Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Saya turut prihatin, Umi." ucap Nirma lirih.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Umi Mawar, Nirma merenung seorang diri.
Memikirkan Pak Vino dan Bu Resha yang begitu mencintai anak perempuan mereka. Sedangkan orang tua Nirma sendiri malah tega meninggalkannya seorang diri.
"Astaghfirullah." Nirma tersadar, menepis rasa kecewa yang selama ini ia rasakan kepada kedua orang tua kandungnya.
"Ya Allah, ampuni dosa kedua orang tuaku. Umi benar, aku harus mendoakan mereka. Mungkin saja sekarang mereka sedang menangisiku."
Nirma menyeka air mata, mencoba melupakan kesedihan dengan menyibukkan diri. Ia membersihkan barang-barang lama di rumah itu.
Perhatiannya teralihkan pada album foto lama yang ditebaknya adalah kenangan masa kecil Raka. Ia membuka lembar demi lembar.
Mengulas senyum, Nirma menyadari bahwa suaminya itu sudah tampan sejak kecil. Raka tumbuh dalam limpahan kasih sayang kedua orang tuanya.
Hingga pada saat ia menemukan sebuah foto di mana Raka sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 2 dengan kue tart besar dan kado bertumbuk pada sudut ruangan.
Lembar berikutnya, Raka tampak menangis dan digendong oleh seorang wanita, yang membuat mata Nirma membeliak.
Meskipun terlihat masih begitu muda, namun Nirma mengenali wanita itu.
"Ya Allah, ini ... Ibu?"
"Kenapa foto Ibu ada di sini? Mulan? Apa jangan-jangan orang yang selama ini dicari oleh Mas Raka adalah Ibu?"
"Tapi, bagaimana bisa? Ibu tidak mungkin tega membunuh seseorang. Ibuku bukan orang jahat."
Seluruh tubuh Nirma bergetar, jantungnya seperti akan berhenti berdetak.
Foto-foto yang ia temukan di sana membuat matanya berair.
"Nirma, apapun yang terjadi, jangan beritahu siapapun bahwa kamu adalah anak Ibu. Ingat itu baik-baik." pesan sang Ibu yang masih teringat sebelum mereka berpisah.
"Apa karena kasus pembunuhan itu Ibu melarikan diri dan hidup dalam persembuyian. Ya Allah aku harus bagaimana?"
****
Sementara itu di sebuah kafe, Raka menyeruput secangkir kopi dengan nikmat.
Setelah meninggalkan rumah, ia menghubungi Brayn dan meminta bertemu pagi ini.
"Sudah siuman dari mabuknya?" Sapaan Brayn pagi itu mengalihkan perhatian Raka.
Matanya melirik ke arah sang sahabat yang kemudian menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya.
"Oh... kejadian semalam? Apa benar aku mabuk?"
"Menurut kamu?" Brayn menatapnya curiga.
"Aku bersumpah tidak minum alkohol! Aku hanya minum soft drink yang diberikan Hellen. Setelah itu aku tidak ingat ada kejadian apa lagi." ucapnya berusaha meyakinkan. Sebab Brayn terlihat ragu padanya.
"Yakin Hellen hanya memberimu soft drink?"
"Aku yakin. Kamu tahu sendiri aku bukan peminum. Tadinya mereka menawarkan minuman tapi aku tolak. Jadi Hellen mengambilkanku minuman bebas alkohol."
"Apa kamu sedang mengarang? Kalau hanya soft drink, tidak mungkin kamu sampai mabuk."
"Ya ampun, bagaimana membuktikannya? Terlalu konyol kalau aku mendatangi tempat itu hanya untuk minta rekaman CCTV agar membuktikan bahwa aku hanya minum soft drink, kan?"
"Lebih konyol lagi mabuk sampai tidak sadarkan diri." sindir Brayn.
"Apa jangan- jangan Hellen mencampur sesuatu ke minuman kamu sampai mabuk?"
"Ayolah, Brayn! Hellen tidak sejahat itu, dia perempuan baik-baik."
Brayn mengedikkan bahu. "Ingat, iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat untuk menyesatkan manusia. Kalau memang Hellen tidak mencampur apa-apa, tidak mungkin kamu mabuk dan tidak sadarkan diri."
"Mungkin itu perbuatan orang lain."
"Siapa yang mengambilkan minuman untuk kamu?"
"Hellen." jawab Raka cepat. "Tapi di sana banyak orang, Brayn! Segala sesuatu bisa saja terjadi."
Brayn menatap sang sahabat yang pagi itu terlihat masih lesu.
