NovelToon NovelToon
Masinis, I Love You!

Masinis, I Love You!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / EXO / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Redchoco

Pernikahan Serena dan Sabir terjalin karena keduanya sepakat untuk pulih bersama setelah dikhianati kekasih masing-masing. Terbiasa berteman selama ini membuat perasaan cinta tumbuh serta-merta. Namun, di saat semua nyaris sempurna, Tuhan memberikan Sabir cobaan dalam urusan kerja. Di mulai dari sini, akan mereka temukan arti cinta, pertemanan dan keluarga yang sebenarnya.

Mari, ikuti lika-liku perjalanan Bapak Masinis dan Ibu Baker yang ingin menjadi pasutri apa adanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redchoco, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Permulaan sebuah hubungan

Area 🔞 harap bijak!

***

Dengan langkah mencak-mencak, Serena melongokkan kepala di samping suaminya untuk melihat apa yang dikerjakannya, ternyata sedang memotong dada ayam.

Sabir menoleh dan langsung tersenyum menyambut.

Serena memajukan bibir, cemberut. Lalu mendengus singkat.

"Enak, ya, gendong cewek lain? Gimana rasanya? Empuk, mengembang sempurna, atau bantet?"

Bersungut-sungut, Serena memotong wortel yang nampaknya belum diselesaikan oleh Sabir. Begitu melihat ke lain sisi, ada cobek yang telah berisi bumbu halus. Nampaknya sang suami yang mengulek bawang putih dan merica. Tuh, kan! Memang idaman! Kalau begini ceritanya, Serena mana rela suaminya diidam-idamkan perempuan gatal di kolom komentar itu.

"Hah?" Kepala Sabir miring ke kanan, merasa bingung kenapa istrinya tiba-tiba kesal. Bukannya tadi dia kelihatan senang sehabis mengatakan kalau lamaran Sabir diterima?

Apa lagi ini, Tuhan...? Cobaan apa yang tengah engkau berikan?

"Kamu ngomongin apa, Er?"

"Aku enggak lihat, sih. Tapi kayaknya cantik banget, ya, ceweknya. Pantes rela aja lari-larian buat nolongin. Padahal kan ada petugas stasiun yang bisa bantu. Tapi aku paham, sih. Kan, bapak Sabir ini gentleman sekali. Lagian, apa yang ditakutin? Enggak ada. Istri rasa teman, enggak mungkin marah lah kalau gendong perempuan lain. Ya iya, aku enggak marah. Cuma ngasih tahu aja, sih. Kalau mau dengar ya oke, kalau enggak juga oke. Kapan-kapan kalau ada kejadian serupa kamu minta tolong yang lain kan bisa, ya. Semoga kamu paham aja apa maksudku."

Sabir masih dalam posisi kepala miring, menahan senyum begitu mendengarkan istrinya nyerocos tanpa henti. Nampak sekali sedang kesal. Setelah memahami apa yang dimaksud Serena, Sabir mencuci tangannya di wastafel. Lalu dengan lembut menarik bahu sang istri untuk menghadapnya.

Serena ogah-ogahan menengok dan menurut saja. Tanpa melepaskan pisau di tangan, ia bertanya, "Apa? Mau bilang apa?"

Sabir tersenyum, matanya seakan bercahaya. Kemudian setelah menarik napas, ia balik bertanya, "Kamu cemburu?"

"Apaan!" Pisau teracung ke depan. Andaikan jarak Sabir terlalu dekat, pasti mata pisau akan mengenai dagunya.

Ketar-ketir, Sabir menurunkan lengan Serena dan mengambil alih benda tajam tersebut.

"Untung jantung aku normal, kalau enggak, udah kejang-kejang karena kamu todong pakai pisau." Seakan tidak menyadari bahwa istrinya memberi sinyal perang, Sabir setia tersenyum.

"Sini dulu, cuci tangan dulu." Sabir menarik lembut, membawanya ke depan wastafel untuk cuci tangan sehabis motong wortel. "Duduk dulu, oke?"

