Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Anjani duduk di kursi belakang, sementara Jamal dengan tenang mengendalikan setir. Namun, ketenangan itu mendadak pecah ketika suara Jamal terdengar waspada.
“Bu, apakah Ibu punya musuh?” tanyanya tiba-tiba.
Anjani mengerutkan kening. “Musuh? Sepertinya tidak,” jawabnya heran. “Kenapa bertanya begitu?”
“Ada beberapa motor mengikuti kita. Sepertinya mereka mengincar mobil ini.”
“Masa sih?” Anjani menoleh ke belakang, meski pandangannya terbatas.
“Mereka sudah membuntuti sejak kita keluar dari kantor kementerian,” ucap Jamal lagi, matanya tetap fokus ke jalan.
Anjani merogoh tas dan mengangkat ponsel. “Sial, baterainya lowbat.”
“Ada lima motor dan satu mobil,” ucap Jamal cepat.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Anjani.
“Saya ini mantan sopir lintas pulau, Bu. Saya tahu kalau ada tanda-tanda bahaya.”
“Kalau gitu, bawa ke tempat ramai atau ke kantor polisi.”
Jamal terdiam sejenak. “Ibu mau tahu mereka itu begal atau orang suruhan musuh Ibu?”
Belum sempat Anjani menjawab, mobil mendadak berhenti dengan suara rem yang memekakkan.
“Kenapa, Pak?” tanya Anjani gugup.
“Ada mobil van tiba-tiba ngerem di depan.”
Anjani menoleh. Lima motor dan satu van telah mengepung. Sekitar 15 orang keluar, beberapa bersenjata tajam.
“Banyak banget… dan mereka bawa senjata. Putar balik, atau tabrak saja mereka!” seru Anjani.
“Nggak bisa, Bu. Maju atau mundur juga nggak bisa.”
“Ya Tuhan... terus kita gimana?”
Tiba-tiba terdengar suara "sretttt"—goresan di sisi mobil.
“Anjingggg!” maki Jamal, membuat Anjani terkesiap.
“Ibu, tetap di dalam mobil. Jangan keluar tanpa perintah saya!” ujar Jamal tegas. Wajahnya kini berubah dingin dan siap menghadapi bahaya.
Jamal membuka pintu mobil perlahan, matanya mengamati satu per satu pria yang mengepung mereka. Belasan orang, sebagian memegang senjata tajam, sebagian lagi hanya mengepalkan tangan, siap menyerbu. Wajah mereka penuh percaya diri, meremehkan pria paruh baya yang keluar tanpa senjata.
Namun Jamal berdiri tegak. Tatapannya berubah dingin. “Ibu, kunci pintu. Jangan keluar,” ucapnya tanpa menoleh.
Jamal keluar dari mobil dengan tenang, langkahnya mantap tanpa ragu.
“Serahkan wanita itu dan mobilnya,” gertak seorang lelaki kekar.
BUK!
Tanpa basa-basi, pukulan telak Jamal menghantam wajah pria itu. Hidungnya langsung berdarah, tubuhnya tersungkur menghantam tanah.
“Kamu cari mati!” teriak yang lain sambil mengayunkan golok ke arah Jamal.
Dengan gerakan gesit, Jamal menghindar. Tubuhnya bergerak seperti bayangan.
BUK!
Tinju keras mendarat tepat di perut penyerang itu. Seketika tubuhnya terlipat dan ambruk tak sadarkan diri. Jamal berdiri tegak, matanya dingin.
“Cepat! Serang ramai-ramai!” teriak seorang pria botak bertubuh kekar.
Sepuluh orang preman langsung maju serempak. Namun, Jamal melangkah tenang, matanya tajam, gerakannya cepat dan presisi. Dalam hitungan detik, satu per satu preman tumbang—ada yang terjungkal, ada yang meringis sambil memegangi perut atau bahu.
Anjani hanya bisa terpaku di dalam mobil, menatap tak percaya dari balik kaca. Siapa Pak Jamal sebenarnya? batinnya tak henti bertanya.
Setelah sepuluh orang itu tersungkur tak berdaya, Jamal melangkah mendekati si pria botak, lalu berjongkok tepat di depannya.
“Siapa yang menyuruh kalian?” tanyanya datar.
“Pak, sebaiknya kita tinggalkan mereka. Ini sudah bahaya,” seru Anjani dari dalam mobil.
“Sebentar, Bu. Mobil Ibu tergores. Mereka harus ganti rugi,” balas Jamal tanpa menoleh.
Anjani menarik napas panjang. Aura Jamal berubah. Dia bukan sopir biasa, itu jelas.
“Ayo, ngomong. Siapa yang nyuruh kalian?” desak Jamal lagi. Tatapannya tajam, penuh tekanan.
“Cih… siapa kamu? Sampai mati pun gue nggak akan ngomong. Ini wilayah kami!” ucap pria botak menantang.
Jamal meraih tangannya, lalu...
KRAK!
Pria itu menjerit. Jarinya dipatahkan begitu saja.
“Katakan… atau jari-jari kamu akan saya patahkan satu per satu,” ucap Jamal sambil tersenyum dingin.
Tiba-tiba ponsel si pria botak berdering. Nama di layar: Robert.
