbalik ke belakang, wajah hitam terkoyak bau amis sudah berada di depannya hanya dengan jarak sejengkal. Hanum tersentak. “AAARGH!”

Meski sudah pernah memerintah makhluk itu untuk menjadi tameng, nyatanya Hanum masih merasa takut jika dikagetkan oleh wujudnya yang mengerikan. Terutama bau amis busuk yang sangat menganggu indra penciuman hingga membuatnya mual. Hanum kesal!

“IRENG!!” hardik Hanum.

Sosok Ireng segera melayang mundur ke atas punden. Hanum celingukan dengan napas tertahan dan detak jantung tak karuan. “Kamu yang bawa aku ke dalam mimpi ini?”

Ireng mengangguk pelan sambil menatap lurus ke mata Hanum. Hanum berusaha tenang dengan mengatur napasnya hingga terembus dengan normal. “Sebenernya kamu ini siapa?” tanya Hanum lagi, “kenapa kamu ngikutin aku terus? Kamu jahat atau baik, sih? Kamu ada tujuan khusus? Mau nyakitin aku atau minta bantuanku?”

Diinterogasi begitu malah membuat Ireng diam tanpa respons apa pun. Hanum berdecak. “Bisa nggak sih kamu berubah jadi nggak nyeremin gitu? Nggak kuat aku tu...”

Tiba-tiba Ireng melipir ke belakang punden. Lalu muncul mengintip Hanum dengan wujud yang berubah. Sesosok wanita cantik berpakaian kebaya yang indah. Padahal hanya tampak sedikit tapi cukup membuat Hanum sampai terperangah.

“Nyi Dasih...” ucap Ireng dengan suara lirih.

Seketika Hanum tersadar dari takjubnya. “A—apa? Nyi Dasih? Siapa dia?”

“Wanita pemakan ari-ari.”

Seketika tengkuk Hanum meremang hingga kepala belakang. “Trus? Maksud Anda gimana?” Hanum langsung memanggil Ireng dengan hormat.

“Kita balas dia lebih dulu sebelum masalah menjadi makin runyam.”

Hanum masih bingung karena tak tahu siapa sebenarnya Nyi Dasih yang Ireng maksud. “Nyi Dasih itu yang mana?”

“Yang kuberi kamu penglihatan di makam kuno.”

Hanum membelalak. Kedua tangannya mengepal erat. “Dukun wanita itu...” gumamnya.

Di saat yang sama ketika Hanum sedang bermimpi, di tempat lain—dalam GOR, Mahesa dan Febri sibuk melanjutkan pemeriksaan terhadap barang-barang Mirandani yang berhasil mereka boyong dari gudang tua panti asuhan Taufan tempo hari.

Beberapa keris, tusuk konde, dan perhiasan kuno yang kusam. Cermin-cermin berbagai ukuran dengan tepian berhias ukiran kuningan.

Febri mendengus panjang. Ia beringsut ke dekat dinding untuk duduk bersandar. Dibukanya sebuah buku kuno yang ia genggam. Febri menduga bahwa buku itu merupakan buku harian seseorang. Bertuliskan aksara Jawa namun di bawah setiap katanya telah Mirandani bubuhkan terjemahan.

“Warisan Leluhur,” baca Febri. Mahesa yang rampung membereskan senjata-senjata keramat langsung merapat ke dekat Febri. Ia pun penasaran dengan buku yang memuat kisah tentang Sasmitha tersebut. Lalu keduanya membaca bersama-sama. Halaman demi halaman, lembar demi lembar, hingga berlanjut ke buku-buku yang lain.

“Feb... ini kan...”

“Iya, Bang.” Febri sampai menebah dada karena akhirnya mereka mengetahui benang merah yang berkaitan dengan keganjilan di Desa Wilangan. "Sebenernya apa tujuan Mirandani nyimpen rahasia ini sendirian?"

1
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
reska jaa
aq bca dini hari thour.. senang aja ad kegiatan sambil mencerna mkann 🤭
n e u l: monggo monggo
terima kasih /Joyful/
total 1 replies
Ali B.U
ngeri,!
lanjut kak
n e u l: siap pak! /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
Ini lebih menenangkan 🥴🥴🥴🥴🥴
Bukan teror aja tapi ktmu org2 psikopat langsung 😔
n e u l: /Cry/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
n e u l: siap /Determined/
total 1 replies
Ali B.U
next
Andini Marlang: Alhamdulillah selalu ada Pakdhe Abu ... Barakallahu fiik 🌺
total 1 replies
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
lanjut
n e u l: siap pak /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
makin seru ...💙💙💙💙💙

apa kabar ka ..... insyaa Allah selalu sehat juga sukses karya2 nya 🌺 🤲aamiin ......
Andini Marlang: Alhamdulillah sae .....🌺

sami2 .... Barakallahu fiik 💙
n e u l: alhamdulillah
apa kabar juga bund?
aamiin aamiin 🤲 matur suwun setia mengikuti karya ini ☺️
total 2 replies
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
n e u l: sami-sami /Joyful/
total 1 replies
Ahmad Abid
lanjut thor... bagus banget ceritanya/Drool/
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!