"Hiks ... El pengen mommy, hiks ... tapi El nda mau dipukul lagi mommy." ~Elbert Leon Wesley.
"Apakah aku bermimpi? Bagaimana bisa wanita itu dekat dengan Elbert? Apakah dia hanya ingin menarik perhatianku?" ~Alden Leon Wesley.
"Alden, aku tidak lagi mengharapkan cintamu. Tetapi, bisakah kau memberi Elbert figur seorang ayah? aku tidak akan mengganggumu dengan istri tercintamu itu. Namun, satu hal yang aku minta dari mu, tolong luangkan waktu untuk anakku. Anggaplah Ini permintaan ku sebagai seorang ibu," ~Arianha Amora Miller.
***
Menceritakan tentang Keisya Amora yang bertransmigrasi kedalam cerita novel yang semalam dia baca. Jiwanya memasuki tubuh
Arianha Amora, seorang Antagonis novel yang berperan sebagai ibu dari Elbert dan istri kedua dari Alden Leon Wesley.
Apakah Keisya mampu untuk menjadi figur seorang ibu yang baik untuk Elbert? dan mampukah Keisya membuat Alden mencintainya?
PERINGATAN !
BIJAKLAH DALAM MEMBACA CERITA! INI HANYA CERITA FIKSI BUKAN KENYATAAN, HANYA KHAYALAN DARI AUTHOR BUKAN BENERAN OK!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hemofilia
Di sebuah lemari menjadi tempat persembunyian bagi seorang bocah. Dia tengah bersembunyi dari sang mommy lantaran tak ingin di obati. Bahkan dia tak tahu kamar siapa yang saat ini dia tempati.
Cklek.
Pintu terbuka dan nampaklah seorang anak perempuan yang memasuki kamarnya, ternyata kamar tersebut adalah kamar Aqila.
Aqila berjalan ke meja belajarnya, dia berniat akan belajar. Namun, saat dirinya tengah fokus untuk belajar dirinya dikagetkan oleh pintu yang terbuka dengan cukup kasar.
"Aqila! apa-apaan kamu hah! seharusnya kamu itu mengambil hati papa kamu, memangnya kamu mau anak itu mengambil semua perhatian papamu? kenapa kau malah akrab dengan wanita itu! wanita itu dan anaknya telah merebut papamu dari kita!" teriak Luna saat memasuki kamar Aqila.
Aqila yang tengah fokus belajar menatap sang mama dengan raut wajah takut. Dia bangkit dari duduknya saat sang mama menariknya dengan kasar.
"Ashh ... sakit mama hiks ...," ringis Aqila.
Bocah yang tadinya sedang bersembunyi di dalam lemari ketakutan saat melihat kemarahan Luna terhadap Aqila. Bayangan tentang dirinya yang dulu juga di perlakukan oleh Amora terbayang di kepalanya.
"El takut hiks ... dangan takit hiks ...." gumam anak itu sambil memejamkan matanya.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, bocah mungil itu adalah Elbert. Saat main di taman dirinya terjatuh yang mana menyebabkan lututnya mengeluarkan darah. Amora yang panik langsung bergegas mengambil kotak obat untuk mengobati luka Elbert.
Namun, anak itu malah pergi entah kemana dengan lutut yang masih mengeluarkan darah. Anak itu tidak mau di obati lantaran takut perih.
"Ampun mama hiks ... aw sakit mama hiks ...," tangis Aqila.
Luna menghempaskan tangan kecil putrinya, entah kemana sisi lembutnya seorang ibu pada putrinya. Aqila harus menerima pelampiasan karena sang mama yang di acuhkan oleh sang papa.
"Dengar ini Qila! mama melahirkan mu dengan tujuan agar kamu bisa membantu mama mendapatkan hati papamu, jika kau tidak bisa mama gunakan ... Lebih baik mama membuangmu! apa kau mau mama taruh di panti asuhan hah!" ancam Luna sambil mengapit dagu sang anak.
Aqila menggeleng ribut, kesakitan yang Luna berikan tak sesakit hatinya saat sang ibu berkata ingin membuangnya. Apakah dia hanya sebagai alat untuk kebahagiaan sang ibu?
