Setelah gagal berjodoh dengan Ustaz Ilham, tanpa sengaja Zahra bertemu dengan pria yang bernama Rendra. Dia menolong Rendra saat dikejar seseorang, bahkan memberi tumpangan pada Rendra yang mengaku tak mempunyai tempat tinggal.
Rendra yang melihat ketulusan hati Zahra, merasa jatuh cinta. Meski dia selalu merasa kotor dan hina saat berada di dekat Zahra yang merupakan putri pertama pemilik dari pondok pesantren Al-Jannah. Karena sebenarnya Rendra adalah seorang mafia.
Apakah Zahra akan ikut terseret masuk ke dalam dunia Rendra yang gelap, atau justru Zahra lah penerang kehidupan Rendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
"Si orang yang punya 9 nyawa sudah sadar sekarang." kelakar Hendra karena memang sudah beberapa kali dia mengeluarkan peluru dari tubuh Rendra tapi dia selalu selamat dan setelah pengeluaran peluru pun Rendra masih saja terlihat bugar.
"Shits! Orang lagi kesakitan malah lo katain." Rendra berusaha menggerakkan kakinya. "Kaki gue gak bisa digerakkin. Gak lo amputasi kan?" Rendra melepas selang oksigen yang terpasang di hidungnya. "Ini apa lagi ribet banget, gue masih bisa napas."
"Pengennya aku cincang sekalian. Udah dibantu, gak pernah terima kasih malah ngatain."
Rendra menghela napas panjang sambil memijat kepalanya yang terasa pusing.
"Kamu banyak kehilangan darah, jadinya pusing. Kamu harus dirawat untuk beberapa hari. Peluru memang tidak menembus kaki kamu tapi lukanya lumayan lebar." jelas Hendra.
"Ya udah pindahin gue ke kamar lo aja."
"Nggak bisa. Udah ada yang nempati di sana. Biar kamu dipindah ke ruang rawat di sini saja. Nanti aku suruh suster spesial jaga kamu."
"Suruh perawat laki-laki saja." kata Rendra.
Hendra hanya menatap Rendra. "Tumben? Udah berubah?"
"Iya, pelan-pelan gue akan berubah. Dan gue pastiin juga ini luka tembak yang terakhir."
"Dari dulu kamu juga bilangnya kayak gitu."
Rendra menggelengkan kepalanya. "Kali ini gue serius. Berapa hari kaki gue sembuh?"
"Paling tidak selama satu minggu jangan terlalu banyak digerakkan biar cepat kering." Setelah itu Hendra membalikkan badannya. "Banyak pasien yang harus aku periksa. Biar aku panggilkan perawat laki-laki buat kamu." Kemudian dia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Rendra hanya menatap langit-langit ruangan IGD itu. Satu masalahnya untuk saat ini sudah selesai. Tinggal mencari keberadaan Zahra.
Zahra, kamu dimana? Semoga kamu baik-baik saja.
...***...
Zahra, kamu baik-baik saja kan?
Aku merindukanmu...
Suara Rendra seolah terdengar jelas di telinga Zahra. Zahra kini membuka matanya. Dia mengusap wajahnya untuk menghilangkan bayangan wajah Rendra dari kepalanya.
"Astaghfirullah, mengapa aku memimpikan Rendra lagi."
Semalam jarum infus itu sudah di lepas dari tangan Zahra agar dia bisa melakukan aktifitasnya sendiri meski badannya masih terasa lemas.
Kini perlahan Zahra bangun dan duduk di tepi ranjang. Lalu dia berdiri dan membuka tirai kamarnya. Awan masih gelap, bahkan suara adzan baru saja berkumandang.
"Gimana keadaan Rendra sekarang? Apa dia sudah keluar dari penjara? Semoga saja dia sudah keluar." Zahra menghirup udara segar sesaat lalu dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengambil wudhu.
Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamar mandi lalu menggelar sajadahnya dan memakai mukenanya. Dia melaksanakan sholat dua rakaat terlebih dahulu. Setelah selesai sholat, dia berdzikir dan berdo'a.
Beberapa saat kemudian matahari mulai menunjukkan sinarnya, ada yang mengetuk pintu kamar Zahra.
"Iya, masuk."
Hendra masuk dan tersenyum menatap Zahra yang sedang melipat mukenanya.
"Bagaimana keadaan kamu hari ini?" tanya Hendra. Di belakang Hendra ada suster yang membawa susu, roti selai, dan pisang yang tertata di atas nampan, lalu diletakkan di atas nakas.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik."
"Duduk dulu, biar aku cek tensinya." Hendra mengecek tekanan darah Zahra. "Tekanan darahnya sudah normal. Nanti aku kasih jadwal untuk mengikuti terapi. Semoga saja bisa mengurangi stadiumnya."