Kursi disiapkan, Serena mendaratkan bokong dengan wajah masih kesal. Lantas, Sabir mengambil posisi di samping, langsung menghadapnya.

"Eren, istriku... boleh aku jelasin dulu, ya?" Ia memainkan jemari Serena yang bebas, memijat jempol dan telunjuknya berulang kali. Sementara Serena mengulum bibir, menahan gejolak di hati dengan memberi anggukan kaku.

"Tadi di stasiun lagi pada ribut. Enggak tahu duduk perkaranya apa karena pas aku nimbrung, enggak sempat tanya-tanya sebab ada prami kereta yang pingsan tepat di depan aku. Kebetulannya, dia pernah jadi crew aku beberapa kali, dan aku kenal dia. Aku cuma niat bantu aja, enggak ada maksud lain. Tadinya aku juga mau cerita ke kamu, cuma keburu lupa karena lagi cari cara buat ngungkapin perasaan aku ke kamu. Maaf, yaaaa."

Serena tidak bisa seperti ini. Alias, ia bisa mati kalau jantungnya terus-menerus berdendang di dalam sana. Sabir ini ya, mulutnya benar-benar! Pengin dilakban saja rasanya. Tapi kalau dilakban, otomatis penjelasan barusan tidak akan sampai ke telinga Serena.

"Eren, aku dimaafin? Maaf, ya?" Pijatan pada jari berganti menjadi genggaman pada tangan. "Lain kali aku akan minta bantuan orang kalau ketemu kejadian serupa. Enggak akan bertindak sendirian sampai bikin istriku cemburu begini."

"Siapa juga yang cemburu!" Praktis, Serena menarik tangannya. Namun, Sabir mana mau melepasnya, justru malah menggenggamnya makin erat.

"Iya, iya, kamu enggak cemburu. Tapi... cemburu." Sabir tersenyum jahil.

"Beneran!" Serena mendelikkan mata. "Aku enggak cemburu, Sab. Aku cuma... enggak suka aja. Ini beda ya maknanya. Kalau kamu bilang cemburu sama enggak suka adalah dua hal yang sama, kayaknya kamu perlu meninjau ulang artiannya cukup lain lewat kamus besar bahasa Indonesia. Simak aja kalau enggak percaya."

Dengan bibir terkulum, Sabir mencolek lengan istrinya.

"Niat banget ya, Bu, ngejelasinnya. Sampai bawa-bawa KBBI segala."

"Aku serius, tau!"

"Iya, iya, kamu enggak suka aja. Dan enggak suka artinya enggak sama dengan cemburu. Oke, aku paham maksud kamu."

"Syukur, deh."

"Berarti kamu suka sama aku, kan?"

"Eh?" Serena terjengit mundur. "E-enggak, ya!"

"Jadi enggak atau iya?"

"Enggak!"

"Terus kenapa enggak suka kalau aku gendong perempuan? Padahal niat aku mau bantu aja."

"Wah, kamu benar-benar ya...!" Serena tidak tahan untuk tidak mencaplok paha suaminya keras-keras.

Sabir tertawa-tawa, lantas meringis sedikit sebab Serena menampar pahanya berulang kali.

"Aku enggak suka beneran sama sikap kamu ke perempuan itu, Sab. Dan iya, aku cemburu," aku Serena pada akhirnya. "Cemburu dikiiiit banget. Maksud aku tuh kayak... kamu kan suami orang, ya, harusnya enggak sembarangan sentuh-sentuh cewek lain, dong."

Sabir menganggukkan kepala, mengerti. Meski masih ingin menjahili, ia memilih berkata, "Maaf, lain kali enggak begitu lagi. Maaf, ya?"

"Iya, dimaafin."

