Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terus Mendiamkan
Silent treatment yang dilakukan oleh Infiera ternyata tidak hanya berlangsung satu dua hari saja, tapi sampai satu minggu lebih. Fiera masih saja mendiamkan Abimanyu, keberadaan pria itu baik di rumah maupun di kampus tetap kasat mata baginya.
Bahkan, saat Abimanyu dengan sengaja mengerjai Infiera saat dia mengajar, wanita itu sama sekali tidak terpengaruh. Fiera melakukan apa pun yang diperintahkannya. Apa lagi, sekarang Fiera semakin sibuk dengan persiapan ujian yang hanya tiga minggu lagi.
Abimanyu semakin frustrasi, usahanya untuk meminta maaf hanya sia-sia belaka. Selama beberapa hari, suasana hati Abimanyu cukup kacau, hal itu sangat berpengaruh pada cara Abimanyu mengajar. Semua orang merasa tegang. Bahkan, beberapa orang dikeluarkan dari kelasnya hanya karena satu kesalahan kecil.
“Gila, Pak Abimanyu mengerikan sekali!” Anisa bergidik saat mereka keluar dari kelasnya. Dia melirik pada Infiera yang terlihat tenang memainkan ponselnya. “Fier, lo lihat, kan, bagaimana wajahnya? Dia kaya ibu-ibu yang engga dapat jatah belanja dari suaminya.”
Fiera tergelak mendengar ucapan temannya. “Lo ada-ada saja.”
Fiera sama sekali tidak peduli dengan cara Abimanyu mengajar. Dirinya hanya fokus untuk segera menyelesaikan kuliah, setelahnya dia ingin bekerja di bidang yang dia sukai selama ini.
“Fier, lo ikut kita, ga? Si Bimo ngajakin ke rumahnya. Dia punya PS baru.”
Fiera segera menggeleng. “Gue ada urusan penting. Duluan, ya.” Tanpa menunggu jawaban dari temannya, Fiera sudah lebih dulu pergi karena ojek pesanannya sudah tiba.
Dari kejauhan, Abimanyu yang baru akan masuk ke dalam mobil melihat Fiera yang pergi. Dia berpikir kalau istrinya akan pulang lebih awal. Wajah pria itu terlihat sedikit pucat, matanya memerah karena dia kurang tidur selama satu minggu terakhir. Abimanyu menghabiskan banyak waktu bermain game, karena pikirannya yang dipenuhi dengan ide dan cara untuk meminta maaf pada Infiera, tapi semuanya hanya memiliki kegagalan pada akhirnya.
Hari ini, Fiera memiliki janji dengan seseorang dari perusahaan penerbitan yang ingin menerbitkan bukunya. Mereka bertemu untuk membahas mengenai revisi naskahnya.
Fiera sampai di sebuah coffee shope. Dia bergegas untuk menemui seseorang yang membuat janji dengannya sebelumnya.
“Mas Joko?” Fiera tertegun saat melihat pria yang ditemuinya seminggu lalu di Alsal Media saat dia mengerjakan tugas.
“Kamu... .” Joko menunjuk Fiera karena dia kenal wanita ini, hanya saja belum mengetahui namanya.
“Saya Fiera, Mas.” Keningnya sedikit berkerut. “Jangan bilang kalau Mas itu editor yang sudah membuat janji dengan Pena Rindu?”
Joko tersenyum dengan pertanyaan Fiera. “Betul, itu saya.”
“Astaga, dunia ini sempit sekali. Padahal, minggu kemarin kita sudah bertemu. Bisa-bisanya kita harus mencari waktu lain lagi.”
Joko juga tertawa karena dia tidak menyangka jika ternyata penulis yang selama ini mengajukan naskah ke perusahaan tempatnya bekerja pernah datang ke perusahaan secara langsung.
Joko mempersilakan Fiera untuk duduk terlebih dahulu. “Silakan pesan dulu, biar nyaman kita bicaranya.”
Fiera segera memanggil pelayan dan memesan ice coffe latte dan cake strawberry untuknya karena Joko sudah lebih dahulu memesan.
“Jadi, bagaimana dengan naskahmu?” tanya Joko tanpa basa-basi setelah pesanan Fiera berada di meja.
Fiera menghela napas berat dan sedikit menyesal. “Maaf, Mas, tapi saya tidak bisa jika harus melakukan rombak sebanyak itu. Tentu saja itu akan mengubah sebagian besar plotnya dan saya keberatan.”
