NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:107
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: OPERASI PENYELAMATAN

#

Beberapa menit sebelumnya—saat Julian masih di luar gudang, menunggu sinyal dari Adrian.

Laura duduk di kursi dengan tangan dan kaki diikat erat. Setiap tarikan napas terasa sakit—tulang rusuknya yang baru mulai sembuh kena tendang lagi sama salah satu orang Leon pas dia coba melawan tadi.

Tapi rasa sakit fisik itu gak ada apa-apanya dibanding rasa takut yang menggerogoti dadanya. Bukan takut buat dirinya sendiri—tapi takut Julian akan datang. Takut Julian akan korbanin data penting itu buat dia. Takut Julian akan terluka—atau lebih buruk—karena dia.

"Kenapa lo ngeliatin pintu terus?" tanya salah satu preman Leon, pria bertubuh besar dengan bekas luka bakar di pipi. "Lo pikir pacar lo bakal datang nyelamatin kayak di film-film?"

Laura gak jawab, cuma natap dia dengan tatapan tajam yang bikin pria itu ketawa.

"Keras kepala nih cewe," ujar pria itu, melangkah lebih dekat. Tangannya terangkat—

"Jangan sentuh dia lagi, Budi," potong Leon yang keluar dari ruangan belakang. "Kita butuh dia dalam kondisi cukup sadar untuk bikin Julian kooperatif. Kalau dia pingsan atau mati, kita kehilangan bargaining chip."

Budi mundur dengan kesal, tapi matanya masih menatap Laura dengan tatapan yang bikin Laura pengen muntah.

Leon berjongkok di depan Laura, menatap wajahnya dengan tatapan dingin. "Kamu tau gak kenapa aku benci Julian Mahardika?"

Laura gak jawab.

"Lima tahun lalu, dia dan timnya mengacaukan deal paling besar dalam hidupku," lanjut Leon, suaranya rendah dan penuh kebencian. "Aku dijanjiin bayaran setengah miliar buat kasih info tentang operasi militer mereka. Setengah miliar, kamu ngerti? Cukup buat aku pensiun di pulau pribadi. Tapi Julian—bajingan itu—entah gimana caranya, dia cium ada yang gak beres. Dia ubah semua plan last minute. Dan operasinya tetep jalan, cuma dengan jalur berbeda."

Leon berdiri, menendang kursi kosong di sampingnya dengan marah. "Orang yang aku kasih info jadi marah. Mereka bilang aku kasih info palsu. Dan karena itu, aku kehilangan bayaran. Bahkan lebih buruk—aku jadi target mereka. Aku harus sembunyi bertahun-tahun, kehilangan segalanya."

"Jadi ini semua karena lo gak dapet bayaran?" Laura akhirnya bicara, suaranya serak tapi tajam. "Lo jual informasi yang bikin dua belas orang mati, dan lo marah karena lo gak dibayar?"

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Laura, bikin kepala nya terlempar ke samping. Rasa logam darah memenuhi mulutnya.

"Tutup mulut lo!" Leon berteriak, napasnya memburu. "Lo gak ngerti apa-apa! Dua belas orang itu—itu bukan salah gue! Itu salah Julian yang gak mau ikutin plan! Kalau dia nurut, gak ada yang bakal mati!"

Laura meludah darah, lalu menatap Leon dengan tatapan yang gak bergetar meski tubuhnya gemetar ketakutan. "Lo bisa bohongin diri lo sendiri sebanyak apapun. Tapi pada akhirnya, lo pembunuh. Dan lo tau itu."

Leon hampir tampar Laura lagi, tapi suara salah satu anak buahnya dari pintu menghentikannya.

"Boss! Ada mobil datang. Kayaknya Mahardika."

Leon langsung berubah—dari marah jadi kalkulatif. Dia menatap Laura dengan senyum dingin. "Showtime."

***

Sekarang—di tengah kekacauan.

Begitu Julian tembak lampu dan menciptakan kegelapan parsial, semuanya jadi chaos. Laura gak bisa lihat jelas apa yang terjadi—cuma siluet orang-orang bertarung, bunyi tembakan, teriakan kesakitan.

Dan suara Julian—suara yang dia kenal banget—berteriak instruksi ke timnya lewat earpiece yang entah gimana caranya dia sembunyiin dari penggeledahan tadi.

