Sebuah permintaan mengejutkan dari Maria, mama Paramitha yang sedang sakit untuk menikahi Elang, kakak kandungnya yang tinggal di London membuat keduanya menjerit histeris. Bagaimana bisa seorang ibu menyuruh sesama saudara untuk menikah? padahal ini bukan jaman nabi Adam dan Hawa yang terpaksa menikahkan anak-anak kandung mereka karena tidak ada jodoh yang lain. Apa yang bisa kakak beradik itu dilakukan jika Abimanyu, sang papa juga mendukung penuh kemauan istrinya? Siapa juga yang harus dipercaya oleh Mitha tentang statusnya? kedua orang tuanya ataukah Elang yang selalu mengatakan jika dirinya adalah anak haram.
Mampukah Elang dan Mitha bertahan dalam pernikahan untuk mewujudkan bayangan dan angan-angan kedua orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sushanty areta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji
Mitha mendorong kursi roda Maria ke kamarnya sesaat setelah mamanya itu menyelesaikan makan siangnya yang tak seberapa. Tak lupa, Mitha memintanya meminum obatnya meski berulang kali Maria menolaknya. Tapi Mitha tetap membujuknya hingga sang mama menurut dan mengajak ke kamar untuk istirahat setelahnya.
"Mith, udah tinggalin mama. Kamu istirahat sana! mama nggak apa-apa kok."
"Nanti saja kalau mama sudah tidur. Lagian Mitha juga lagi nyeleseiin tugas kuliah kok ma. Bete kalau sendirian di kamar." sanggah Mitha. Dia memang menyelesaikan tugas online, tapi alasan sebenarnya adalah menjaga Maria agar tidak terlalu sedih. Pasti mamanya merasa bersalah pada papa Abi yang terlihat amat tersinggung atas permintaanya tadi.
"Ya sudah. Nanti jangan lupa bilang pada papamu agar segera nyusul mama istirahat kalau sudah selesai makan." Istri yang hebat. Bahkan saat dirinya sakit keras seperti sekarang, mamanya masih amat sangat memperhatikan papanya. Tubuhnya mungkin lemah, tapi tidak pada tanggung jawabnya.
"Apa mama tidak kangen opa?"
"Tiap hari juga mama video call sama opa."
"Maksudnya nggak ingin ketemu opa gitu?" telisik Mitha heran. Mamanya sedang sakit keras, tapi tidak ada niat mengunjungi papanya, atau sebaliknya.
"Nanti jika saatnya tiba ..mama akan datang pada opa dan meminta tempat dihatinya." ucap Maria dengan wajah menerawang. Hampir setahun tidak mengunjungi papanya sudah cukup membuatnya rindu. Tapi dia juga seorang istri yang tidak bisa meninggalkan kewajibannya begitu saja.
"Bukannya opa meminta mama kesana untuk berobat juga? Kenapa tidak dicoba ma?" desak Mitha penuh harap.
"Mith, ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita lawan karena sudah merupakan ketentuan Tuhan. Hidup, mati, rejeki dan jodoh. Mau kemanapun kita pergi, jika waktu kita sudah usai...maka kematian akan tetap datang menghampiri. Demikian pula dengan jodoh dan rejeki. Mereka tidak pernah tertukar."
"Tapi kita juga wajib berusaha, ma."
"Ya."
"kenapa...."
"Nak, kematian hanya sebuah perpisahan sebuah nyawa dengan raganya. Jiwa kita akan tetap kekal di alam barzah hingga kiamat tiba. Kenapa kita jadi tidak ikhlas dan kufur pada nikmat Tuhan? yang hidup pasti akan mati, tinggal menunggu giliran bukan? mama sudah sangat ikhlas untuk pergi." Mitha menatap nanar sang mama yang benar-benar terlihat sangat tegar. Tak ada kesedihan disana. Senyum itu juga selalu terkembang sempurna diantara bekas kemo yang merontokkan rambutnya, mengeriputkan kulitnya hingga serasa terbakar karenanya. Tapi dia tetap tegar tanpa keluhan. Semua juga pasti tau ...dia sangat sakit. Air mata Mitha menetes tanpa jeda. Kesedihan itu kembali meraja. Tangan Maria mengusapnya penuh kasih.
"Berjanjilah pada mama untuk tetap berada di sisi Elang nak. Jangan pernah berpisah darinya walau apapun yang akan terjadi nantinya." Mitha termangu dalam diam, bagaimana dia bisa berjanji jika tidak yakin bisa menepatinya?
"Mith?? Mitha maukan mama bahagia?" Kali ini hanya anggukan kecil darinya yang menyatakan iya.
"Berjanjilah nak...agar mamamu ini bahagia. Janji yang akan mama bawa hingga ke syurga." Maria menatap putrinya penuh harap, namun tak kunjung ada jawaban dari Mitha. Wanita paruh baya itu mendesah, hatinya sangat gundah.
"Kami janji, ma." seketika dua wanita itu menoleh ke arah pintu kamar yang memang tidak dikunci. Elang berdiri gagah disana masih lengkap dengan setelan kerjanya. Pria itu mendekat ke ranjang mamanya dan duduk disampingnya, memegang tangan sang mama erat dan mengecupnya. Maria tersenyum bahagia seraya mengelus kepalanya bangga.
"Kami akan tetap bersama hingga akhir hayat." Bola mata coklat terang Mitha membola. Elang, pria itu sangat mudah berjanji. Apa dia tidak pernah berpikir akibatnya? kenapa dia santai sekali saat mengucapkannya? Mitha menundukkan wajahnya kala tatapan mata mereka bertemu.
"Bukannya begitu sayang?"
Heh?? apa tadi? Sayang? hampir saja Mitha sesak nafas dan pingsan karenanya. Tatapan tajam Elang menyadarkannya akan sesuatu hal.
"I...iya kak." balas Mitha yang masih berada dalam mode bingung dan shock.
"Kak? dia itu suamimu nak." ujar Maria mengingatkan.
"Sudah tidak apa , ma. Mungkin Mitha hanya belum terbiasa saja. Nanti juga lancar sendiri." Bela Elang penuh kesabaran. Lagi-lagi senyum Maria terkembang.
"Mama lupa kalian pengantin baru." ujarnya tergelak.
"Kok sudah pulang Lang?" lanjut Maria lagi. Masih siang, tapi Elang sudah ada di rumah. Hal yang aneh. Atau mungkin bisa disebut luar biasa.
"Tiba-tiba kangen mama."
"Kangen mama apa kangen Mitha?" pancing Maria dengan senyum menggoda. Elang berdecih sebal sebelum ikut tersenyum ke arah mamanya.
"Dua-duanya." jawabnya asal namun sanggup membuat detak jantung Mitha tak beraturan. Sekilas dia menatap wajah Elang yang menatap mamanya penuh cinta. Kapan mata itu menatap begitu pada dirinya?7