Langit Jakarta yang kelabu seolah mencerminkan hidup keluarga Rahman. Di rumah petak sempit itu, Rahman, pemuda 17 tahun yang kurus namun bermata tajam, mengemasi barang-barangnya. Di sudut ruangan, ibunya, Bu Fatimah, terisak pelan. Ayah Rahman, Pak Hasan, hanya bisa mengusap punggung istrinya dengan tatapan sendu. Adik Rahman, Riko, merangkul kaki ibunya, wajahnya penuh tanya.
"Nak, jaga diri baik-baik di sana. Ibu hanya bisa berdoa untukmu," Bu Fatimah memeluk Rahman erat.
Rahman mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ibu, Ayah, doakan Rahman. Rahman akan berusaha keras di sana."
Keesokan harinya, Rahman berangkat ke bandara dengan bekal seadanya dan tekad membara. Tujuannya: Spanyol, negeri yang jauh di seberang benua. Di sana, ia akan bergabung dengan akademi sepak bola CD Leganés B, sebuah klub kecil yang tak banyak dikenal di pinggiran Madrid.
Kehidupan di Spanyol tidak mudah bagi Rahman. Selain harus beradaptasi dengan budaya dan bahasa yang asing, ia juga harus bersaing dengan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RenSan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Ruang konferensi pers di Estadio Municipal de Ipurua dipenuhi oleh wartawan yang antusias. Kemenangan dramatis CD Leganés melalui adu penalti telah menjadi topik hangat di kalangan media. Pelatih Mauricio Pellegrino dan Rahman duduk di podium, siap menjawab pertanyaan dari para jurnalis.
Seorang wartawan langsung mengarahkan pertanyaan kepada Rahman, "Rahman, bagaimana perasaan Anda gagal mengeksekusi penalti di babak adu penalti?"
Sebelum Rahman sempat menjawab, Pellegrino mengambil alih pembicaraan. "Kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran," ujarnya dengan tenang. "Rahman masih muda dan memiliki banyak potensi. Kegagalan ini akan menjadi pelajaran berharga baginya untuk terus berkembang."
Rahman mengangguk setuju. Ia menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan seorang pesepakbola. Ia akan belajar dari kesalahan ini dan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi.
Wartawan lain kemudian bertanya kepada Pellegrino, "Siapa yang akan menjadi lawan Leganés di babak 16 besar Copa del Rey?"
Pellegrino tersenyum. "Kami belum tahu siapa lawan kami selanjutnya. Kami harus menunggu hasil pertandingan antara Real Zaragoza dan SD Huesca. Kedua tim tersebut akan bertanding besok, dan pemenangnya akan menjadi lawan kami."
"Bagaimana persiapan Leganés untuk menghadapi pertandingan selanjutnya?"
"Kami akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kami akan menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan, dan kami akan menyusun strategi yang tepat. Kami yakin bisa meraih kemenangan dan melaju ke babak selanjutnya."
Konferensi pers berakhir. Rahman dan Pellegrino meninggalkan ruangan dengan perasaan lega. Mereka telah berhasil menjawab pertanyaan dari para wartawan dengan baik.
Rahman merasa bersyukur memiliki pelatih seperti Pellegrino. Pellegrino tidak hanya membimbingnya di lapangan, tetapi juga memberikan dukungan moral dan membantunya mengatasi kegagalan.
Rahman bertekad untuk belajar dari kegagalannya di adu penalti. Ia akan berlatih lebih keras lagi, meningkatkan kemampuannya dalam mengeksekusi penalti. Ia ingin menjadi pemain yang lebih baik, pemain yang bisa diandalkan dalam situasi apapun.
**************
Kembali ke hotel tempat tim menginap, Rahman tidak bisa menghilangkan rasa kecewa atas kegagalannya dalam mengeksekusi penalti. Ia memutar ulang kejadian itu dalam pikirannya, berusaha mencari tahu apa yang salah. Meskipun timnya berhasil lolos ke babak selanjutnya, ia merasa bertanggung jawab atas hampir gagalnya Leganés.
Ponselnya bergetar, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan masuk dari Cintia.
Cintia: Rahman, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Kamu sudah bermain sangat baik. Semua orang bisa membuat kesalahan. Yang penting adalah belajar dari kesalahan itu dan bangkit lebih kuat.
Rahman tersenyum membaca pesan Cintia. Kata-kata dukungannya selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.
Rahman: Terima kasih, Cintia. Aku beruntung memiliki pendukung sepertimu.
Cintia: Jangan khawatir, Rahman. Aku yakin kamu akan menjadi pemain yang lebih hebat lagi.
Tak lama kemudian, ponsel Rahman kembali berdering. Kali ini, panggilan video dari keluarganya di Jakarta.
"Assalamualaikum, Nak!" sapa Bu Fatimah dengan wajah ceria.
"Waalaikumsalam, Bu," jawab Rahman.
"Ayah dan Riko juga ada di sini," ujar Bu Fatimah sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah Pak Hasan dan Riko yang sedang melambaikan tangan.
"Kakak! Pertandingan tadi seru sekali!" seru Riko dengan semangat.
"Iya, Nak. Kami nonton di TVRI," tambah Pak Hasan. "Kamu bermain sangat bagus, meskipun gagal penalti. Jangan berkecil hati, Nak. Kamu sudah membuat kami bangga."
Rahman terharu mendengar dukungan keluarganya. Ia merasa bersyukur memiliki orang-orang yang selalu ada untuknya, baik dalam suka maupun duka.
"Terima kasih, Ayah, Ibu, Riko," ujar Rahman dengan suara bergetar. "Dukungan kalian sangat berarti bagiku."
Mereka mengobrol selama beberapa menit, bertukar cerita dan canda tawa. Kehangatan keluarga membuat Rahman melupakan kekecewaannya. Ia merasa lebih kuat dan termotivasi untuk menghadapi tantangan selanjutnya.
"Nak, jangan lupa istirahat yang cukup," pesan Bu Fatimah. "Besok kamu harus kembali berlatih."
"Iya, Bu. Rahman akan jaga kesehatan," jawab Rahman.
Panggilan video berakhir. Rahman meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur, lalu memejamkan mata. Ia merasa lebih tenang dan damai. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian, ia punya keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya. Ia akan bangkit dari kegagalan ini dan menjadi pemain yang lebih baik lagi.
Bersambung...
nanti musim depan duet sama Mas Rohim
/Grin/