"Bro, sampai kapan kamu mau seperti ini? Semalam kalau aku dan Raffi tidak datang tepat waktu, kamu mungkin sudah dibawa Hellen entah ke mana. Dia membawa kamu ke mobilnya, padahal kalau dia memang memiliki niat yang baik, bisa saja dia menghubungi Umi, Abi, aku atau Rafa. Ponsel kamu bahkan dinonaktifkan olehnya."
"Tapi Hellen tidak mungkin punya niat seperti itu."
"Jangan terlalu naif."
Raka menghela napas sambil melirik sang sahabat. Ucapan Brayn tadi memang masuk akal. Meskipun ia sendiri yakin bahwa Hellen adalah perempuan baik.
"By the way... kamu tidak pesan minuman?" tawar Raka beberapa saat kemudian.
"Ini hari kamis. Aku puasa."
"Oh ... maaf, aku lupa."
Brayn menyandarkan punggung pada kursi lalu melipat tangannya di depan dada.
Raut wajahnya seketika berubah saat teringat Nirma semalam. Entah kenapa setiap kali melihat gadis itu hatinya merasa seolah teriris.
"Bagaimana keadaan Nirma sekarang?"
"Memangnya dia kenapa?" jawab Raka acuh tak acuh.
"Jangan bilang kamu tidak tahu apa yang terjadi dengan Nirma kemarin!"
Kedua alis Raka saling bertaut. Ia menatap Brayn penuh tanya. Setahunya Nirma baik-baik saja.
Kemarin sore ia memang terlambat pulang ke rumah setelah berbelanja.
"Kemarin sore kamu di mana?"
"Di rumah. Aku baru keluar malamnya."
Brayn tersenyum miris. "Padahal kamu ada di rumah, tapi Istrimu pergi sendirian sampai dia kecelakaan dan terluka, tapi kamu tidak tahu."
"Apa, kecelakaan? Tapi, saat pulang dia tidak apa-apa."
"Dia tidak bilang karena kamu tidak pernah perduli. Apa pernah kamu memikirkan Nirma sudah makan atau belum? Apa kebutuhannya terpenuhi? Apa batinnya tidak tertekan? Tidak, kan? Karena dia merasa setidak berharga itu di hadapan Suaminya sendiri, sampai untuk mengatakan dia terluka saja, tidak berani dia lakukan."
Raka tersentak. "Aku akan memeriksanya nanti." Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibir Raka. Ucapan Brayn selalu dapat membungkamnya dengan telak.
"Maaf, aku bukan mau ikut campur masalah rumah tanggamu. Sebagai teman aku hanya mengingatkan, jangan sampai suatu hari nanti kamu menyesal. Terkadang, kita baru sadar betapa berharganya sesuatu kalau sudah kehilangan."
Raka kembali bungkam.
Brayn melirik jam tangannya. "Apa masih ada yang mau kamu bicarakan? Aku ada tugas pagi."
"Tidak. Tapi ... soal aku mabuk semalam, tolong jangan sampai Umi dan Abi tahu, mereka pasti akan kecewa dan marah."
"Insyaallah, yang penting jangan di ulangi lagi. Bro, kamu harus lebih berhati-hati. Kalau memang Hellen sengaja membuat kamu mabuk, apa tujuannya."
Raka merenung. Bahkan setelah kepergian Brayn dari kafe, ia masih duduk di tempat.
****
Zayn merebahkan punggung pada sandaran mobil. Matanya mengawasi suasana sekitar, mencari objek yang sejak kemarin membuatnya gelisah.
Sudah tiga jam lebih ia menunggu di depan sebuah minimarket, tempatnya mengantar Nirma kemarin.
Berharap gadis itu akan melintas, tetapi setelah menunggu berjam-jam ia tak kunjung melihat gadis bercadar tersebut.
"Apa rumahnya jauh dari sini, ya?" gumam Zayn pelan, diiringi hela napas panjang.
Ia agak menyesal mengapa kemarin tidak memaksa mengantar pulang.
Akhirnya, ia mencoba menghubungi sang Kakak. Beberapa hari belakangan ini Brayn sangat sulit ditemui dan jarang pulang ke rumah.
"Assalamualaikum, Dek." Suara sang Kakak terdengar sesaat setelah panggilan terhubung.
"Walaikumsalam. Kakak lagi di mana?"
"Biasa, di rumah sakit."
"Sibuk tidak, Kak? Kalau Kakak ada waktu, aku mau bicara sebentar." pinta Zayn penuh nada permohonan.
"Sibuk, sih. Tapi, kamu datang saja ke rumah sakit."
"Ya sudah, Kak. Aku jalan sekarang, ya."
"Iya, Dek."
***********
***********
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....