Joko sangat memahami hal itu karena sejujurnya, dirinya juga tidak terlalu menghendaki perubahan total seperti itu, tapi mau bagaimana lagi—Abimanyu—atasannya—ingin akhirnya lebih masuk akal dengan plot yang sangat rapat. Bukan sesuatu yang mengherankan jika genre melodrama seperti itu memiliki akhir yang tragis, tapi juga bukan sesuatu yang mengejutkan jika dibuat bahagia.
“Saya paham bagaimana perasaan kamu. Saya juga hanya menyampaikan pesan dari atasan untuk naskah itu. Sejujurnya, Kak Nirmala saja, dari divisi promosi sudah siap jika naskah kamu terbit, tapi sayangnya... ya begitulah.”
Fiera tersenyum. Sedih sebenarnya karena naskahnya gagal naik cetak. “Tidak apa-apa. Mungkin di lain kesempatan kita bisa bekerja sama dengan karya saya yang lain.”
“Tentu saja, kirimkan langsung ke email saya jika memang kamu punya naskah lain yang ingin terbit.”
Pembicaraan itu berlangsung tidak terlalu lama. Joko juga tidak dapat mengusahakan lagi karena Abimanyu tetap dengan pendiriannya untuk merevisi total naskah milik Pena Rindu. Sayangnya, pria itu tidak tahu jika naskah yang ditolaknya adalah naskah milik Infiera.
Setelah bertemu dengan Joko bergegas menuju toko buku untuk membeli beberapa buku yang dibutuhkan untuk tugas-tugas kuliahnya. Dua juga sudah lama tidak membeli novel baru lagi. Selama ini, buku yang dibacanya hanya menyangkut mata kuliahnya saja.
Setelah membeli beberapa buku. Fiera memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Pagi tadi, dia berangkat sangat pagi, hingga tidak sempat mencuci pakaian.
Saat sampai, Fiera tidak melihat mobil Abimanyu, itu artinya suaminya belum pulang. Fiera mengganti pakaian dan bergegas menuju ke ruang mencuci. Dia mengerutkan kening karena ternyata keranjang cucian sudah kosong. Mungkin, lagi-lagi Abimanyu yang mencucinya. Terserahlah, Fiera sama sekali tidak peduli dengan hal itu.
Dia melangkah menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil apel dan jeruk untuk dibawa ke kamarnya.
Tidak buruk juga dengan kebiasaan Abimanyu. Fiera jadi terbawa untuk memakannya. Ya, walau di luar dia masih makan sembarangan.
Fiera masuk ke dalam kamar, dia masih berpikir jika Abimanyu belum. Jadi, bisa bersantai—berlalu-lalang di dalam rumah, tanpa harus khawatir akan berpapasan dengan suaminya.
Setelah mandi, Fiera mendapatkan telepon dari ibu mertuanya karena beliau tidak bisa menghubungi Abimanyu.
“Tapi, Mas Abi belum pulang, Bu.” Fiera melirik jam di dinding kamarnya. Sudah pukul sembilang. Tumben, pikirnya.
Belakangan, Abimanyu memang sering pulang lebih awal. Bahkan, dia sudah lebih sering pulang saat sore hari.
“Aduh, anak itu. Padahal, ibu mau nanyain soal liburnya.”
“Libur?”
“Iya, bukannya kamu sebentar lagi akan libur semester? Ibu mau kalian pulang ke Palembang setelah kamu dari Bandung. Hanya untuk tiga hari saja. Sepupunya Abimanyu mau nikah.”
Fiera terdiam. Sejujurnya, dia belum siap. Bukan tidak mau, tapi membayangkan pergi bersama dengan Abimanyu dalam hubungan mereka seperti bukan hal yang bagus.
“Emm... nanti Fiera coba tanyakan sama Mas Abi, ya, Bu.”
“Memangnya ke mana dia malam-malam begini belum pulang? Ibu telepon juga tidak diangkat.”
“Itu....” Aku juga tidak tahu.
Selama ini, Abimanyu tidak pernah memberi tahu aktivitasnya selain menjadi dosen.
“Ya sudah, nanti kamu sampaikan saja, ya, kalau Agung, sepupunya akan menikah.”
“Baik, Bu.”
Setelah panggilan berakhir, Fiera keluar dari kamar untuk melihat. Apakah Abimanyu sudah kembali atau belum. Ternyata, pria itu memang belum kembali. Mobilnya belum terlihat di parkiran rumahnya.
Fiera mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. “Mungkin, penyakit lamanya kambuh lagi.”
Fiera bergegas melangkah menuju ke ruang kerja suaminya untuk mengerjakan tugas kuliahnya seperti biasa. Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat Abimanyu yang tergeletak begitu saja di lantai ruang kerjanya.
“Mas!”