"Makasih Dokter."
"Iya, sama-sama." Hendra tersenyum menatap Zahra. Dia juga menginginkan Zahra cepat sembuh. "Setelah terik matahari mulai menghangat, kamu bisa berjemur di taman. Biar nanti suster yang membantu kamu."
Zahra menganggukkan kepalanya. "Makasih Dokter Hendra. Dokter sangat baik. Saya tidak tahu bagaimana saya harus membalas kebaikan Dokter."
"Tidak perlu, ini sudah menjadi tugas aku."
Tapi kalau kamu membalasnya dengan cinta akan aku terima dengan senang hati. Hendra tersenyum dalam diam. Entahlah, sejak pertama kali melihat Zahra rasanya dia jatuh cinta dengannya.
"Ya sudah, aku mau lanjut memeriksa pasien yang lainnya."
"Iya."
Kemudian Hendra keluar dari kamar Zahra.
Zahra kini meminum susu dan memakan sarapannya.
Abi, Umi, apa umi dan abi memikirkan Zahra? Mengapa Zahra tidak pernah memimpikan umi dan abi? Zahra rindu, Zahra ingin peluk umi.
Zahra menyusut air mata yang mengembun di ujung matanya. Dia hela napas panjang untuk menghilangkan rasa sesak di dada.
Setelah matahari mulai terik, suster masuk ke dalam kamar Zahra dan membantunya keluar dari kamar. Mereka kini berjalan menuju taman.
"Suster, saya bisa berjemur sendiri," kata Zahra.
"Iya, saya tinggal dulu ya."
Setelah suster itu berlalu, Zahra kini berjalan mendekati Vivi. "Pagi Vivi."
"Pagi Kak Zahra. Kak Zahra katanya kemarin mau mengaji, tapi Vivi tanya ke suster katanya gak jadi."
Zahra tersenyum menatap wajah polos Vivi. "Maaf ya, Kakak kemarin gak enak badan. Nanti sore saja ya."
"Iya Kak. Vivi udah gak sabar mau mengaji lagi."
Zahra tersenyum mendengar celoteh Vivi. Seandainya saja dia memiliki semangat seperti Vivi dan anak-anak yang lainnya.
Aku harus bisa menjadi seperti mereka. Hidup penuh dengan harapan dan semangat.
***
"Tuan Rendra apa mau jalan-jalan dan berjemur di taman?" tanya seorang perawat pada Rendra.
"Jalan? Aku kan gak boleh jalan."
Terkadang Rendra memang sangat menyebalkan. Untunglah perawat itu sangat sabar menghadapi Rendra yang sedang labil karena ruang geraknya terbatas.
"Bisa duduk di kursi roda nanti saya dorong."
"Ya sudah, aku juga bosan di kamar terus."
Perawat itu membantu Rendra duduk lalu berpindah ke kursi roda.
"Aku udah kayak orang jompo aja." gerutu Rendra saat perawat itu mulai mendorong Rendra keluar dari ruangan.
Perawat itu hanya tersenyum kecil. Sebenarnya dia ingin tertawa dengan keras tapi dia tahan, takut tuannya marah. "Tidak apa-apa, untuk sementara tuan harus seperti ini agar lukanya cepat sembuh."
"Iya, iya." Rendra menyangga dagunya sambil menatap taman. Banyak anak-anak yang berjemur di sana, dan ada beberapa orang dewasa.
Akhirnya rumah kanker ini berjalan dan semakin banyak pengguna. Semoga semakin bermanfaat untuk mereka yang sedang membutuhkan harapan untuk hidup.
Rendra menghela napas panjang. Terik matahari kini mulai menghangatkan tubuhnya.
Aku tahu persis bagaimana para penderita kanker itu berjuang. Zahra, kamu dimana? Aku ingin sekali membantu kamu berjuang melawan sakit kamu.
Rendra kini menoleh ke sisi kiri. Lalu dia tersenyum kecil.
Bahkan bayangan Zahra pun terlihat nyata.
Rendra kembali meluruskan pandangannya tapi sedetik kemudian dia meluruskan pandangannya lagi.
Tidak, itu nyata bukan hanya bayangan.
"Zahra," Rendra ingin memastikannya. Benarkah itu Zahra yang sedang mengobrol sambil tersenyum dengan seorang anak. "Bawa aku ke sana!"
"Baik Tuan."
Rendra semakin melihat Zahra dengan jelas. Wajah dan senyuman itu, benar-benar Zahra.
"Zahra..."
💞💞💞
.
Like dan komen ya...
jgn lama2
critanya bnyk bngt cobaan nya