Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Mengukuhkan Sejarah
Kata-katanya ada empat hal yang mendukung atas terbentuknya karakter seseorang. Yang pertama adalah warisan biologis, yang dibawa dari keluarga. Yang kedua faktor lingkungan di mana seseorang itu tinggal, yang ketiga pendidikannya, serta yang terakhir adalah pengalaman hidupnya.
Siapa yang mau terlahir hidup dalam kesulitan? Andaikan semua diberi kesempatan untuk memilih, hampir bisa dipastikan kalau tak akan ada yang akan memilih hidup menderita.
Bagaikan bintang yang hilang dijemput terang. Kesulitan datang tak pernah bilang. Bagaikan segumpal hati manusia, yang mudah goyah karena dengan prasangka.
Harusnya pagi itu Tini tak perlu menjadi promotor bagi seseorang yang mulai dianggapnya sebagai sahabat. Dijah sudah melupakan amarahnya. Mengabaikan perkataan yang kemarin sore sempat menyesakkan dadanya.
Namun, takdir selalu bergerak tanpa bisa ditebak. Tini yang biasanya bangun siang, Senin pagi pukul delapan ia sudah meregangkan tubuhnya di depan pintu.
Dijah baru saja melintas dengan kresek kecil transparan di tangannya. Tini bisa melihat sebatang tempe dibungkus daun pisang, beberapa helai kacang panjang, tiga butir telur dan pastinya sejumput cabai dan bawang yang pasti dibeli tetangganya di warung belakang.
“Tumben bangun jam segini, Tin. Biasanya agak siang,” sapa Dijah pagi itu.
“Aku juga ngira ini masih mimpi, Jah,” sahut Tini. Mereka berdua terkekeh. “Masak apa kamu?” Tini berbasa-basi seraya melirik kantong plastik Dijah.
“Masak apa aja yang bisa dibeli murah,” jawab Dijah. “Tin ....” Dijah berhenti di depan pintu kamar memandang Tini.
“Apa?” tanya Tini.
“Enggak apa-apa. Nanti aja,” sahut Dijah.
Tini menghela napas panjang. “Pergi kamu dari hadapanku. Pagi-pagi malah bikin kesel,” ujar Tini.
Dijah tertawa dan meneruskan langkahnya ke depan pintu kamar. Ia sudah melepaskan sepatu karetnya dan meletakkan belanjaan di atas meja plastik.
Di seberang kamar mereka, Boy terlihat menarik speakernya keluar. “Tin! Jadi pake ini?” Boy menunjuk speakernya.
“Mau dipakai buat apa?” tanya Tini.
“Dasar mulut berbisa. Kemarin bilang suruh ngeluarin speaker. Pagi ini ditanya untuk apa,” sungut Boy.
“Itu kamarnya. Anaknya nggak tinggal di sini. Mungkin sengaja biar nggak tau kerjaan ibunya apa. Padahal aku udah bilang ke cowokku. Status janda juga harus dipertanyakan. Kalau janda cerai, artinya jadi perempuan juga nggak becus. Tinggal ngekos biar bisa bebas.”
Pembicaraan itu terdengar jelas. Mulai dari arah tangga ulir, sampai melintasi kamar Dijah dan Tini. Dua wanita tak henti berbicara sambil menunjuk-nunjuk kamar Dijah.
Mustahil percakapan itu tak bisa didengar oleh Dijah. Pintu dan jendela kamarnya sedang terbuka. Dan Tini seperti terhipnotis mendengar percakapan itu hingga selesai. Ia baru saja melangkah ke depan pintu kamar Dijah berniat mengabari. Hatinya panas luar biasa. Hari masih pagi. Bahkan matahari belum menampakkan kilaunya. Tapi, dua mulut manusia sudah sepakat menabuh genderang perang.
Dijah berdiri di ambang pintu menatap punggung perempuan yang baru mencercanya.