Laura mencoba lepas dari ikatan di tangannya, menarik sekuat tenaga meski pergelangan tangannya terluka dan berdarah. Tali itu terlalu kenceng. Gak bisa lepas.

Lalu tiba-tiba, seseorang ada di sampingnya. Laura hampir teriak, tapi mulutnya ditutup lembut.

"Tenang, Miss Laura. Kami dari tim boss." Adrian. Laura mengenali suaranya.

Tangan terlatih Adrian cepat membuka ikatan di tangan dan kaki Laura. "Kami akan bawa Miss keluar lewat belakang. Boss lagi handle di depan—"

DUARRR!

Ledakan dari arah depan membuat seluruh gudang bergetar. Debu dan puing berjatuhan dari langit-langit.

"Sial! Mereka pasang bom!" Adrian langsung angkat Laura yang hampir jatuh karena lututnya lemas. "Kita harus keluar sekarang!"

Tapi Laura melawan, mendorong Adrian. "Julian! Julian masih di depan!"

"Boss bisa jaga diri—"

"AKU GAK MAU NINGGALIN DIA!" Laura berteriak, air matanya mulai jatuh. "Adrian, kumohon. Aku gak bisa—aku gak bisa pergi kalau dia masih di sana."

Adrian menatapnya dengan tatapan yang penuh konflik, tapi akhirnya dia mengumpat keras. "Fuck. Okay. Tapi Miss tetep di belakang gue. Gak boleh gerak sembarangan."

Mereka berlari—atau lebih tepatnya Adrian setengah nyeret Laura karena kakinya gak bisa diajak kerja sama dengan baik—menuju bagian depan gudang dimana bunyi pertarungan masih keras.

Dan pemandangan yang Laura lihat bikin napasnya tertahan.

Julian—Julian berdiri di tengah lima orang yang udah tergeletak di lantai, tubuhnya penuh luka dan darah, tapi matanya masih tajam dan fokus. Di tangannya, pistol yang dia rebut dari salah satu musuh.

Dan di depannya, Leon dengan pistol diarahin ke Julian.

"Udah berakhir, Leon," ujar Julian, suaranya dingin dan mematikan. "Kamu kalah. Anak buahmu udah pada kabur. Tim rescue udah dalam perjalanan. Kamu mau bertahan sampai mereka datang, atau kamu mau pergi sekarang selagi masih bisa?"

Leon tertawa—tertawa yang terdengar gila. "Kalah? Lo pikir aku kalah? Lo belum ngerti, Julian. Aku gak peduli menang atau kalah lagi."

Ada sesuatu di nada Leon yang bikin bulu kuduk Laura berdiri. Dia lihat mata pria itu—mata orang yang udah gak punya apa-apa lagi untuk hilang.

"Aku cuma pengen lo ngerasain apa yang aku rasain," lanjut Leon, suaranya bergetar. "Ngerasain kehilangan segalanya. Dan cara paling efektif untuk itu—"

Leon tiba-tiba putar, pistolnya gak lagi ngarah ke Julian tapi ke—

"LAURA!" Teriakan Julian menggema di seluruh gudang.

Waktu bergerak lambat. Laura lihat jari Leon mulai menarik pelatuk. Lihat Julian mulai berlari ke arahnya. Lihat Adrian mencoba tarik dia ke samping tapi terlambat.

DOR!

Bunyi tembakan memekakkan telinga.

Laura merasakan sesuatu menghantam dadanya dengan keras—tapi bukan peluru. Julian. Julian melompat, menubruk Laura dan Adrian, membawa mereka bertiga jatuh ke lantai.

Peluru melewati tepat di atas kepala mereka, mengenai dinding belakang.

Tapi momentum jatuh itu keras. Kepala Laura membentur lantai beton dengan bunyi yang bikin Adrian meringis. Dunia Laura berputar, pandangan kabur.

"Laura! Laura, lihat aku!" Suara Julian terdengar jauh, panik. "Tetap sadar. Kumohon, tetap sadar."

Laura mencoba fokus, tapi semuanya buram. Dia merasakan sesuatu hangat mengalir dari belakang kepalanya—darah, dia tau itu darah.

