Soal keturunan memang kerap menjadi perdebatan dalam rumah tangga. Seperti yang terjadi dalam rumah tangga Hana.
Hubungan yang sudah dibangun selama 10 tahun, tiba-tiba hancur lebur dalam satu malam, saat suaminya mengatakan dia sudah menikahi wanita lain dengan alasan keinginan sang mertua yang terus mendesaknya untuk memiliki keturunan.
"Jangan pilih antara aku dan dia. Karena aku bukan pilihan." -Hana Rahmania.
"Kalau begitu mulai detik ini, aku Heri Hermawan, telah menjatuhkan talak kepadamu, Hana Rahmania, jadi mulai detik ini kamu bukan istriku lagi." -Heri Hermawan.
Namun, bagaimana jika setelah kata talak itu jatuh, ternyata Hana mendapati dirinya sedang berbadan dua? Akankah dia jujur pada Heri dan memohon untuk kembali demi anak yang dikandung atau justru sebaliknya?
Jangan lupa follow akun sosmed ngothor
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
salam anu 👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Berdebat
Selama makan malam berlangsung wajah Heri terlihat sangat lesu. Setelah mendengar tawaran dari bosnya, dia jadi tak bersemangat, bahkan begitu bingung untuk memilih. Sampai dia tak sadar sedari tadi dia hanya mengacak-acak makanan menggunakan sendok.
"Her, makan yang benar!" seru Mamah Saras menatap tak suka. Akan tetapi Heri masih tak dengar, dia terus saja melamun sampai Mayang menyenggol lengannya.
Heri berdecak dan hampir saja mengomel, tapi Mamah Saras lebih dulu angkat bicara. "Kamu kenapa dari tadi ngelamun terus? Bukannya makan malah dimainin begitu."
"Ada masalah di kerjaan," jawab Heri dengan wajah yang makin kecut.
"Kenapa? Bosmu cerewet?" timpal Papah Aris berusaha menerka.
Heri langsung menggelengkan kepala, membuat Mayang merasa gemas sendiri karena suaminya itu sering menutup-nutupi sesuatu darinya.
"Kalo ada apa-apa bilang, Kak, jangan selalu dipendam sendiri, orang nggak akan tahu kalo Kakak cuma geleng-geleng kepala kayak gitu," ujar Mayang ikut berseru, dan entah kenapa dia jadi tak berselera untuk melanjutkan makan.
Heri menarik nafas dalam. Apa yang dikatakan istrinya benar, jadi dia tak mengelak.
"Aku dikasih dua tawaran sama Bos, turun jabatan atau pindah ke kantor cabang," papar Heri sambil mengusap wajahnya dengan gusar. "Dan kantor cabangnya itu ada di kota P. Jika aku bersedia, aku akan ditempatkan di sana selama enam bulan."
Mendengar itu seluruh keluarga kompak terperangah. Apalagi Mayang, dia tidak akan mungkin terima jika suaminya harus turun jabatan, selain gajinya akan berkurang, dia juga malu kalau suaminya tak bisa dibanggakan.
"Kok bisa sih, Kak? Kamu buat masalah apa sampe dikasih pilihan begitu?!" cerocos Mayang menyudutkan, padahal Heri sedang membutuhkan semangat dan dukungan dari orang-orang terdekatnya.
Kepala Heri terasa ingin meledak, jadi dia memijatnya dengan perlahan. Pertanyaan tak santai itu membuatnya tersinggung, hingga menjawab dengan nada yang sedikit ketus. "Mana aku tahu, selama ini aku selalu mengutamakan pekerjaan kantor. Tapi inilah yang aku dapat. Dan sekarang aku benar-benar bingung." Heri melirik ibunya, berharap wanita itu bisa memberi saran.
Memahami kerisauan putranya, Mamah Saras pun berusaha untuk mencari jalan keluar supaya tidak memberatkan Heri. Jadi dia memilih opsi yang pertama.
