Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Perempuan?
Setibanya di kantor, Nara bergegas menuju ruangan Arjuna. Ketika pintu telah terbuka, suaminya itu sedang fokus menatap layar laptop di depannya. "Assalamu'alaikum, Mas," ucap Nara lalu kembali menutup pintu dengan rapat.
"Waalaikumsalam." Arjuna yang mendengar suara, menjawab tanpa mengangkat kepala hingga membuat Nara kesal.
"Sibuk sekali hari ini ya, Mas? Kalau sibuk, mending aku pulang ya," ancam Nara yang berhasil membuat Arjuna menutup laptop miliknya.
"Jangan! Aku tadi baru menyimpan datanya. Jadi, butuh fokus yang lebih agar tidak sampai terjadi kesalahan," jelas Arjuna yang kini beranjak dari kursi kerja menuju double sofa tempat Nara duduk.
Nara ber-oh-ria dengan kepala yang mengangguk. Ketika Arjuna sudah duduk, kening Nara berkerut dalam karena suaminya itu justru menengadahkan tangan. "Kenapa, Mas?" tanya Nara heran.
"Makan siang Mas mana, Sayang? Mas lapar loh," rengek Arjuna yang membuat Nara terkekeh pelan. Bukannya memberikan makan siang pesanan sang Suami, Nara justru menyalami dan mencium punggung tangan Arjuna.
"Sengaja aku tidak membawa makan siang pesanan, Mas. Siang ini aku ingin makan di luar. Mau ya, Mas? Sudah lama juga kita tidak pergi makan." Kini giliran Nara yang merengek bagai anak kecil yang meminta dibelikan sebuah mainan.
Arjuna terkekeh dengan tangan yang terulur menyentuh puncak kepala Nara yang tertutup hijab. Merasa gemas karena istrinya itu kini memanyunkan bibir, Arjuna pun tertawa.
"Tetap manja seperti ini ya? Jangan pernah berubah walau nanti kamu akan memiliki penghasilan sendiri dari bekerja," ucap Arjuna lembut dengan mata sendu menatap Nara.
Ikut terbawa suasana, Nara pun menatap mata sang Suami. Rasanya, Nara tidak percaya jika hubungannya bersama Arjuna bisa berjalan hingga di titik ini. Titik dimana mungkin orang-orang akan memilih pergi karena cinta suami yang tak lagi sama.
Namun, Nara mampu merasakan bila cinta Arjuna tidak pernah berkurang. Yang ada, suaminya itu semakin banyak memperhatikan dirinya.
Mungkin dari keberuntungan, Nara kalah dari Nadya yang kini tengah mengandung benih milik Arjuna. Tetapi, apakah Nara tak boleh merasa beruntung karena masih dicintai sedalam ini oleh Arjuna? Seorang laki-laki yang pandai menjaga perasaanya.
"Kenapa melamun?" Pertanyaan itu membuat Nara tersentak. Nara tersenyum ketika melihat wajah Arjuna sudah begitu dekat.
"Tidak ada," jawab Nara berbohong.
"Yakin?"
Nara pun mengangguk mengiyakan. "Mau makan di luar kan, Mas? Aku sudah lapar," ucap Nara lagi yang segera mendapat kecupan lembut di pelipis.
"Tentu. Kita pergi sekarang ya." Setelah itu, Nara bisa merasakan tangannya yang digenggam hangat oleh sang Suami. Lalu, tarikan pelan yang membuat Nara berdiri.
"Ayo."
...----------------...
Sore itu, Nara dan Arjuna turun dari mobil sesaat setelah mobil berhenti di teras depan rumah. Tawa canda membuat suasana sore itu terasa hangat. Melupakan jika ada satu manusia yang harus dijaga perasaanya.
Hingga sampai di dalam, perbincangan antara Nara dan Arjuna masih berlanjut. Keduanya berdebat tentang hal-hal kecil tetapi mampu menghidupkan kehangatan sampai Nadya yang melihat, merasa iri.
"Itu dulu, Mas. Jangan dibahas lagi," ucap Nara yang tertangkap indera pendengaran Nadya.
"Kenapa? Tapi, kamu terlihat cantik," puji Arjuna yang membuat Nadya seketika merasakan sesak. Dia menoleh ke samping dimana Bu Azni juga sedang menatap pasangan suami istri tersebut.
Keduanya memang sedang duduk di meja bar dan berbincang ringan. Namun, ketika mendengar deru mobil serta canda tawa dari luar, membuat obrolan keduanya terhenti.
Bu Azni berdehem dan memasang wajah sangarnya. "Ehem. Masuk rumah itu mengucap salam pada orang yang berada di dalamnya. Bukan malah mengabaikan seolah-olah kami tidak ada." Ucapan itu membuat Arjuna dan Nara seketika berhenti tertawa.
"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Nara yang lebih dulu bisa menguasai diri dari keterkejutan.
"Terlambat!" ketus Bu Azni yang hanya ditanggapi helaan napas kasar dari Nara.
"Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali," sahut Arjuna bermaksud membela Nara.
"Sudah, Mas. Tidak apa-apa. Memang aku ini selalu salah kok di mata Mama. Aku kan bukan menantu idaman Mama," ucap Nara yang entah mendapat keberanian dari mana.
Nara pikir, setelah sekian lama tidak bersitegang dengan sang Ibu Mertua, karena Nara selalu menghindari pertemuan, membuat sikap Bu Azni sedikit lebih baik padanya. Nyatanya, sikapnya masih sama.
Untuk menjaga kewarasan batinnya, Nara harus menghadapi ucapan pedas sang Ibu Mertua. Kali ini dia tidak bisa menghindar lagi. "Nah, itu kamu sadar diri. Kalau Mama sih, sudah meminta cerai sejak dulu," celetuk Bu Azni yang sama sekali tidak menyesali ucapannya tadi.
"Mama kenapa setiap kali datang selalu menyinggung Nara? Lebih baik Mama tidak perlu datang bila ujung-ujungnya ingin merusak rumah tangga anak sendiri," ucap Arjuna frustasi. Entah mengapa sikap mamanya begitu buruk kepada Nara.
"Memang itu tujuan Mama, yaitu membuat Nadya menjadi istri kamu satu-satunya," jawab Bu Azni begitu santai. Seakan Nara sedang tidak ada di sana.
"Sampai kapanpun, Nara akan tetap menjadi istriku. Mama salah jika menganggap aku akan menceraikan Nara hanya karena ada yang baru. Apa Mama lupa jika pernikahan kedua ku terjadi karena Mama? Bukan karena keinginanku sendiri?" Arjuna mempertegas status Nara di hatinya. Hingga tanpa sadar membuat Nadya kembali terluka.
Bu Azni tampak geram. Wajahnya sudah merah padam mendengar penuturan dari sang Putra. "Yakin? Kamu tidak akan berpindah hati?" tanya Bu Azni menatap Arjuna.
Kemudian, Bu Azni beralih menatap Nara. "Apa kamu seyakin itu jika cinta Arjuna masih akan tetap sama ketika Nadya melahirkan pewaris keluarga? Apa kamu yakin tidak akan tersisih?" tanya Bu Azni penuh kemenangan.
Bukannya takut, Nara justru tersenyum jumawa. "Bagaimana jika anak Nadya perempuan? Bukan laki-laki seperti yang Mama harapkan?"