"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Salah Pergaulan
Sementara kehidupan Hani di desa, gadis itu semakin tidak terkendali. Dia bahkan punya teman-teman yang bisa dibilang bukan teman yang baik untuknya.
Mereka lebih tua dari Hani. Mereka itu bahkan ada yang sudah jadi jandaa tiga kali, bahkan ada yang sudah keluar masuk penjara. Sungguh bukan orang-orang yang tepat sebenarnya untuk di jadikan teman oleh Hani.
Namun meski sudah sampai berbusa mulut Murni menasehati Hani, gadis itu sama sekali tidak mau dengar.
"Hani, sudah jangan pergi bersama dengan Zaenab dan Irna lagi. Mereka itu bukan teman yang baik...."
"Terus menurut ibu, teman yang baik itu yang bagaimana? yang kayak Bu Tejo, yang ngasih sayur pakis semangkuk kecil, tapi satu desa tahu. Atau Bu mantan kepala desa yang sekarang sudah pensiun, dan terus minta ibu nyuci setrika di rumahnya tanpa bayaran?" tanya Hani kesal.
"Itu bukan maunya Bu Marta, ibu yang tidak mau di bayar. Kan dulu waktu dia masih jadi istrinya kepala desa, dia baik sekali pada kita. Baju lebaran kamu setiap tahunnya dia yang berikan nak...."
"Itu artinya ibu yang begoo! Ibu tuh ngerti hitungan gak sih? aku tahu ibu gak lulus SD, tapi paling gak ibu ngerti dong hitungan. Harga baju satu setel berapa, sih Bu? terus di beliinnya juga tiap tahun. Satu kali setahun. Paling mahal 50 ribu lah. Nah, gaji tukang cuci setrika sekarang 200 ribu Bu, sebulan. Ibu aja berarti yang begoo!"
"Hani..." lirih Murni.
"Sudah deh Bu! aku tuh capek tahu gak sama ibu yang cuma bisa nangis, cuma bisa pasrah, sakit-sakitan begini. Mendingan ibu diam di rumah, aku juga sudah kerja kan..."
"Mencuri itu bukan pekerjaan nak!" sela Murni.
Brakk
Hani memukul pintu yang ada di depannya. Murni sampai terperanjat.
"Kalau mau hidup susah, ibu sendiri aja deh. Gak usah ajak-ajak aku. Paling gak, aku tuh bisa makan enak Bu, bisa punya baju bagus, lihat nih. Aku bahkan punya handphone keluaran terbaru. Di desa ini, baru aku yang punya. Terus ibu pikir, rumah ini bisa punya dua kamar darimana uangnya? baik-baik saja kan? gak bocor juga? gak rubuh juga! Jadi ibu gak usah banyak protes, gak usah banyak ceramah juga. Mau makan, beras yang aku beli dari hasil maling! kalau gak mau terus saja makan singkong rebus andalan ibu. Atau gak usah makan sekalian! ngeselin banget sih!"
Setelah mengatakan semua itu, Hani segera keluar dari rumah itu sambil membanting pintu dengan keras.
Murni lagi-lagi hanya bisa menghela nafas dan meneteskan air mata. Dia sungguh tak bisa lagi bekerja di perkebunan, makanya dia pergi ke rumah Bu Marta, minta pekerjaan. Dia hanya minta di upah makan setiap harinya. Karena dia tidak mau menyentuh uang hasil mencuri dan perbuatan tidak baik lainnya yang saat ini di lakukan oleh Hani.
Sebuah motor dengan suara bising terasa semakin dekat dengan rumah Murni itu. Murni tahu, itu adalah Baron, pacarnya Hani.
Murni mau keluar, mau larang Murni pergi dengan Baron. Tapi mau turun dari tempat tidur saja rasanya dia sudah kepayahan.
Baron itu preman desa ini, kerjanya cuma malak uang para pedagang di pasar, para supir si terminal, dan para kuli panggul di stasiun. Bahkan beberapa kali Murni memergoki Baron bersama wanita lain. Setiap kali Murni mengatakan itu pada Hani. Hani tidak percaya, dan malah marah pada Murni.