"Bertahan saja di perusahaan itu, jadi kamu tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota P. Lagi pula Mayang masih bekerja, kebutuhan kalian bisa tetap terpenuhi," ujar Mamah Saras yang membuat Mayang menganga.
Dia tampak tak setuju, bisa-bisanya sang mertua meminta dia untuk menghidupi suaminya. Padahal dia juga memiliki kebutuhan yang sangat banyak.
"Nggak, Mah! Buat kebutuhan hidup masa aku juga ikut nanggung? Terus fungsinya aku punya suami apa?" seru Mayang dengan menggebu.
"Mayang, itulah hakikat menikah, kalian harus saling memahami dan saling menutupi satu sama lain. Kalau Heri nggak bisa, ya itu tugas kamu sebagai istri! Lagi pula Mamah yakin nggak lama Heri pasti bakal diangkat lagi."
Suasana di meja makan terasa semakin panas, karena Mayang malah berdecak tak terima.
"Pokoknya aku nggak setuju, Mah. Lebih baik Kak Heri pindah saja ke kota P, toh cuma enam bulan 'kan?" ujarnya sambil menatap Heri dengan lekat meminta persetujuan.
"Tapi—" Heri ingin menjawab, tapi Mamah Saras lebih dulu menyambar.
"Memangnya kamu mau ikut kesana untuk mengurus suamimu?"
Mayang tertawa sinis. Tidak mungkin dia meninggalkan ibu kota dengan segudang pekerjaannya yang sudah cukup cemerlang.
"Aku juga punya aktivitas sendiri, Mah. Lagian emangnya pas Papah pergi ke laut, Mamah juga ikut ke laut? Enggak 'kan? Jadi yaudah, aku rasa nggak ada masalah kalo Kak Heri pergi tanpa aku!" cetus Mayang dengan volume suara yang makin tinggi. Baru kali ini Mayang berdebat keras dengan ibunya.
"Betul, Mah, ini juga demi kebaikan Mayang dan Heri. Masa depan mereka masih panjang, jadi manfaatkan saja tawaran yang ada, selagi itu lebih menguntungkan. Ingat, harga diri pria ada pada pekerjaannya," timpal Papah Aris berada di pihak Mayang. Bukan karena membela menantunya, tapi dia justru memiliki maksud lain. Tak ada putranya, maka dia bisa melakukan rencananya dengan leluasa.
"Tapi, Pah ...."
"CUKUP!" sentak Heri akhirnya kembali angkat bicara setelah beberapa menit diam dan mendengar perdebatan antara ibu dan istrinya. Semua orang berjengit karena terkejut, bahkan Mayang langsung menelan kembali kalimat yang sudah ada di ujung lidah.
"Inilah alasan kenapa aku diam dan tidak mau bercerita. Bukannya mendapat solusi, aku malah harus mendengar kalian mengoceh terus-menerus. Aku benar-benar jengah!" lanjutnya seraya bangkit dari kursi. Akhirnya dia meninggalkan meja makan untuk menstabilkan emosinya.
Disusul dengan Mayang yang malas untuk bersitatap dengan ibu mertuanya. Selalu saja mereka berbeda pendapat. Dia pergi ke kamar tamu, supaya tidak bertemu dengan Heri malam ini. Dan di saat dia tengah menenangkan diri, Papah Aris justru masuk tanpa mengetuk pintu.
"Papah," panggil Mayang terbata.
"Papah tahu kamu butuh teman curhat," balas pria paruh baya itu seraya mendudukkan diri tepat di samping Mayang.
***
Beberapa hari ini Hana sedang merasa tidak nafsu makan. Baru satu, dua suap, dia sudah merasa kenyang, hingga membuat tubuhnya jadi kekurangan nutrisi dan terasa lemas. Ditambah pagi ini dia melihat mobil Heri ada di ujung gang rumah kontrakannya, tapi sesuai yang Elgar bilang dia meminta pada tukang ojek untuk selalu melewati jalan yang ramai sekalipun itu macet.