Ada bunyi tembakan lagi—banyak. Adrian berteriak instruksi. Bunyi orang berlarian. Tapi semua terdengar seperti dalam air, jauh dan gak jelas.

Yang jelas cuma Julian. Wajah Julian yang ada di atas dia, matanya penuh panic yang Laura gak pernah lihat sebelumnya.

"Bertahan, Laura. Ambulan udah dalam perjalanan. Kamu harus bertahan." Suara Julian bergetar, tangannya menekan sesuatu—baju yang dilipet—ke belakang kepala Laura untuk hentikan pendarahan.

"Julian," bisik Laura, tangannya terangkat dengan susah payah untuk menyentuh wajah Julian yang penuh luka. "Lo terluka—"

"Aku gak apa-apa." Julian memegang tangan Laura dengan erat, seolah takut Laura akan hilang kalau dia lepas. "Ini cuma goresan. Kamu yang—kamu kehilangan banyak darah. Kamu harus—"

"Maaf," bisik Laura, air matanya mengalir. "Maaf bikin lo khawatir. Maaf—"

"Jangan minta maaf." Julian membungkuk, dahinya menyentuh dahi Laura dengan lembut. "Jangan pernah minta maaf. Ini semua salah aku. Aku yang harusnya lindungi kamu. Aku yang—"

Suaranya pecah. Dan Laura—meski pandangannya makin kabur, meski tubuhnya makin mati rasa—merasakan sesuatu jatuh di pipinya. Air mata Julian.

Ini pertama kalinya dia lihat Julian nangis.

"Jangan ninggalin aku," bisik Julian, suaranya hancur total. "Kumohon, Laura. Kamu udah janji mau kasih aku kesempatan buktiin. Jangan pergi sebelum aku bisa buktiin apa-apa."

Laura pengen jawab. Pengen bilang dia gak akan kemana-mana. Pengen bilang dia mencintai Julian, selalu dan akan selalu.

Tapi mulutnya gak mau gerak. Tubuhnya makin berat. Dunia makin gelap.

Hal terakhir yang dia rasain adalah tangan Julian yang erat memegang tangannya, dan suara Julian yang terus memanggil namanya dengan desperate.

Lalu—

Gelap.

***

Adrian akhirnya berhasil kontak ambulan dan backup. Dalam sepuluh menit—yang terasa seperti seumur hidup buat Julian—paramedis datang dengan tandu dan peralatan medis.

"Trauma kepala parah, kehilangan banyak darah," lapor salah satu paramedis dengan cepat saat mereka memeriksa Laura. "Kita harus bawa dia ke RS sekarang. Detik-detik emas."

Mereka angkat Laura ke tandu dengan hati-hati, mulai bawa ke ambulan. Julian ikut, tangannya gak mau lepas dari tangan Laura yang udah gak merespons.

"Pak, bapak juga terluka parah. Bapak perlu—" perawat mencoba hentiin Julian.

"Aku gak akan kemana-mana selain di samping dia," potong Julian dengan nada yang gak bisa dibantah. "Rawat aku di ambulan yang sama atau gak sama sekali."

Perawat itu melirik rekannya, lalu akhirnya mengangguk. Mereka semua masuk ke ambulan—Laura di tandu utama dengan infus dan oksigen, Julian duduk di samping dengan tangan masih memegang tangan Laura, sementara perawat coba bersihkan luka di kepala dan tubuh Julian.

Ambulan melaju dengan sirine meraung keras, membelah jalanan Jakarta malam yang macet.

Dan Julian—Julian cuma duduk di sana, menatap wajah pucat Laura, merasakan sesuatu di dadanya hancur berkeping-keping setiap kali dia lihat darah yang masih merembes dari perban di kepala Laura.

"Jangan pergi," bisiknya lagi dan lagi, seperti mantra. "Kumohon, jangan pergi."

Karena Julian baru menyadari—terlambat, seperti biasa—bahwa Laura bukan cuma orang yang dia cintai.

Laura adalah alasan dia masih bisa merasa. Masih bisa hidup. Masih bisa berharap untuk masa depan yang lebih baik.

Dan kalau Laura pergi—

Julian gak tau gimana dia bisa bertahan hidup setelahnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!