Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Yang Tak Terjamah
Tiga hari sudah berlalu sejak mereka tiba di kediaman keluarga Ramadhan di Puncak. Udara pegunungan yang sejuk dan pemandangan kebun teh yang hijau seharusnya bisa menjadi latar romantis bagi sepasang suami istri. Namun, bagi Argantara dan Intan, rumah besar ini hanyalah panggung sandiwara lain dengan penonton yang berbeda.
Pagi ini, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar Kakek Fauzi yang terbuka lebar. Aroma bubur ayam dan teh melati menguar di udara.
Intan duduk di tepi ranjang, telaten menyuapi Kakek Fauzi. Senyumnya merekah tulus, matanya berbinar setiap kali Kakek Fauzi berhasil menelan satu suapan.
"Ayo, Kek, satu suap lagi. Biar cepat kuat, nanti kita jalan-jalan ke kebun teh," bujuk Intan lembut, menyeka sudut bibir kakek mertuanya dengan tisu.
Kakek Fauzi tertawa lemah, tapi matanya memancarkan kebahagiaan. "Kamu ini... persis almarhumah neneknya Arga. Cerewet kalau soal makan, tapi tangannya halus."
"Intan bukan cerewet, Kek. Intan cuma mau Kakek sehat lagi. Kalau Kakek sakit, siapa yang mau belain Intan kalau Mas Arga nakal?" canda Intan.
Kakek Fauzi terkekeh, lalu menatap Argantara yang berdiri kaku di dekat jendela. Arga mengenakan kaos santai, tangannya dimasukkan ke saku celana. Ia hanya berdiri di sana, mengamati interaksi itu seperti orang asing yang sedang menonton film keluarga.
"Dengar itu, Ga?" tegur Kakek Fauzi. "Istrimu ini emas permata. Jangan sampai kamu sia-siakan. Kalau kamu bikin dia nangis, Kakek coret nama kamu dari daftar warisan."
Arga tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Iya, Kek. Arga tahu."
"Sini, gantian," titah Kakek Fauzi. "Masa istrimu terus yang capek. Kamu suapi Kakek."
Arga mengangguk. Ia melangkah mendekat, hendak mengambil mangkuk bubur dari tangan Intan.
"Biar saya saja," ucap Arga pelan, tangannya terulur.
Namun, Intan tidak memberikan mangkuk itu. Ia bahkan tidak menatap mata Arga. Dengan gerakan halus namun tegas, ia menjauhkan mangkuk itu dari jangkauan suaminya.
"Nggak usah, Mas," tolak Intan sopan tapi dingin. "Mas Arga kan nggak biasa nyuapin orang. Nanti tumpah, Kakek malah keselek. Mas duduk aja baca koran atau bales email kerjaan. Biar saya yang urus Kakek."
Tangan Arga yang terulur menggantung di udara. Kosong.
Penolakan itu halus, dibungkus alasan logis, tapi rasanya seperti tamparan keras. Intan secara tidak langsung berkata: Kamu tidak berguna di sini.
"Intan benar, Ga," sahut Kakek Fauzi, tidak menyadari ketegangan di antara cucu-cucunya. "Tangan kamu kaku kayak robot. Biar Intan saja. Kamu temani kami ngobrol saja."
Arga menarik tangannya kembali. Ia mundur selangkah, kembali ke posisinya semula: menjadi penonton.
Ia melihat bagaimana Intan memperlakukan kakeknya dengan penuh kasih sayang. Intan memijat kaki Kakek, membacakan berita dari tablet, bahkan membantu Kakek minum obat tanpa mengeluh sedikit pun.
Di mata semua orang di rumah itu—Kakek, Mama Ratih, Papa Surya, bahkan para asisten rumah tangga—Intan adalah malaikat. Menantu idaman yang sempurna.
Tapi begitu Kakek tidur dan mereka keluar dari kamar itu, "malaikat" itu berubah menjadi patung es.
Siang harinya, Arga menemukan Intan sedang duduk di ayunan kayu di halaman belakang. Gadis itu sedang melipat baju-baju Kakek yang baru diangkat dari jemuran.
Arga memberanikan diri mendekat. Ia membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk yang baru saja dibuatkan oleh asisten rumah tangga.
"Minum dulu," Arga meletakkan nampan itu di meja kecil di samping ayunan. Ia duduk di kursi rotan di seberang Intan.
Intan tidak menoleh. Tangannya sibuk melipat sarung. "Makasih."
"Kamu... kelihatan capek," ucap Arga canggung. Ia ingin sekali memijat bahu Intan atau sekadar mengusap kepalanya, tapi ia ingat "perjanjian batas wilayah" mereka di tempat tidur. "Istirahatlah. Biar Mbak Surti yang lanjutin lipat bajunya."