"Hiks ... sakit mama hiks ...,"
Luna menghempaskan dagu putrinya dengan kasar, terlihat bekas jarinya yang berada di pipi sang putri.
Luna meninggalkan kamar itu dengan amarah yang masih meluap, dia membanting pintu kamar dengan kasar yang mana sontak membuat Aqila terkejut.
Tubuh aqila luruh, kesakitan dan kepedihan yang dia alami harus dia sembunyikan dari sang papa. Selama ini keluarga harmonis hanya topeng untuk menutupi perilaku sang mama terhadap dirinya.
"Hiks ... dangan takit hiks ...,"
Tangis Aqila terhenti, dia mencari asal suara isakan tersebut. Dengan perlahan dia bangkit dan mendekat ke tempat yang menjadi asal isakan itu.
Tangannya terulur untuk membuka kemari, filingnya mengatakan bahwa isakan tersebut berasal dari lemarinya. Dengan perlahan dia membuka lemari itu, dan betapa terkejutnya dia melihat Elbert yang menangis sambil menjambaki rambutnya.
"Kau, kau kenapa hah!" kejut Aqila.
Aqila berusaha mengeluarkan Elbert dari lemarinya walaupun sulit dikarenakan badan Elbert yang gemuk. Netranya menangkap darah yang masih mengalir dari lutut anak itu.
"Astaga!" histeris Aqila.
Tanpa Aqila duga Elbert memelukanya dengan erat. Suara isakan tangisan Elbert masih terdengar.
"Hiks ... dangan hiks ... El takut hiks ...," gumam anak itu.
Aqila mengelus punggung kecil Elbert, dia bingung harus apa. ketakutannya melihat darah membuat dirinya bingung harus bagaimana.
"Elbert! kemarilah jangan bersembunyi, mommy harus cepat mengobati lukamu!" teriak Amora dari luar kamar.
Aqila yang mendengar suara Amora segera berteriak.
"TANTE! ELBERT ADA DISINI?" teriak Aqila walaupun dengan suara bergetar menahan tangis.
Cklek.
Amora membuka pintu kamar Aqila, netranya membulat sempurna ketika melihat lutut sang putra yang terus mengeluarkan darah. Bahkan lantai itu sudah terkena darah Elbert.
"Elbert!" sentak Amora sambil menghampiri putranya.
Amora melepaskan pelukan sang putra pada Aqila, dia langsung menggendong anak itu dan membawanya keluar.
Aqila hanya menatap darah yang berada di kemari, lantai dan dress yang ia pakai. Ketakutannya pada darah membuat Aqila tak berani menyentuhnya.
"Aku harus bagaimana," gumamnya.
Sementara Amora tengah berlari menuju mobil yang terparkir tepat di depan mansion, dia akan segera membawa Elbert kerumah sakit karena dia pikir luka Elbert cukup dalam.
"Nyonya! anda mau kemana?" tanya Erwin yang berniat akan masuk ke dalam mansion, akan tetapi dia melihat nyonyanya yang berlari dengan gelisah.
"Kau, tolong hubungi Alden untuk menyusulku ke rumah sakit hiks ... darah Elbert tak mau berhenti keluar, aku harus segera membawanya ke rumah sakit," pinta Amora.
Erwin mengangguk, dia mengantar sang nyonya sampai masuk ke dalam mobil. Dia memerintahkan sang supir untuk membawa majikannya ke rumah sakit Wesley.
Erwin melakukan apa yang Amora perintahkan, dia mengambil ponselnya dan segera menelpon Alden. Namun, beberapa kali dia menelpon ponsel Alden selalu saja sibuk dan berakhir tidak aktif.
"Bagaimana ini, tuan tidak bisa juga di hubungi," gumam Erwin.
Erwin berinisiatif untuk menelpon Jonathan. Setelah sambungan terhubung Erwin langsung berbicara.
"Halo,"
"Halo tuan, maaf menganggu waktu anda. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa tuan muda kecil dilarikan ke rumah sakit, saya tidak tahu kejadian detailnya. Namun, luka yang berasal dari lututnya terus mengeluarkan darah," jelas Erwin.
