“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24 ~ Rencana Gentala
Aku dan Vina memang tidak pernah akur, tapi kalau sampai anarkis saling pukul atau menyakiti fisik ya baru kali ini. Entah apa yang Gio perbuat atau memang ekspektasi Vina terhadap Gio terlalu berlebihan sampai akhirnya dia kalap padahal sedang hamil dan lagi-lagi aku yang jadi pelampiasan.
Tukar posisi? Maksudnya dia ingin ada di posisi aku? Seharusnya dia komplain pada Tuhan jangan malah rambut dan dahi aku yang jadi korban.
“Aduh, sakit Pak,” rengekku saat Pak Gentala mengoles obat pada dahiku yang memar.
“Manja, biasanya kayak preman kenapa kali ini malah diam.”
“Ish, tadi tuh serangannya tiba-tiba dan saya melindungi rambut. Sayang, habis perawatan,” ujarku cengengesan.
Pak Gentala hanya berdecak dan bersedekap. Demi apa, kehadiran Pak Gentala adalah yang paling memukau di dalam kamarku yang mirip kapal pecah (Hehe, bohong ding). Pria ini menatap sekeliling kamarku dan terhenti pada pigura fotoku saat SMA, cantik? Pastinya dong.
“Pak Genta kok bisa tahu aku dalam bahaya? Jangan-jangan Bapak ada semacam ilmu kebatinan yang bisa merasakan kalau seseorang dalam bahaya,” tebakku asal.
Bukan menjawab dia malah mengulurkan tangannya merapikan rambutku yang awut-awutan karena ulah Vina.
“Isirahatlah!”
“Pak?”
Aku menahan Pak Gentala yang sudah berdiri dengan memegang tangannya.
“Saya sudah biasa begini, terkadang yang sakit di sini lebih perih dibandingkan luka luar,” ujarku sambil menepuk dada. “Kalau Bapak kali ini tolong saya, bagaimana kalau mereka kembali menyakiti dan saya berharap Bapak datang lagi untuk menolong?”
“Saya pastikan mereka tidak berani menyakitimu lagi.”
Saat ini aku merasa dunia berhenti berputar bukan karena aku jatuh cinta tapi sosok di hadapanku ini bak seorang pahlawan. Bukan pahlawan bertopeng apalagi pahlawan kemerdekaan tapi pahlawan kesiangan yang awal bertemu malah berperan sebagai penjahat.
Kalau dipikir kenapa aku bertemu dengan Pak Gentala dalam situasi yang tidak menyenangkan. Kenapa nggak kayak Rose and Jack di film Titanic atau Rangga dan Cinta. Adegan romantis setelah pertemuan jadi lebih sempurna. Tunggu, ini artinya aku sudah mulai jatuh cinta atau gimana ya. Whatever.
Jantungku mulai dag dig dug karena Pak Gentala kembali duduk di ranjang dan berhadapan denganku. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipiku. Wajahnya … semakin dekat dan alamak dia menciumku.
Silaturahmi bibir yang dia lakukan bukan pagutan liar, kasar dan penuh nafsu tapi pagutan lembut dan aku tidak membalasnya karena ini adalah my first kiss. Pernah pacaran dengan Gio tapi aku selalu menolak permintaannya yang berlebihan seperti pipi, bibir dan mungkin yang lainnya. Mungkib itu alasan dia memilih Vina.
“Gil4,” ujarku saat Pak Gentala sudah menghilang di balik pintu. Aku mengusap dadaku yang masih berdebar.
“Aaaa,” teriaku dengan wajah aku benamkan pada bantal. “Cium4n pertama gue sama Duda.”
...***...
Gentala
“Berhenti!”
Pak Budi akhirnya menginjak rem.
“Putar balik,” ujarku lagi.
Mungkin Pak Budi menduga aku sedang jatuh cinta, sampai tidak rela melepas Ajeng pulang. Namun, bukan karena itu. Firasatku Ajeng akan mendapat masalah karena karakter keluarganya, setelah keputusan aku akan menikahinya. Dia berada di tengah keluarga yang toxic.
Aku baru membuka pintu mobil saat mendengar suara Ajeng … berteriak dan entah suara siapa lagi. Ternyata Ajeng dan perempuan lain, mungkin saudaranya sedang berseteru dan posisi Ajeng jelas kalah.
“Shittt.”
