6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23.Tak Membersamai
Pengusiran Devan secara halus membuatnya pulang dari kediaman Daddy Aksa dengan ojek online. Berharap Lala akan mencegahnya, tapi Lala malah diam saja.
"Ini beneran Lala gak cegah gua?"
Hembusan napas penuh kecewa keluar dari bibir Devan. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Namun, Lala tak ada.
Di halaman samping rumah kini tinggal Lala juga Brian. Pangeran, Tuan juga Dedek sedang membersihkan tubuh.
"Pulangnya saya anter."
Atensi Lala beralih. Brian memasang wajah yang begitu serius. Senyum yang tadi dia lihat sudah menghilang.
"Tak ada penolakan."
Berhubung Daddy Aksa tak kunjung pulang. Akhirnya, Brian pamit untuk pulang. Namun, sebelumnya dia berjanji akan datang lagi ke rumah Tuan untuk bertemu dengan sang opa.
"Oh iya, Pak Agha. Saya ijin antar Kaila pulang."
"Pasti gua ijinin," balas Agha dengan seulas senyum.
Reksa menepuk pundak Brian sebelum dia pergi. "Jaga Lala. Jangan sampai lecet."
Brian mengangguk patuh. Lala sedikit bingung biasanya dua upin Ipin itu begitu protect kepadanya.
Di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta. Brian fokus pada kemudi dan Lala sesekali menoleh ke arah pria dingin itu.
"Kenapa gak balas pesan dari saya?"
"Bukannya kamu sedang sibuk," balas Brian tanpa menoleh sedikitpun.
"Saya tidak mau mengganggu."
"Bapak salah paham," elak Lala.
"Telinga dan mata saya masih normal," jawab Brian.
"Tadi juga kamu ke rumah Gyan bersama dia kan?"
Mode pundung Brian sedikit membuat Lala kelabakan. Lengan Brian mulai Lala pegang. Mobil pun segera Brian tepikan. Matanya sudah tertuju pada Lala yang sedari tadi menunjukkan wajah sendu.
"Ijinkan saya menjelaskan."
Sebelum berbicara, Lala menarik napas cukup dalam terlebih dahulu. Menatap lamat wajah Brian dengan begitu serius.
"Bundanya Devan ngirim makanan buat saya. Dia maksa untuk makan bareng karena harus melapor kepada bundanya. Saya tidak enak."
Senyum tipis terukir di wajah Brian.
"Tidak enak," ulangnya dengan suara sinis.
"Pak--"
"Jika, kamu terus bersikap tidak enak seperti itu akan ada orang yang salah prasangka. Salah satunya saya."
Bicara Brian sudah tidak santai. Wajah seriusnya amat menyeramkan.
"SAYA CEMBURU, LA."
Tak ada basa-basi sama sekali. Brian mengungkapkan apa yang tengah dia rasakan.
"Bisakah kamu jaga jarak dengan dia? Saya tidak suka."
Sebuah anggukan membuat Brian bernapas lega. Ditariknya tangan Lala ke dalam dekapannya.
"Jangan diam kayak gini lagi. Saya takut," ucap pelan Lala dengan suara bergetar.
Brian tersenyum. Perlahan dia memundurkan tubuh. Menatap dalam wajah perempuan yang sedang dia perjuangkan.
"Makanya jangan nakal," balas Brian sembari menyentil kening Lala hingga ringisan kecil terdengar.
Mobil kembali melaju, tapi ada perkataan Lala yang membuat Brian merengut. Lala tersenyum karena wajah Brian kali ini seperti anak bayi. Lucu sekali. Ingin rasanya dia mencubit gemas bibir tipis itu.
"Paket lengkap banget gak sih nih laki?"
.
Pagi hari seperti biasa Devan sudah menunggu Lala di parkiran. Dia segera beralih menghampiri Lala ketika sudah melihat perempuan yang tengah ditunggu.
"La, ini bekal dari Bunda."
Lala melihat ke arah bekal makanan yang sudah Devan berikan. Tangan Lala sudah meraih benda berbentuk kotak tersebut.
"Kata bunda kita disuruh ma--"
"Biar gua sendiri yang hubungi Bunda. Gua duluan."
Kini, Devan membeku di parkiran dengan mata yang masih tertuju pada punggung Lala. Tak lama kemudian, pria yang semalam diagungkan oleh keluarga Lala datang. Sikap dinginnya seperti orang yang ngajak ribut. Devan hanya tersenyum tipis.