Erwin pastikan bahwa saat ini Jonathan tengah terkejut, bagaimana tidak? terdengar suara perintah dan barang yang jatuh.
"Apakah Alden sudah menyusul?" tanya Jonathan.
"Ponselnya tidak aktif tuan, saya sudah beberapa kali menghubunginya. Akan tetapi ponsel tuan Alden selalu sibuk dan berakhir tidak aktif," jelas Erwin.
Jonathan mematikan telponnya secara sepihak, Erwin sudah menduga hal itu akan terjadi. Dia akan beranjak untuk menyusul sang nyonya, akan tetapi dirinya di halangi oleh Luna.
"Tadi aku dengar bahwa anak pelakor itu dilarikan ke rumah sakit apa benar?" tanya Luna .
Raut wajah Erwin berubah, dia tak menyukai kata yang istri pertama tuannya itu lontarkan. jika saja dirinya bisa berkata kasar, sudah pasti dirinya akan mengatai wanita di depannya ini.
"Sadarlah nyonya, jika dia pelakor lalu kau apa? wanita yang kau sebut pelakor telah menjaga kehormatannya untuk suaminya, akan tetapi kau ... kau menjual kehormatanmu demi uang? sangat miris," sindir Erwin.
Wajah Luna memerah, dia menatap nyalang ke arah Erwin.
"Aku masih majikanmu Erwin! aku bisa bilang kepada suamiku untuk memecatmu sekarang juga!" sombong Luna.
Erwin tertawa, dia menatap wanita itu dengan wajah datar Andalannya.
"Oh ya, bagaimana kalau kaulah yang akan di ceraikan oleh tuan Alden? ingat ini nyonya, tuan Alden lebih membutuhkanku untuk menjaga keluarga kecilnya dibandingkan anda yang sangat merugikan," ucap Erwin.
"Kau!" tunjuk Luna, dia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Erwin.
Dengan santai Erwin menurunkan jari Luna, dia mengeluarkan lap dari saku jasnya.
"Ishh, tak usah menunjukku dengan tangan kotormu nyonya. Kau tahukan hama? orang akan memusnahkan hama jika di anggap pengganggu, dan kau seperti hama di dalam keluarga Wesley." ujar Erwin sambil membersihkan tangannya yang tadi dia gunakan untuk menurunkan jari Luna.
Luna pergi dari hadapan Erwin dengan kesal. Sementara Erwin tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah Luna yang marah.
"Selama ini aku berharap agar tuan Alden terlepas dari jeratanmu, dan aku tak menyangka bahwa apa yang ku inginkan akan segera menjadi kenyataan," gumamnya.
Erwin beranjak dari sana, dia melemparkan lap itu sembarangan. Dia memasang kembali earphonenya yang tadi sempat ia buka.
"Aku akan ke rumah sakit, tolong kau gantikan aku untuk menghandle mansion," ucapnya pada salah satu bodyguard yang berdiri di sana.
Erwin memasuki mobil, dia berniat akan menyetir mobik itu sendiri. Mobil yang Erwin kendarai berjalan menjauhi mansion.
Sementara itu, Amora sudah sampai di rumah sakit. Sang supir membantu Amora untuk menggendong Elbert dan membawanya masuk ke dalam rumah sakit.
Sesampainya di ruang UGD, Elbert mendapat penanganan. Sementara Amora menunggu bersama supir yang berada di sebelahnya.
Tap!
Tap!
Tap!
Bunyi suara ketukan menggema di lorong tersebut. Sang supir yang menyadari kedatangan orang tersebut langsung berdiri.
"Bagaimana keadaan Elbert?" tanyanya.
"Maaf tuan besar, dokter yang menangani tuan kecil belum keluar. Tapi, saat kami sampai disini keadaan tuan Elbert sudah parah, tubuhnya membiru dan itu membuat nyonya panik." jelas sang supir.
Orang tersebut adalah Jonathan. saat dirinya tengah meeting, dia mendapat kabar bahwa cucunya di larikan ke rumah sakit. Jonathan langsung membatalkan meetingnya dan segera pergi ke rumah sakit tanpa Jeslyn. Karena Jonathan tak memberitahukan hal tersebut pada istrinya.