“Hei, Lastri!” panggil Dijah.
“Oh, Lastri ...,” gumam Tini.
“Apa kamu?” sahut Lastri, berbalik dan melangkah mendekati Dijah. Ternyata, itu adalah hal yang ditunggunya. Tanggapan Dijah yang selama ini hanya diam tiap dipancing.
Lastri membenci janda di depannya setengah mati. Pacar yang dicintai dan dikiranya setia selama ini, ternyata diam-diam melirik perempuan lain di kos-kosan itu. Seorang janda, dengan pekerjaan tak jelas pula.
“Kamu ada masalah apa lagi denganku? Kayaknya kamu nggak seneng liat aku di sini. Iya?” tanya Dijah.
“Aku memang nggak seneng! Kenapa nggak pergi aja dari sini? Kamu nggak malu? Siapa yang mau sama janda nggak jelas kayak kamu? Ngimpi kamu kalo mikir ada laki-laki lajang tulen mau sama kamu. Pasti ujung-ujungnya manfaatin. Mending kamu baik-baik aja cari nafkah. Enggak usah banyak tingkah. Sadar statusmu! Anakmu juga pasti malu kalo tau kerjaan ibunya—”
PLAKK!!
Lastri terjajar dua langkah ke belakang karena tamparan Dijah.
“Lebih jelas, kan? Aku memang bukan janda baik-baik. Jadi aku bebas pergi dengan jantan yang belum jadi suamiku! Siapa aja! Bebas!! Aku nggak harus jaga kelakuanku. Karena, aku bukan janda baik-baik. Kalau aku janda baik, aku tetap di rumah nggak akan keluyuran. Lalu, masalahnya buat kamu APA?!” teriak Dijah.
Itu adalah pertengkaran pertama di kos-kosan kandang ayam. Suara Dijah membangunkan manusia-manusia yang masih terlelap. Pasangan-pasangan mesum yang sedang terlelap pun, ikut keluar menjulurkan kepala. Penghuni kamar yang letaknya lebih dekat, terang-terangan datang meski wajah masih berlumur corak bantal.
“Boy! Speaker!" teriak Tini. Ia buru-buru menyeberangi halaman dan menarik speaker sampai ke depan teras. “Mic-nya! Mana? Untuk apa speaker-nya kalau nggak ada mic?!” sergah Tini.
“Mau apa? Jangan sinting!” umpat Boy, tapi tetap menyerahkan sebuah mic pada Tini.
“Pertandingan ini harus adil. Ternyata itu namanya Lastri. Dia orang lama. Aku nggak mau si Dijah yang keluar dari sini. Lastri pasti banyak pendukungnya. Aturan harus ditegakkan. Enggak boleh lembek,” kata Tini.
“Cek-cek-satu-dua-dicoba. Yang nggak punya kepentingan diharapkan mundur. Kasi ruang. Jangan ada yang berani bantu. Mbak Lastri dari lantai dua baru aja ngomong, kalau yang kalah akan angkat kaki dari sini.” Tini berdiri berjinjit melihat ke arah kerumunan.
“Memangnya Lastri tadi bilang kayak gitu?” tanya Boy.
Tini menurunkan mic-nya. “Enggak ada. Aku yang bilang barusan,” sahut Tini.
“Enak banget kamu nampar aku!” pekik Lastri.
PLAKK!!
“Gimana? Itu aku tampar lagi!” kata Dijah.
Air mata menahan sakit telah meleleh ke pipi Lastri.
“Kamu bisa dilaporin ke polisi!” sergah teman Lastri memegang bahu temannya.
“Laporin! Laporin sekarang,” jawab Dijah. "Dipenjara aku malah nggak repot cari uang buat beli beras."
Lastri menghempaskan tangan temannya dari bahu dan mendorong tubuh Dijah sekuat tenaga. Tubuh Lastri tidak tegap. Tapi, wanita itu lebih tinggi dibanding Dijah. Lastri mencengkeram kaos oblong yang dikenakan Dijah dan mengayun tubuh lawannya ke samping, hingga Dijah tersandung dan jatuh terduduk.