Sebenarnya, Sabir punya kesempatan juga untuk membalikkan ucapan Serena tadi. Semacam : kamu kan juga istri aku, ya, harusnya enggak sembarangan peluk laki-laki lain. Harusnya Sabir bisa minta penjelasan mengenai kedekatannya dengan Janu yang sudah tidak dalam batas wajar -dalam pandangan Sabir, pelukan dan genggaman tangan adalah hal yang tidak lumrah dilakukan perempuan yang telah menikah. Hampir semua orang juga pasti setuju dengan hal itu. Tapi alih-alih membahasnya, ia mengelus pelan rambut istrinya.

"Ngomong-ngomong, kamu beneran cemburu dikit aja, Er? Enggak mau cemburu banyak?" godanya, yang kemudian dibalas Serena dengan cubitan kecil di lengan.

"Ini kita kapan masaknya, ya, Pak?"

"Oh iya! Kasian ayamku dianggurin. Padahal udah terlanjur aku potong-potong." Sabir serta-merta bangkit menuju bahan-bahan sup berada. "Ayamku... jangan cemburu, ya. Apalagi kalau cemburunya cuma dikit aja, malesin! Kalau cemburu banyak, enggak apa-apa."

"Nyindir siapa ya kalau boleh tahu?" Serena mendekat dengan bibir mengerucut.

"Emangnya ada yang kesindir? Aku kan ngomong sama ayam."

"Masa'? Kata ayamnya, dia enggak ngomong sama kamu."

"Wah... kamu bisa dengar suara hati ayam, Er? Kereeeen. Aku aja cuma ngasal doang."

"Udah, heh! Bikin sensi banget!"

Sabir langsung tertawa renyah. Kemudian mengusap-usap rambut Serena -kebiasaan favoritnya sejak lama.

Serena yang semula hendak melanjutkan memotong wortel, terdiam dengan debar tak karuan.

Sejurus kemudian, keduanya menyelesaikan kegiatan masak, dan menikmati makan malam dengan ditemani suara hujan di luar.

"Akhir-akhir ini langit nangis terus, ya."

Serena melirik, merasakan tanda-tanda kejahilan sang suami akan mengudara. "Memang lagi musimnya aja."

"Dia cemburu, sedih, makanya turun hujan."

Nah, kan!

"Masih mau nyindir, nih?"

Sabir terkekeh.

"Enggak lagi. Maaf, ya."

Serena geleng-geleng saja. Setelah menandaskan makanan yang ada, keduanya berbagi tugas. Kali ini Sabir memilih mencuci piring, dan Serena sekadar mengelap meja.

"Sab,"

"Ya?"

Serena menyandarkan diri di meja makan. Menatap lurus pada Sabir yang juga sedang menatapnya.

"Mau bahas surat dari PT. KAI."

Dengan begitu, Sabir mendekat. Memangkas jarak hingga sisa sejengkal dari Serena.

"Udah kamu baca semuanya?"

Dia mengangguk.

"Sekarang udah tahu perasaanku ke kamu. Jadi... gimana menurut kamu?"

"Gimana apanya?"

"Kamu keberatan kalau aku yang dulunya teman kamu, beralih jadi suami kamu, dan lanjut mencintai kamu?"

"Enggak, buat apa keberatan? Di awal, kita juga sama-sama bertekad untuk lupa dengan pengkhianat itu, kan. Jatuh cinta adalah hal yang memang sedang diusahakan. Katanya mau jadi pasutri yang sebenarnya. Jadi... aku enggak masalah. Justru, aku pun kayaknya mulai bisa buka hati buat kamu, Sab."

Mulai buka hati, itu poinnya. Berarti Serena belum mencintai Sabir sebagaimana Sabir kepadanya, kan? Tapi tidak apa-apa. Masih banyak hari-hari yang belum mereka jalani.

"Makasih karena mau memberi kesempatan untuk kita, Er. Udah seharusnya kita lepas dari bayang-bayang masa lalu, kan?" Seperti kamu dan Janu, misalnya.