Gadis bar-bar, julukan untuknya. Gadis yang cukup berani dan selalu lantang, tapi kali ini dia lemah bahkan saat aku menariknya ke dalam pelukan dia menangis. Menangis pasrah dan berharap pertolongan.
Aku menunjuk ketiga manusia lain di ruangan itu dan membawa perempuan yang akan aku nikahi-- secepatnya-- menuju kamarnya. Dia merengek manja dan dari sorot matanya mengatakan aku adalah pahlawannya.
Aku memutuskan meninggalkan kamarnya karena tidak tahan untuk memeluk dan melindunginya, jelas ini berbahaya karena kami akan terbawa suasana dan … sudahlah.
Namun, bibir itu terlalu sayang untuk aku lewatkan. Dia diam saja saat aku mendekat dan kami berciuman.
Kesimpulannya, dia amatir. Bisa jadi tadi adalah ciuman pertamanya. Rasanya ingin terbahak, tapi aku akan merusak suasana.
“Nak Gentala, tadi itu tidak seperti yang terlihat.”
Aku menatap perempuan hamil yang diapit oleh kedua orangtuanya. Entah apa pemicunya sampai dia bertingkat liar dan ganas seperti singa lapar.
“Tidak seperti yang terlihat bagaimana? Saya melihat Ajeng tersungkur dan dijambak oleh dia. Kalau saya tidak datang entah apalagi yang akan dia lakukan. Kalian berdua kenapa tidak bisa menahan dia sampai menyakiti putri kalian yang lain”
“Jangan menikah dengan Ajeng.”
Perempuan itu akhirnya membuka suara. Rambutnya berantakan, nafasnya naik turun dan tatapannya tidak lepas dariku.
“Kenapa? Bukannya kamu sudah mendapatkan mantan kekasih Ajeng?”
“Vina.”
Aku menatap laki-laki yang baru datang dan langsung mengecek kondisi Vina.
Ah, mungkin ini Gio. Mantan Ajeng yang direbut oleh kakaknya.
“Kamu kenapa sayang?”
“Kenapa kamu bilang? Aku nggak mau Ajeng bisa hidup enak dari pada aku, dia mau menikah dengan pria itu.”
Satu kata untuk keluarga ini, kecuali Ajeng yaitu “Gila”. Tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam drama rumah tangga ini, aku pun beranjak.
“Besok akan ada asisten saya mengurus hutang kalian, setelah itu jangan lagi ganggu dia. Sampai aku menikah dengan Ajeng, pastikan dia tidak terluka seujung jari pun atau kita akan berhadapan di pengadilan.”
“Baik Nak Gentala, kami akan jaga Ajeng. Ini tadi hanya salah paham.”
Javas ini kalau di perusahaan termasuk golongan karyawan penjilat, dia bisa hormat bahkan sampai membungkukan badannya hanya untuk mendapatkan simpati atau menjatuhkan kawan dan lawan.
“Ajeng mau menikah dengan siapa?” Si bod*h membuka suaranya dan istrinya kembali kalap.
Aku salut pada Ajeng yang sabar berada di tengah keluarganya
“Permisi,” ujarku lalu meninggalkan tempat itu dan di pagar aku bertemu dengan bod*h lainnya. Pria yang tadi pagi datang bersama orangtuanya. Entah siapa namanya aku tidak peduli, tapi Ajeng menyebutnya pemalas yang sok kaya.
“Wow, Tuan besar Gentala menginjakan kakinya di rumah ini. Apa anda sudah tidak sabar untuk menikahi Ajeng? Sepertinya Ajeng begitu mempesona ya. Aku belum menikah, jadi anda harus bayar pelangkah untukku.”
Aku hanya menggelengkan kepala mendengar ucapannya lalu menuju mobil dengan Pak Budi sudah siap membuka pintu untukku.
Dalam perjalanan aku menghubungi beberapa orang, yang pertama adalah Anton.
“Hm. Cek jadwal Pak Krisna, kami butuh dua atau tiga hari. Besok pagi datang ke kediaman Ajeng, tanyakan perihal hutang piutang keluarganya dan selesaikan.”
Kemudian aku menghubungi Nella.
“Cari WO yang bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu dekat, sampaikan laporanmu besok.”
Terakhir aku menghubungi orang kepercayaanku.
“Cari tahu tentang Ajeng dan keluarganya, termasuk tes DNA. Aku perlu data ini segera. Ah, satu lagi. Tempatkan seseorang untuk mengawasi dan memastikan keselamatan Ajeng."
ato jangan-jangan .....