Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29: Hujan Darah Di Pagi Hari
Pagi itu mendung berat ngegantung di atas rumah kayu. Awan gelap kayak nahan sesuatu yang lebih dari sekadar hujan. Andrean berdiri di beranda, mata nggak lepas dari jalanan tanah yang basah, ngerasain hawa ganjil sejak subuh tadi.
Arman duduk di kursi rotan, cleaning senjatanya satu-satu. “Feeling gue jelek,” gumamnya pelan.
Andrean ngangguk. “Lia pasti nggak bakal diem.”
Angel keluar bawa dua cangkir kopi, salah satunya buat Andrean. Dia duduk di pinggiran, matanya juga liat ke arah jalan. “Kayla dapet kabar baru?”
“Dia lagi ngobrol sama media jam sembilan ini,” jawab Andrean. “Tapi gue rasa mereka bakal gerak sebelum semua data tersebar.”
Angel ngehela napas panjang, genggam tangannya sendiri. “Kalau mereka nyerang, kita siap kan?”
Arman ngelirik ke Andrean, yang cuma jawab dengan anggukan pelan.
Jam 09.00 - Di Dalam Rumah
Kayla duduk di depan laptop, suara dari earpiece-nya ngalir terus. “Oke, file udah diunggah. Situs whistleblower udah nyebar. Media lokal mulai naikin headline.”
Dia ngebuka satu-satu notifikasi yang masuk. Banyak pesan dari jurnalis yang minta konfirmasi lebih lanjut.
“Efeknya bakal meledak siang ini,” kata Kayla.
Reyhan, Lian, dan Anelia masih di kamar atas. Angel udah kunci pintu kamar mereka dan ngecek senjata cadangan.
Andrean berdiri di ruang tengah, pegang senjata otomatis yang Arman kasih tadi pagi. “Waktunya kita jaga rumah.”
Jam 10.15 - Serangan Pertama
Suara mesin mobil berhenti di kejauhan bikin semua orang langsung siaga. Angel liat dari jendela kecil di samping dapur. “Ada tiga mobil. Plat nomor dicopot semua.”
Arman langsung pasang scope di senapannya. “Sniper ada satu di atas mobil pertama.”
Andrean noleh ke Kayla. “Bawa anak-anak ke ruang bawah.”
Kayla nggak banyak tanya. Dia langsung buru-buru ke lantai atas, ngajak Reyhan dan dua bocil itu turun lewat tangga belakang, ke ruang bunker kecil yang mereka bangun beberapa bulan lalu.
Angel udah di posisi, pegang senjata di belakang pintu. Jantungnya deg-degan, tapi matanya tetap tenang.
Arman tembak sniper pertama. Kepalanya meledak kayak semangka jatuh dari lantai tiga.
“Tembakan pertama,” kata Arman datar.
Baku Tembak
Andrean keluar pelan lewat pintu belakang, nyelinap di semak-semak yang udah mereka tanam buat tameng alami. Dua orang anak buah Lia maju dengan senjata laras panjang, kelihatan hati-hati.
Andrean nembak satu di kepala, yang kedua ditembak Arman dari jendela atas.
Angel jaga pintu utama, nembakin siapa pun yang deket. Dua orang coba masuk, satu kena tembak di bahu, yang satu lagi kena peluru di perut, ambruk sambil teriak.
“Gue reload!” teriak Angel.
Andrean langsung maju, nutupin sambil nembak liar. Tiga orang lain mundur, salah satunya lempar granat.
“Grenade!” teriak Arman dari atas.
Andrean nyamber granat itu dan lempar balik sebelum meledak. Suara ledakan bikin kaca rumah pecah, tapi mereka selamat.
Di Dalam Rumah - Keadaan Darurat
Kayla denger semua dari headset. Dia peluk anak-anak erat di ruang bunker. “Tenang... papa kalian kuat,” bisiknya pelan.
Anelia nangis pelan, Reyhan nahan tangis sambil pegang tangan Kayla erat.
Bentrokan Semakin Gila
Arman udah turun, bawa shotgun. Dia tembakin dua orang yang berhasil masuk lewat jendela belakang. Andrean narik mayat salah satu, ngecek HP-nya. Ada pesan dari Lia: “Bawa Andrean hidup-hidup. Bunuh yang lain.”
“Dia ngincer gue,” kata Andrean ke Arman.
Angel nyaut, “Dia udah kelewatan jauh.”
Mereka bertiga mundur ke dalam rumah. Peluru makin deras nyasar ke tembok kayu. Angel kena gores di lengan, tapi dia tetap nembak sambil nahan perih.
“Gue nggak mau ada yang mati hari ini!” teriak Andrean sambil nembak tiga peluru terakhir ke arah musuh yang coba ngedorong masuk.
Momen Penentuan
Arman lempar flashbang, bikin ruangan depan rumah putih terang sejenak. Andrean keluar, habisin dua orang musuh sambil Arman nutupin dari belakang.
Mereka tau ini nggak bakal lama. Kayla di headset ngasih tau, “Helikopter kecil ngarah ke sana. Kayaknya cadangan mereka.”
Andrean noleh ke Angel, “Lo siap bawa anak-anak pergi?”
Angel matanya berkaca-kaca, tapi dia ngangguk mantap. “Gue siap.”
Kayla keluar dari bunker, siap bawa bocil lewat jalur pelarian yang mereka udah siapin sejak awal.
Arman naikin volume suara di headset, “Gue jagain belakang.”
Helikopter Tiba
Helikopter hitam hover di atas rumah. Dari dalam, empat orang turun pake tali, senjata berat di tangan.
Andrean, Arman, dan Angel bertiga ngegas nembakin mereka. Satu jatuh, dua lagi sempet turun tapi ketahan peluru dari Arman yang nembak tanpa ampun.
Angel udah bawa anak-anak ke mobil cadangan yang mereka sembunyiin di balik kebun. Kayla nyetir sambil liatin GPS, jalan pelarian aman.
Andrean dan Arman mundur, masuk ke mobil pickup butut mereka, mesinnya udah nyala.
“Waktunya cabut,” kata Andrean.
Pengejaran di Jalan Tanah
Mobil Andrean ngebut di jalan berlumpur, helikopter mulai ngejar. Arman duduk di belakang, tembakin ke arah heli buat ngusir mereka. Angel di mobil kedua, ngasih kode kalo jalanan aman.
Reyhan liat papanya dari kaca belakang, “Papa tembakin pesawat ya?”
Angel cuman senyum kecut, “Iya, Nak. Papa lagi main game berat.”
Malam Itu - Base Baru
Mereka semua akhirnya ngumpul di rumah panggung tua di pinggiran hutan. Kayla langsung ngecek luka Angel dan Arman. Andrean duduk di sudut, ngecek peluru tersisa.
“Kita menang hari ini,” kata Arman, “Tapi Lia masih hidup.”
Andrean nyalain rokok, asapnya naik pelan ke langit-langit. “Besok, kita cari dia.”
Angel peluk Andrean dari belakang. “Besok, kita habisin semuanya.”
BERSAMBUNG...