Lamat-lamat, Serena memberi anggukan. Kesempatan untuk kita, hal itu berputar-putar dalam benak Serena selagi Sabir memandangnya lembut. Mereka harus mulai berkomitmen terhadap hubungan ini, itu tujuan utama. Agar bisa menjadi suami-istri yang sepantasnya, keduanya bisa mencoba untuk mulai jatuh cinta. Sabir sudah melakukannya. Sekarang tinggal Serena yang masih bertanya-tanya tentang hatinya. Apakah ia telah mencinta, atau sekadar suka biasa?

"Sab,"

"Iya?"

"Cium aku sekarang."

Sekonyong-konyong Sabir mundur dua langkah ; kaget bukan main. Apa barusan ia salah dengar? Rasa-rasanya indera pendengaran masih berfungsi dengan baik. Kecuali kalau ada dedemit lewat karena cemburu dan berbisik di telinga seolah itu suara Serena.

"A-aku kayaknya salah paham maksud kamu, deh. Kamu mau apa, Er?"

"Cium. Aku. Sekarang."

Kata-kata itu ditekan dengan sempurna. Sabir betulan tidak salah dengar. Istrinya benar-benar meminta untuk menciumnya sekarang?!

"Eren, kamu bercanda?"

"Serius, Sab."

Serena ingin tahu apa yang hatinya butuhkan. Tidak ada cara lain selain ini -menurutnya. Ciuman, akan membangkitkan perasaan. Serena butuh membuktikan kalau ia sudah jatuh cinta. Dengan begitu, ia tidak perlu denial lagi terhadap perasaannya.

"Enggak. Maksudku... kenapa tiba-tiba?"

"Emangnya harus ada jadwal dulu buat minta ciuman? Yang bener aja, Ananda Sabir...."

"Iya, tapi—"

Selaan Serena memotong, "Ingat perjanjian pernikahan kita? Nafkah batin, hal-hal semacam itu, itu yang sekarang aku tuntut dari kamu."

"Eren, kayaknya kamu kebanyakan makan gula. Aku enggak yakin kamu beneran serius sama ucapan kamu barusan."

"Kamu butuh aku ngomong sampai berbusa baru mau percaya? Aku serius, Sab."

"Tapi... kenapa? Kenapa mendadak sekali kamu ingin kita... ciuman?"

"Apa susahnya tinggal cium, sih? Ribet banget pakai debat segala."

Sabir menggeleng-geleng, lantas mondar-mandir di dapur untuk menghilangkan pikiran liar di kepala. Ia yakin istrinya sedang tidak baik-baik saja, makanya nekat berkata begitu. Sabir yakin Serena tidak benar-benar mau melakukannya, dia mungkin hanya... mengetes?

"Udah malam, kayaknya kita tidur aja."

"Jam delapan lebih lima. Sebagian orang bahkan masih menganggap ini senja."

"Tapi sekarang hujan, waktu yang pas untuk tidur nyenyak. Mending kita tidur aja. Kamu enggak usah aneh-aneh, Eren. Aku yakin kamu besok bakal nyesel udah bilang ini. Jadi... lupakan."

Serena meraih lengan pria itu, menahannya untuk berhenti mondar-mandir tidak jelas. Dengan tatapan meyakinkan, ia menegaskan, "Aku beneran serius."

Sepersekian detik, Sabir hanya menanggapinya dengan napas yang mulai memburu.

"Kiss me."

"Er, ini permintaan kamu. Semoga kamu enggak nyesel, ya."

Sabir mendekatkan diri dengan tergesa dan langsung menempelkan bibirnya pada bibir Serena. Pria itu menyapu dengan lembut, mengecup bibir bawah di hadapannya berulang kali, sebelum menyapu seluruh lekuk bibir istrinya.

Serena melenguh pelan. Perlahan-lahan menyambut suaminya dengan tangan terbuka. Memiringkan kepalanya dan dengan dilingkupi gairah meraba-raba punggungnya yang kekar. Bagai ada daya magis dari ciuman itu, Serena menggerakkan bibir dan menyapu bibir bawah Sabir. Mereka saling memagut tanpa henti. Serena mulai kepanasan. Napasnya terengah-engah, kemudian perlahan mendorong pelan bahu Sabir agar menjauh.