Jamal meraihnya dan mengangkat.
“Wo, gimana? Sudah selesai belum? Kok belum ada kabar?” suara Robert terdengar dari seberang.
“Kalau anak buah lu mau selamat, cepat datang ke tempat ini. Nanti gue share lock,” kata Jamal dingin.
“Siapa lu?”
Klik. Sambungan diputus.
Jamal menatap pria botak itu lagi. “Buka kodenya. Kirim share lock ke bos lu.”
“Berani lu sama Robert? Siap-siap mampus lu!” geramnya.
“Cepat kirim… atau mata lu gue colok.” Suara Jamal dingin dan mantap.
“Lu bakal mati... gue patahin semua jari lu!” balas si botak.
“Berisik. Bos gue baik hati, kalau nggak, jari lu udah gue putusin semua,” ujar Jamal santai.
Si botak akhirnya diam. Tapi tatapannya menyimpan dendam membara.
“Pak, sebaiknya kita pergi saja,” kata Anjani lagi, gelisah.
“Tunggu dulu, Bu. Ini belum selesai. Mereka bukan ngincar mobil Ibu, mereka ngincar nyawa Ibu,” jawab Jamal, kini berdiri sambil melirik sekeliling.
“Kenapa bisa begitu? Saya merasa nggak punya musuh…”
“Ibu memang orang baik. Tapi justru itu, orang baik sering kali dibenci orang iri. Jangan salah, Bu. Dunia nggak selalu adil,” kata Jamal.
Tiba-tiba suara deru mesin terdengar mendekat. Empat mobil Avanza dan beberapa motor berhenti mendadak. Belasan pria kekar keluar, sebagian bawa golok.
Anjani menegang. Napasnya memburu.
Sementara Jamal tetap tenang. Wajahnya dingin, tak gentar sedikit pun.
Si botak tersenyum puas. “Hah! Sekarang rasain lu!”
Seorang pria berjaket kulit dan berkacamata turun dari mobil paling depan. Di tangannya tergenggam golok besar.
“Punya nyawa berapa lu, ha?! Berani-beraninya mukulin anak buah gue?!” geram Robert.
Jamal menoleh pelan. Tatapannya mengunci Robert.
Begitu melihat wajah Jamal, Robert terdiam. Tangannya gemetar. Goloknya terlepas dari genggaman. Tubuhnya bergetar hebat, lalu... dia berlutut.
“Bang… maafin gue. Kirain bukan abang yang jadi target gue, bang…” suaranya bergetar saat bersujud di hadapan Jamal.
“emang bukan gue targetnya tapi bos gue” jawab jamal
Anjani melongo. Tak percaya. Begitu juga Bowo—si pria botak yang jari tangannya baru saja dipatahkan. Wajahnya kini pucat pasi.
“Bangunlah,” ucap Jamal tegas.
“Gue udah komitmen. Gue udah nggak mau balik lagi ke dunia kalian. Tapi sekarang gue kasih tahu, nyawa gue milik bos gue. Dan ini, adalah bos gue. Jangan macam-macam sama beliau. Syukur-syukur kalian ikut jagain.”
“Siap, Bang…” ucap Robert dengan suara lirih, tunduk tanpa berani menatap.
Jamal mendesah pelan. “Tapi, anak buah lu udah nyakar mobil bos gue. Lu harus tanggung jawab.”
Robert menelan ludah. “Bang… gue belum pegang uang…”
Jamal mencondongkan tubuh, lalu membisikkan sesuatu di telinga Robert.
Wajah Robert berubah. Dia mengangguk cepat, beberapa kali.
“Siap, Bang. Gue urus sekarang juga.”
Jamal melirik ke arah Anjani, lalu membuka pintu mobil. “Ayo, Bu. Sekarang kita pergi.”
Anjani masuk tanpa berkata-kata. Dalam pikirannya, hanya satu: Pak Jamal… siapa sebenarnya kamu?
“Mereka disuruh Lusi, Bu... Lusi siapa, Bu?” tanya Jamal, membuka obrolan setelah agak lama terdiam di kursi kemudi.
Anjani menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke depan. “Rupanya dia belum puas juga sama aku...” gumamnya pelan.
“Oh... musuh Ibu, ya?” tanya Jamal pelan, namun jelas terdengar nada waspada di suaranya.
“Dia wanita yang mau menikah dengan suami saya. Saya sudah gugat cerai suami saya, tapi sepertinya dia belum puas. Bahkan setelah saya pergi pun, dia tetap merasa terganggu oleh keberadaan saya.”
“Oh... rupanya begitu...” Jamal mengangguk kecil, matanya sesaat berpaling ke spion memastikan keadaan di belakang.
Anjani menoleh perlahan, menatap wajah Jamal yang tenang namun menyimpan banyak rahasia. “Pak Jamal ini sebenarnya siapa?” tanyanya pelan, tapi penuh penekanan. Sedari tadi, itu pertanyaan yang terus menggantung di kepalanya.
Cara Jamal bertarung, keberaniannya menghadapi belasan pria bersenjata, bahkan aura dinginnya saat menatap bahaya… semua itu tak seperti sopir biasa.
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...