Lastri mempergunakan saat itu untuk mendekati Dijah cepat-cepat dan mengayunkan kakinya. Dijah ternyata lebih gesit. Ia berdiri dan menghantamkan puncak kepalanya ke dagu Lastri. Seketika, wanita itu menjerit.
Tak mau melewatkan kesempatan itu, Dijah langsung menarik tangan Lastri dengan niat menjatuhkan wanita itu. Sayang, kibasan tangan Lastri sempat menghantam mulut Dijah.
Dijah mundur selangkah menyeka bibirnya. Ia menaikkan lengan kaosnya berniat menghambur ke arah Lastri. Tapi, seseorang menahan lengannya.
“Hei! Hei! Jangan pegang! Lepaskan!” teriak Tini. “Penonton harap bersabar. Ingat! Yang kalah harus keluar dari sini,” kata Tini. Ia berdiri mendekati kerumunan, menepuk sepasang tangan yang menahan lengan Dijah.
Sekilas, Tini memegang bibir Dijah yang sedikit terluka.
“Yang kalah keluar dari sini, Jah.” Tini menepuk lengan Dijah lalu mundur.
Selesai Tini mengatakan hal itu, Dijah berlari menubrukkan dirinya pada Lastri. Dua perempuan itu jatuh berdebum ke tanah. Lastri yang terkejut karena tiba-tiba diserang, mengarahkan tangannya gelagapan. Mencoba menjangkau tubuh Dijah yang bisa dijangkaunya.
Pukulan Lastri beberapa mengenai Dijah. Tapi, wanita itu bergeming. Sakit yang disebabkan Lastri tak sebanding dengan sakit hati karena anaknya ikut dihina.
Apa salahnya menjadi seorang janda? pikir Dijah. Kenapa hidup dengan menyandang status itu terasa begitu menyulitkannya? Ia dan anaknya cuma mau hidup bersama. Ia tak pernah menggoda laki-laki mana pun. Ia cukup tahu diri untuk itu.
Air mata Dijah meleleh, ia berhasil duduk di atas tubuh Lastri. Dan tak terasa kedua tangannya mencengkeram leher perempuan itu sekuat tenaganya. Ia bisa melihat wajah Lastri yang memerah. Kedua tangan Lastri menepuk-nepuk tangannya meminta pembebasan.
Beberapa detik yang lama, Dijah menikmati saat-saat mencengkeram leher Lastri.
“Udah! Udah! Udah!” Mak Robin meraih lengan Dijah dan mengangkat tubuh wanita itu untuk berdiri.
Lastri terbatuk-batuk dan dibantu berdiri oleh tiga orang penonton.
“Pemenangnya adalah ... Dijah!! Ayo, Mbak Lastri. Hari ini nggak usah masuk kerja. Beres-beres pakaiannya. Ayo—ayo,” kata Tini melalui mic.
“Dijah!” seru Mak Robin.
“Eh, ya, Mak?” Dijah memandang Mak Robin dengan raut wajah biasa saja. Seperti tersadar akan sesuatu, Dijah melongok ke arah Tini.
“Aku menang, Tin?” tanya Dijah. Rambutnya acak-acakan dan bibirnya terluka. Tapi, hatinya terasa lebih ringan.
“Aku udah ngomong pake mic tadi,” kata Tini. “Boy! Puter lagu Gula-gula! Satu lagu untuk mengiringi kepergian Mbak Lastri,” ucap Tini melalui mic.
To Be Continued
Ayo ... likenya jangan lupa ya.
Siapa Dijah? Kenapa Dijah banyak disebut?
Buat yang belum baca PENGAKUAN DIJAH, Dijah adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari metamorfosa kehidupan seorang Tini.