Sang pria menyesap kuat bibir bawah Serena sekali lagi, sebelum melepaskannya.

Sejenak, mereka hanya diam dan saling pandang.

"Kamu enggak apa-apa?"

Serena mengangguk pelan. Mengatur napas dan degup jantung yang berpacu kencang. Sekarang ia menemukan jawaban : hatinya, bergetar karena pria ini. Sahabatnya, yang sejak beberapa waktu lalu menjadi suaminya, telah berhasil meraup seluruh dunia Serena. Ia harus mengakui ini, Sabir harus tahu kalau ia jatuh cinta. Ya, Serena harus mengajaknya bicara. Baru hendak membuka mulut, Sabir tiba-tiba bertanya,

"Boleh aku cium kamu sekali lagi?"

Bagaimana menghadapi pria yang apa-apa perlu izin ini? Tentu tidak ada jawaban paling rasional saat ini selain: anggukan kepala. Serena jelas sudah terbawa suasana.

Napas Sabir yang hangat membelai pipinya. Jarak bibirnya hanya beberapa milimeter saja lagi, dan dengan spontan Serena meraihnya lebih dulu; menciumnya di sana.

Sabir bereaksi cepat. Tangannya menangkup wajah Serena, serta-merta membuat istrinya melingkarkan tangan ke balik punggung. Tergesa, Sabir menaikkan tubuh Serena ke meja. Perempuan itu membuka kedua kaki sehingga suaminya bisa merapat lebih dekat. Mereka berciuman tanpa jeda. Ada perasaan menyenangkan sekaligus mendebarkan saat bibir mereka saling berpaut. Rasanya ini tidak boleh disudahi terlalu cepat.

"Sab..." Serena melepas pagutan sejenak. Meraup udara sebanyak mungkin. Tubuhnya masih terasa terbakar oleh ciuman Sabir yang lembut dan membuai.

"Sabir..."

"Hm?" Pria itu memandang penuh damba, sama halnya dengan Serena.

"Kayaknya enggak ada salahnya kalau kita memulai ini semua."

Sabir tidak perlu menanyakan apa yang dimaksud, ia jelas tahu betul apa yang sedang dibicarakan.

"Memulai semuanya?"

Serena mengangguk.

"Kamu yakin?"

Yang kemudian dibalas Serena dengan menarik tengkuk suaminya, lalu mengecup bibirnya pelan. Pikirannya saat ini berada di lain tempat; tengah mengingat-ingat, di mana ia meletakkan buku Kamasutra pemberian Jizzy. Nampaknya, sehabis ini, ia akan belajar dengan giat mengikuti tutorial yang diberi.

Ah, lupakan buku, gunakan saja kemampuan sendiri!

Serena melingkarkan tangan di leher sang suami, lalu menatap hangat dan menjawab,

"Yakin sekali."

Dengan begitu, Sabir merapikan anak rambut sang puan, sejurus kemudian kembali memberikan ciuman di bibir. Serena membalasnya dengan tangan yang menyelusup di balik helai rambut pria itu, meremasnya sesekali. Perlahan namun pasti, Sabir memindahkan ciumannya ke dagu, lalu ke leher. Serena mengerang pelan.

Tidak akan nyaman di sini lama-lama, Sabir serta-merta menggendong Serena tanpa melepas pautan bibir mereka. Sekonyong-konyong, Serena melingkarkan kaki di pinggang suaminya.

Lamban dan hati-hati, Sabir menaiki tangga. Dengan sebelah tangan, membuka pintu kamar lalu menutupnya dengan dorongan kaki.