Murni sangatlah khawatir. Apalagi gaya berpacaran mereka sudah sangat mengkhawatirkan, para tetangga mengatakan Hani sering menginap di rumah Baron. Murni sungguh cemas. Jangan sampai Hani memiliki nasib yang sama sepertinya. Setelah hamil di tinggalkan begitu saja.
**
"Yang itu, Hani. Rayu suaminya, kita bawa ke losmen. Jebak dia di sana, nanti aku masuk seperti biasa. Ingat setengah jam, kamu harus bisa buka baju suaminya!"
Baron memberikan arahan pada Hani setelah menunjuk ke arah salah satu pria yang sedang makan bersama anak dan istrinya di sebuah rumah makan paling besar di desa ini.
"Yoi, nanti aku tumpahin minuman di baju pria itu. Nanti Zaenab yang bujuk anaknya menjauh, biar istrinya nyari anaknya!" ujar Irna.
Hani mengangguk. Seperti itulah cara mereka menghasilkan uang. Kalau tidak maling, ya menipu seperti itu.
"Paham, berarti aku ke toilet ya!"
"Ya sayang! ingat setengah jam ya!" kata Baron.
"Iya sayang" jawab Hani.
Tapi saat Hani akan pergi, Baron menarik lengan gadis itu dan mencium bibirnya di dengan sangat kasar.
Zaenab dan Irna terkekeh.
"Halah" kata Irna.
Hani segera pergi.
"Loh, sebelum dicicipi sama itu bandot tua. Aku stempel dulu dong!" kata Baron terkekeh.
"Iya, iya yang bucin" kata Irna.
"Halah, bucin apanya. Kemarin Baron jalan sama anak Bu kepala desa yang baru. Sudah di ajak ke motel juga. Bucin apaan!" kata Zaenab.
"Ha ha, tahu aja!" Baron malah terkesan bangga.
Hani sudah pergi ke toilet, dan semua terjadi seperti yang sudah di rencanakan oleh Baron dan gengnya. Mereka bukan satu dua kali melakukan hal seperti ini. Bisa di bilang mereka sudah lihai.
Dan pria tua itu benar-benar pergi ke toilet. Sementara di dalam toilet, Hani sudah membuka pakaiannya dan pura-pura mencucinya.
"Eh, maaf..."
Pria tua itu langsung canggung dan segera berbalik ingin meninggalkan toilet. Tapi Hani menarik tangannya.
"Mas, di sebelah rumah makan ini ada losmen loh mas. Setengah jam itu gak lama kok. Yuk!" ajak Hani yang bersuara sangat manja merayu pria tua itu.
Jakun pria itu sudah naik turun, meski usianya baru 17 tahun. Tapi milik Hani memang berkembang dengan baik, karena memang berada di tangan yang tepat. Halahh...
Pada akhirnya Hani dan si pria yang imronnya setipis kulit ari buah salak itu pun pergi ke losmen. Semua berjalan sesuai rencana. Hani sudah membuka baju pria itu ketika Baron, dan Zaenab mengetuk pintu losmen dengan kuat.
Pria itu panik, Hani berlari ke arah pintu dan membuka pintu lalu memeluk Baron.
"Mas, tolong mas. Dia memaksaku" tangis Hani pecah, dia sungguh pandai berakting.
Pria tua itu panik, begitulah cara kerja mereka.
"Aku gak tahu, dia yang ajak..."
Baron mencengkeram kerah leher pria tua itu.
"Kurang ajar, mau ngapain adikku, kamu?"
"Tidak, aku tidak... kita damai saja" kata pria tua itu.
Baron melirik Hani dan Zaenab. Rencana mereka berhasil. Mereka akan dapat uang banyak dari pria tua itu, dan mereka bisa bersenang-senang dengan uang hasil menjebak itu.
***
Bersambung...