Pernahkah kalian membayangkan, bagaimana rasanya bertemu mantan, yang tak lain merupakan cinta pertamamu?
Bella tak menduga jika ia kembali dipertemukan Arfa. Sosok mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya, yang tak lain adalah Direktur baru tempatnya bekerja. Semula ia merasa percaya diri menganggap jika keadaan masih sama. Namun, sikap Arfa yang dingin dan ketus terhadapnya, membuatnya harus sadar diri, rasa percaya dirinya itu seketika terenggut dengan paksa. Bella memaksakan diri untuk membuang jauh-jauh perasaannya.
Namun, bagaimana jika keadaan justru membuatnya harus terus berdekatan dengan Arfa. Membuat rasa cinta itu tumbuh semakin besar. Seiring sesuatu alasan yang membuat Arfa berubah pun terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsyazzahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serasi
Note : Beberapa adegan ini mungkin sudah ada di novel sebatas Istri Bayaran [ Kisah Dave dan Alana] tapi ini aku ambil dari versi Bella dan Arfa ya.
Beberapa menit kemudian Dave dan Alana tiba. Mereka saling berjabat tangan memperkenalkan diri. Cantik, itulah satu kata yang mampu Bella katakan setelah melihat Alana. Sangat cocok bila disandingkan dengan lelaki di sisinya. Mereka memang pasangan yang serasi. Terlihat Dave begitu menyayangi perempuan itu. Ia jadi berpikir perempuan itu sangat beruntung, mempunyai suami yang begitu hangat. Dari segi pakaian dan tas yang dikenakannya saja, Bella bisa tahu jika apa yang dikenakannya Alana mempunyai harga yang fantastis.
Arfa menawarkan mereka untuk memesan makanan. Namun, keduanya menolak memilih memesan minuman dan cemilan untuk Alana. Karena mereka mengatakan baru saja selesai makan siang.
“Kalian sangat cocok,” puji Alana tiba-tiba. Hal itu membuat Arfa dan Bella tersenyum canggung. “Aku sempat berfikir kalian itu sepasang kekasih,” sambungnya.
Alana terus memuji membuat Bella dan Arfa salah tingkah. Hingga perkataan Dave menghentikan pujian perempuan cantik itu. “Sayang, berhentilah memuji karena itu membuat mereka malu.”
Tutur kata lelaki itu terdengar begitu lembut, di tambah ia juga menggunakan sebelah tangannya untuk mengusap rambut istrinya. Manis sekali, Bella menatap keduanya penuh rasa kagum. Kelak, apakah ia bisa memiliki suami yang hangat seperti Alana? Bella menggelengkan kepalanya, mengenyahkan angan-angannya yang terasa jauh dari sebuah mimpi menjadi nyata.
“Tidak apa-apa, Tuan Dave. Saya mengerti. Sebenarnya saya mewakili Papa saya di sini. Kebetulan saya dan Bella habis mengecek produk perusahaan kami di mall sebelah,” ujar Arfa.
Beberapa saat kemudian terjadilah obrolan ringan, tentunya seputar bisnis mereka, keduanya saling melemparkan pujian. Hingga akhirnya Arfa meminta Bella untuk memberikan satu set produk kecantikan untuk Alana. Perempuan itu sangat ramah dan humble, ia menerimanya dengan senang hati.
“Terima kasih,” kata Alana.
“Sama-sama, Nona.”
Zain, yang merupakan asisten Dave datang menghampiri meja mereka dengan membawa tentengan, lalu memberikannya pada Arfa dengan sopan.
“Cicipi lho Pak Arfa, Bella. Itu buatan aku sendiri lho,” ucapnya.
Keduanya lantas mencicipi kue nastar buatan Alana. Mereka memujinya, membuat Alana malu. Setelahnya mereka melanjutkan inti pertemuan itu.
“Jadi, anda dan Tuan Aslan berniat membangun mall di area Jawa Barat?” tanya Dave membuka obrolan. Alana dan Bella hanya menjadi pendengar setia. Zain sibuk mengecek berkas di hadapannya.
“Iya Tuan. Dan saya percayakan proyek ini kepada perusahaan anda. Karena saya tahu anda pasti kompeten. Papa saya bilang begitu, karena melihat sisi hangat anda pada istrinya anda,” ujar Arfa menoleh pada Alana.
“Terima kasih, sudah mempercayakan proyek ini kepada kami.” Dave menoleh ke arah Alana, yang tengah menikmati jus jeruknya. Tangannya terulur untuk mengusap rambut Alana. “Istri saya ini memang luar biasa, membawa keberuntungan,” pujinya kemudian.
Uhuk! Uhuk!
Alana tersedak, tampak Zain menatap keduanya melongo. Bella tersenyum tipis.
“Pelan-pelan sayang, jangan gugup begitu.”
“Dave aku perlu ke toilet,” ujar Alana.
“Biar Bella yang antarkan,” seru Arfa memberi perintah pada Bella.
“Mari Nona.”
Keduanya beranjak menuju toilet.
“Sebenarnya aku bisa sendiri, Bella.”
“Saya tahu Nona. Tapi, saya juga perlu ke toilet,” sahut Bella setengah berdusta. Dia bekerja dengan Arfa, tentu saja ia harus mengikuti perintah sang atasan.
Alana terkekeh geli mendengar Bella memanggil dirinya Nona. Ia memintanya untuk memanggil dengan nama saja, tanpa embel-embel Nona.
“Kau sangat cantik, Bella. Dan aku yakin direktur mu itu, pasti berkali-kali terpesona padamu,” pujinya membuat Bella menyentak nafasnya. Jangankan terpesona, menatapnya saja mungkin Arfa terasa enggan. Namun, ia memilih tak menanggapinya dengan serius.
Ia terkekeh geli, sebelum kemudian menjawab. “Jangan bercanda Alana. Aku dan Arfa itu ibarat langit dan bumi.”
Sampai masuk ke dalam toilet, mereka masih terlibat obrolan seputar Arfa. Alana bahkan mengatakan tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah menentukan jalannya. Ia juga bilang dirinya dulu juga hanya seorang sales apartemen di perusahaan Dave. Namun, siapa yang menyangka jika dirinya bakal menikah dengan lelaki itu. Dan Bella hanya menanggapinya dengan senyum masam.