Namun, Heri benar-benar tak ada kapoknya, dia terus mengikuti Hana sampai wanita itu tiba di kantor. Karena dia ingin pamit sebelum pergi ke kota P. Ya, akhirnya dia memilih tawaran tersebut demi menjaga wibawanya.
Saat Hana turun dari motor, pria itu segera menyusul. Mereka seperti berkejaran, karena Hana berjalan dengan langkah yang begitu cepat sementara Heri di belakangnya.
Belum sampai di tujuannya tangan Hana sudah ditarik. Wanita itu langsung tersentak dan melirik ke kanan dan ke kiri, dimana para karyawan sedang berlalu lalang.
"Untuk apa kamu mengikuti sampai sejauh ini, kamu sudah gila ya?!" cetus Hana seraya memutar tangannya sekuat tenaga, supaya bisa terlepas.
"Han, aku tahu kamu sudah mengurus surat cerai kita. Tapi ingat, aku tidak akan pernah menandatanganinya, jadi selama itu kamu tidak akan bisa dimiliki siapapun. Dan hari ini aku datang karena aku ingin izin pergi, aku ada tugas di luar kota," balas Heri dengan sungguh-sungguh.
Hana merasa tak habis pikir, kenapa Heri masih begitu keras ingin menyakitinya. Padahal dia sudah merelakan pria ini menikah dengan wanita pilihan ibunya.
"Her, aku sudah membantu kalian untuk bisa bersama dengan mudah. Bahkan kalian tidak perlu mendapat sanksi sosial karena bermain api di belakangku. Jadi apalagi yang kamu inginkan dariku? Sampai mana kamu ingin menghancurkanku? Kamu juga tidak perlu izin-izin lagi, itu sudah bukan hakku!" ujar Hana dengan kedua alis yang saling bertaut.
Sementara dari sudut lain, Vanya melihat perdebatan keduanya. Dia ingat siapa Heri, dan hal tersebut membuatnya benar-benar heran kenapa Hana bisa terlibat hubungan dengan para petinggi. Bahkan tidak hanya dari Meditra Group.
"Harus berapa kali aku bilang, ini bukan mauku, Hana!" tegas Heri tanpa berniat melepaskan tangan wanita itu. Bahkan dia tidak peduli pada tatapan semua orang yang melihat mereka.
"Itu jelas maumu, kamu melakukannya secara sadar. Selingkuh itu bukan khilaf, tapi karena kalian sama-sama gatal!" cetus Hana sambil mendelik. "Terserah jika kamu ingin menandatanganinya atau tidak. Yang jelas aku akan tetap cari cara untuk menceraikanmu. Ingat, Her, kali ini aku yang menceraikanmu." Lanjutnya, seraya berusaha untuk kembali melepaskan tangan Heri, tapi sebelum berhasil pria itu sudah ditarik oleh dua security.
"Apa-apaan ini?" teriak Heri tak terima dirinya diusir.
Sementara Elgar keluar dari arah yang lain untuk menghampiri Hana. Dia tidak ingin menimbulkan keributan, makanya ketika dia melihat Heri dia langsung memanggil pihak keamanan.
"Kamu nggak apa-apa, Han?" tanya Elgar melihat pergelangan tangan Hana yang memerah. Namun, bukannya menjawab wanita itu justru tak sadarkan diri dan langsung ditangkap oleh Elgar.
Wahhh Kamu cari masalah her? belum tahu saja kalau Elgar bisa menjadikanmu gembelll...blas El..bls...kamu bukan Dana yang cupu lagi, tapi kamu Elgar yang punya segala pesona dan kuasa...kamu laki2 harus bisa melindungi harga dirimu kamu El...ingat pesen ibu..jika musuhmu memukulmu satu kali, bls dengan 2 kali pukulan.
jgn gila klo nti kau tau Hana hamil sebelum cerai 😅
rasakannnn Kau Herigukgukguk