"Nggak apa-apa. Ini baju kesayangan Kakek, harus dilipat rapi biar nggak kusut. Mbak Surti kadang buru-buru," jawab Intan datar.
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin menggesek dedaunan pohon cemara yang terdengar.
Arga menatap wajah samping istrinya. Ada lingkaran hitam samar di bawah mata Intan karena sering begadang menjaga Kakek.
"Intan," panggil Arga lembut.
"Hmm?"
"Terima kasih," ucap Arga. "Terima kasih sudah merawat Kakek sebaik itu. Padahal... padahal hubungan kita lagi nggak baik."
Tangan Intan berhenti bergerak. Ia meletakkan sarung yang sedang dilipatnya ke pangkuan. Perlahan, ia menoleh menatap Arga. Tatapannya tenang, tapi kosong.
"Saya melakukan ini bukan buat Mas," ucap Intan lugas. "Saya sayang sama Kakek Fauzi. Beliau satu-satunya orang di keluarga ini yang bikin saya merasa diterima tanpa syarat sejak awal. Jadi Mas nggak perlu GR. Saya nggak lagi berusaha ngambil hati Mas."
Kalimat itu menohok ulu hati Arga.
"Saya tahu," jawab Arga serak. "Tapi tetap saja... saya berhutang budi sama kamu."
Intan tertawa kecil, tawa yang hambar. "Hutang budi? Kalau gitu bayar hutangnya dengan cara jangan ganggu saya. Mas cukup diam, mainin peran suami bahagia di depan Kakek, dan biarin saya tenang."
"Intan, sampai kapan?" Arga tidak tahan lagi. Egonya mulai retak oleh rasa frustrasi. "Sampai kapan kamu mau nganggap saya musuh? Saya ada di sini. Saya berusaha bicara sama kamu. Tapi kamu bangun tembok tinggi banget."
Intan menatap lurus ke mata Arga.
"Tembok itu Mas yang bangun, ingat?" balas Intan tajam. "Mas yang bilang kita orang asing. Mas yang bilang pernikahan ini beban. Mas yang lebih milih dinner sama masa lalu Mas dibanding nanya kabar istri sendiri."
Intan berdiri, membawa tumpukan baju yang sudah rapi.
"Sekarang, giliran saya yang jaga tembok itu. Jangan harap bisa masuk lagi cuma karena Mas merasa bersalah atau kesepian sesaat."
Intan melangkah pergi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arga sendirian di halaman belakang. Jus jeruk di meja itu mencair, sama seperti harapan Arga yang perlahan meleleh menjadi keputusasaan.
Malam harinya, Kakek Fauzi sudah tertidur pulas.
Arga masuk ke kamar tidur mereka—kamar masa kecilnya. Ia melihat Intan sudah berbaring di kasur, memunggunginya. Lampu tidur temaram menyala di sudut ruangan.
Arga berjalan pelan, lalu duduk di tepi kasur. Ia menatap punggung Intan yang naik turun teratur. Ia tahu Intan belum tidur.
Arga ingin sekali berbaring di sebelahnya, memeluk tubuh mungil itu dari belakang, dan membisikkan kata maaf ribuan kali. Tapi ia tahu, satu sentuhan saja bisa membuat Intan meledak atau justru pergi dari kamar ini.
Akhirnya, Arga hanya bisa menghela napas panjang. Ia mematikan lampu utama, lalu berbaring di sisi kasur yang lain. Menjaga jarak, sesuai perjanjian.
"Selamat malam, Intan," bisik Arga pada kegelapan.
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan yang menyesakkan dada.
Di balik selimutnya, Intan membuka mata. Ada setitik air mata yang jatuh membasahi bantal. Hatinya lelah. Sangat lelah. Sebagian dirinya merindukan Arga—merindukan momen singkat saat mereka makan malam keluarga kemarin—tapi sebagian besar dirinya terlalu takut untuk terluka lagi.
Ketulusannya merawat Kakek Fauzi adalah pelariannya. Dengan sibuk mengurus orang lain, ia bisa melupakan fakta bahwa pernikahannya sendiri sedang sekarat.
Dan Argantara, sang dosen jenius itu, malam ini harus menerima kenyataan pahit: Ia bisa memecahkan rumus ekonomi tersulit sekalipun, tapi ia tidak tahu cara memecahkan kebekuan di hati istrinya sendiri.
Di rumah yang hangat ini, mereka berdua kedinginan dalam diam.
makan tuh gengsi Segede gaban😄