Kembali Devan menyalurkan kekesalannya pada rokok. Akbar yang baru saja datang menghela napas kasar ketika kepulan asap rokok sudah berada di udara.
"Bukannya lu ke kantin bareng Lala?"
"Dia mau hubungi bunda sendiri."
Akbar pun tertawa. Dia menatap lekat ke arah sang teman.
"Cara lu libatkan nyokap lu udah salah, Van. Ketahuan banget kalau lu itu anak mami."
Devan mulai menatap Akbar. Raut meremehkan dapat dia lihat.
"Cuma dengan cara itu gua bisa Deket sama Lala. Dia gak akan bisa nolak kalau udah menyangkut nyokap gua."
"Di situ salahnya," balas Akbar.
"Dia gak bisa nolak karena enggak enak sama nyokap. Bukan karena lu."
"Malah bisa jadi kan Lala semakin benci sama lu karena tindakan lu ini udah termasuk ke dalam tindakan pemaksaan secara halus."
Akbar berkata tanpa filter. Mengucapkan apa yang ada di pikirannya.
"Kalau gini terus, lu yang akan jadi pecundang," tekan Akbar.
Lelaki itu mengeluarkan ponsel. Dia memperlihatkan sesuatu kepada Devan..
"Nih orang saingan lu, Van," tunjuknya ke layar ponsel.
"Gua aja yang laki udah bisa nebak kalau cowok ini punya value tinggi. Walaupun fotonya di-crop atau ditempel sticker, value-nya masih tetap terpancar."
Akbar mulai menatap ke arah Devan yang hanya terdiam.
"Seenggaknya lu menyetarakan diri sama dia. Bukan malah kayak gini."
Devan menghela napas berat. Dia mematikan puntung rokok dan pergi meninggalkan Akbar. Sungguh temannya ini tak berpihak padanya. Dia mencoba menghubungi Lea, tapi suara lelaki-lah yang dia dengar.
"Ya."
Panggilan itu Devan akhiri. Sekarang benar-benar dia sendirian. Tak ada yang membersamainya.
Namun, dia tak patah arang. Dia memberanikan diri datang ke kampus Alfa. Menunggu Alfa di parkiran.
"Mau ngapain lu ke sini?" sergahnya ketika Devan sudah duduk di motor milik Alfa.
Sekarang Devan dan Alfa berada di sebuah kafe tak jauh dari kampus Alfa. Mereka duduk bersebrangan.
"Waktu gua gak banyak."
Alfa begitu dingin dan datar. Wajahnya tak bisa berpura-pura.
"Apa lu tahu kalau Lala Deket sama dosennya?" Tatapan Devan begitu serius.
"Urusannya sama lu apa?" tanya balik Alfa.
Kedua tangan Alfa sudah dilipat di depan dada. Tatapannya begitu tajam.
"Mau Lala dekat sama dosen ataupun duda sekalipun, gua gak berhak melarang," papar Alfa.
"Bahkan ketika dia dekat sama lu selama enam tahun, apa gua ngelarang?" Devan hanya terdiam.
"Padahal, gua tahu ke mana hati lu berlabuh. Tapi, gua tetap diam karena gua gak mau liat Lala sedih. Dan pada akhirnya, Lala sedih beneran karena lu."
"Al, gua cuma telat menyadari."
"Telat? Enteng banget mulut lu ngomong!" bentak Alfa.
"Kalau Lea gak nolak lu, apa lu masih bisa bilang telat?"
"Al--"
"Lu sadar gak sih? Kalau lu itu menjadikan Lala sebagai pilihan kedua. Padahal lu yang memberikan perhatian lebih hingga membuat Lala nyaman. Tapi, lu juga yang menolak perasaan yang tumbuh sedari lama di hati Lala sampai membuat Lala terluka karena lu suka sama adiknya."
"Sebenarnya, LU GAK WARAS APA TOLOL?"
Alfa sudah berdiri dari tempatnya dengan mata yang masih menatap tajam Devan.
"Satu hal lagi, nilailah diri lu sendiri. Apa masih pantas pecundang macam lu deketin Lala?"
...*** BERSAMBUNG ***...
Komen atuh komen ...
mkasih Thor Uda double up.....
semoga up lagi
semangat
ayok susul kebandung la sekalian ketemu dewa sama lea
lanjut lgi ya Thor penasaran SMA crita Lala SMA PK dosen
semangat thor
kena mental kagak tuch si Devan 😃😃😃