Sejurus kemudian, keduanya telah pindah posisi ke kasur. Serena dengan aktif meraba wajah suaminya. Tangan Sabir mulai berani menyelusup ke balik kaos yang dikenakan istrinya. Serena menggelinjang pelan tatkala kulit mereka bersentuhan. Mendapati reaksi itu, Sabir menghentikan ciuman.

"Kamu beneran enggak apa-apa?" tanyanya, sekali lagi, untuk memastikan tidak ada penyesalan di sini.

Di ujung lidah, Serena sudah ingin meneriakkan : masih nanya? Aku sudah enggak karuan begini kamu masih nanya? Tapi yang ada merusak suasana. Jadi, ia mengangguk saja.

"Enggak ada paksaan. Aku bisa menunggu kalau kamu belum siap, Eren."

"Lakukan."

"Sungguh?"

"Aku siap, Sab."

"Enggak akan ada penyesalan?"

Serena memberi anggukan. Tangannya bermain-main di dada Sabir, menyentuh otot-otot yang menyembul di sana.

"Aku enggak akan minta kamu berhenti. Serius. Lakukan."

Tatapan Sabir memaku netra mata Serena, tangannya bergerak meraih remot di nakas untuk mematikan lampu utama, menyisakan lampu tidur yang temaram. Sekali lagi, ia menatap istrinya dengan lembut, menghapus keringat di dahinya, kemudian mengecup pelan keningnya.

"Aku akan hati-hati."

Dan dengan begitu saja, malam ini, mereka resmi memulai segala-galanya.

***

1
Mamaqilla2
tumben belum update kaka
Mamaqilla2
𝒘𝒊𝒅𝒊𝒊𝒊𝒊𝒉 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏 𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒌 𝑺𝒂𝒃𝒊𝒊𝒊𝒓𝒓𝒓𝒓 😍
𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒈 𝒃𝒂𝒄𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒋𝒂 𝒎𝒍𝒆𝒚𝒐𝒐𝒐𝒕𝒕... 𝒂𝒑𝒂𝒍𝒈𝒊 𝑺𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒊𝒉𝒊 😂
𝒃𝒂𝒊𝒌𝟐 𝒚𝒂 𝒉𝒖𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏.. 𝑺𝒖𝒌𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒘𝒂𝒍𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒏𝒐𝒗𝒆𝒍 𝒕𝒑 𝒌𝒆𝒌 𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒂𝒔𝒕𝒂𝒈𝒂𝒂𝒂 🥰
𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒐𝒕𝒉𝒐𝒐𝒓 𝒖𝒑𝒅𝒂𝒕𝒆𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 ❤
Mamaqilla2
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒊𝒌𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑺𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑺𝒂𝒃𝒊𝒓 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒃𝒂𝒊𝒌𝟐 𝒔𝒂𝒋𝒂..
Mamaqilla2
𝑺𝒂𝒃𝒊𝒓 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒂𝒉 𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒍𝒂𝒌𝒊 𝒊𝒅𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕... 🤗
𝒌𝒆𝒌 𝒈𝒂𝒓𝒆𝒍𝒂 𝒌𝒂𝒍𝒐 𝑺𝒂𝒃𝒊𝒓 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒂𝒌𝒊𝒕𝒊 𝒉𝒊𝒚𝒂𝒂𝒂𝒂 𝒉𝒂𝒉𝒂𝒉 😂
dewi
keren pak sabir
Mamaqilla2
Ningsih kah yg motret mereka??
duuuuh apakah akan terjadi huru hara 🤔
Mamaqilla2
hwaaaaa saingannya si Sabir dah muncul 😂
Mamaqilla2
wkkwkwkkwwk ngakak di akhir 🤣
Mamaqilla2
apa mungkin Cindy sebenrnya menaruh hati sm Sabir.. hmmmb
Mamaqilla2
keren ceritanya baru mampir thor 🥰
Redchoco: terima kasih, semoga betah :)
total 1 replies
Mamaqilla2
selalu suka kalo ada novel berbau abneg 🥰
Protocetus
Kunjungin ya novelku Bola Kok dalam Saku
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!