"Lebih baik kau pulang, biar aku yang menjaga menantuku," titah Jonathan.
Supir tersebut langsung berpamitan pulang, sementara Jonathan duduk di samping menantunya yang tengah menangis.
"Daddy," lirih Amora saat menyadari bahwa mertuanya sudah berada di sampingnya.
Jonathan memeluk menantunya guna menguatkan, dia tahu bahwa Amora sangat mengkhawatirkan keadaan Elbert.
"Tenanglah, kita berdoa saja mudah-mudahan Elbert tidak apa-apa," bujuk Jonathan.
Amora melepaskan pelukan mereka, netranya menatap Jonathan dengan sedih.
"Tubuh Elbert membiru dad hiks ... bahkan darahnya tak juga berhenti itu yang membuatku takut," isak Amora.
Jonathan tertegun mendengar penuturan Amora, dia mengingat hal yang Amora katakan.
"Darahnya sulit berhenti?" tanya Jonathan dengan pelan.
Amora mengangguk, dia menutupi wajahnya saat mengingat kembali keadaan sang putra.
"Oh tidak," lirih Jonathan.
Cklek.
Pintu ruangan UGD terbuka, dokter yang menangani Elbert keluar dengan wajah lelahnya.
"Keluarga pasien?" tanya dokter ketika melihat Amora dan jonathan menghampirinya.
"Dia anak saya dok, gimana keadaannya?" tanya Amora dengan suara yang bergetar.
"Apakah nyonya pemilik darah o resus negatif? pasien harus melakukan transfusi darah, dan darah ini sangat langka. rumah sakit juha tak menyediakannya," terang sang dokter.
Amora merasa bingung, anaknya kekurangan darah? Amora pun tak sadar akan hal itu, dia seorang perawat, akan tetapi Amora telat menyadarinya dan lagi dia tidak tahu golongan darah pemilik tubuh ini.
"Dok, apakah cucu saya terkena Hemofilia?" tanya Jonathan dengan ragu untuk memastikan kecurigaannya.
Dokter tersebut mengangguk pasti yang mana membuat tubuh Amora melemas. Dia mengetahui penyakit Hemofilia, yaitu Darah yang sukar membeku. Putranya memiliki penyakit itu di umurnya yang masih tergolong kecil.
"Dad, anakku?" lirih Amora.
"Maaf, daddy tak memberitahumu bahwa sebenarnya Alden memiliki penyakit itu dan menurun ke Elbert. kau ingat saat Alden koma? dia membutuhkan darah dan untung saja rumah sakit memilikinya, tapi untuk Elbert saat ini yang kita butuhkan adalah orang yang memiliki golongan darah yang sama dengan Elbert."
Amora segera mengambil ponselnya yang berada di saku bajunya, dengan lihai dia memainkan ponsel tersebut.
Amora berusaha menghubungi Alden, akan tetapi ponsel suaminya sedang tidak aktif. Amora sangat kesal, nyawa anaknya sedang dalam bahaya. Akan tetapi suaminya susah untuk di hubungi.
"Hiks ... dad, ponsel Alden tak aktif hiks ... siapa yang akan mendonorkannya hiks?" ucapnya dengan histeris.
"Ada dua orang yang memiliki darah itu, yaitu mommy dan seseorang. Akan tetapi mommy memiliki riwayat darah rendah, dan Selain itu orang tersebut ... kita tidak tahu apakah dia akan mendonorkannya atau tidak," ucap Jonathan.
Amora menghapus air matanya dengan kasar, dia menatap sang daddy dengan antusias.
"Siapa satu nya dad! minta dia untuk membantu Elbert!" pinta Amora.
Raut wajah Jonathan berubah sendu, dia tak tahu apakah orang yang dia maksud akan mendonorkannya untuk cucunya atau tidak. Karena mereka memiliki permasalahan yang kurang baik.
"Dia ... dia anak pertama ibu mertuamu dari mantan suami pertamanya," lirih Jonathan