Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang ingatan?
Happy reading guys :)
•••
Warna langit perlahan-lahan mulai berubah menjadi gelap, cahaya matahari telah hilang meninggalkan sang angkasa sendirian, membuat sang angkasa harus menunggu kehadiran bulan dan bintang agar kembali menjadi terang.
Di dalam sebuah kamar yang didominasi oleh perpaduan warna cokelat dan abu-abu, kini terlihat Nadine dan seorang gadis sedang mengobrol di atas kasur dengan ditemani oleh beberapa buku pelajaran yang berada di tangan mereka masing-masing.
Nadine menaruh buku yang sedang ia pegang di atas kasur, merebahkan tubuh, dan melihat langit-langit kamar.
“Udah selesai?” tanya gadis itu, membalik halaman salah satu buku yang sedang dirinya pegang.
Nadine menggelengkan kepala. “Belum, Kak. Soalnya susah.”
Gadis itu mengembungkan napas panjang, mengambil stabilo dari atas kasur, menandai beberapa jawaban di dalam buku yang sedang ia buka, lalu menyerahkannya kepada Nadine.
“Ini, semua jawaban yang lu perluin ada di sini. Jadi, sekarang kerjain PR lu, Dek,” kata Gadis itu.
“Wah, thanks, Kak, udah bantuin gue,” jawab Nadine, mengambil buku dari tangan sang kakak seraya bangun dari posisi tidurnya.
Gadis itu hanya menjawab dengan dehaman singkat, bangun dari atas kasur, dan berjalan menuju meja belajar pribadinya.
“Lu mau ngapain, Kak?” tanya Nadine, melihat sang kakak yang sudah duduk di kursi meja belajar.
Gadis itu mengambil laptop dari dalam tas, menaruh di atas meja, lalu membukanya. “Ada sesuatu yang harus gue kerjain.”
Mendengar jawaban sang kakak, dahi Nadine perlahan-lahan mulai mengerut. “Sesuatu? Sesuatu apa, Kak?”
“Gak usah kepo, mending lu kerjain semua PR lu,” ujar gadis itu, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Nadine mendengus seraya memanyunkan bibir. Ia kembali merebahkan tubuh. Namun, bedanya sekarang dengan posisi tengkurap.
Nadine mendengus pelan seraya memanyunkan bibir, merebahkan tubuh dengan posisi tengkurap, mulai menulis semua jawaban yang telah sang kakak dapatkan di buku tugasnya.
Saat sedang menulis semua jawaban, Nadine tiba-tiba saja berhenti kala mengingat sesuatu hal yang sangat penting. Ia mengangkat kepala, melihat sang kakak yang sedang sibuk mengetik sesuatu di keyboard laptop.
“Kak, gue baru ingat ada sesuatu yang mau diomongin ke lu,” kata Nadine, sembari menopangkan dagu.
“Mau ngomongin soal apa?” tanya gadis itu, masih terus mengetik.
“Vanessa udah bangun dari komanya,” jawab Nadine, mengalihkan pandangan ke jendela kamar yang belum tertutup oleh gorden.
“Terus?” tanya kembali gadis itu.
“Gue takut, Kak. Gue takut kalo Vanessa bakal ngelaporin perbuatan kita.” Tatapan Nadine berubah menjadi sendu, tangan kirinya yang sedang memegang pulpen perlahan-lahan mulai bergetar.
Mendengar jawaban Nadine, membuat gadis itu sontak berhenti mengetik. Ia berbalik badan, menatap wajah sang adik yang telah berubah menjadi ketakutan.
Gadis itu mengembuskan napas panjang, bangun dari tempat duduk, berjalan mendekati Nadine, dan menggenggam tangan kiri sang adik. “Lu gak usah takut. Vanessa gak mungkin akan ngelaporin kita.”
Nadine menoleh, menatap lekat wajah sang kakak. “Kenapa lu bisa ngomong gitu, Kak.”
Gadis itu melepaskan genggaman dari tangan Nadine, berjalan menuju jendela untuk menutupinya menggunakan gorden. “Karena keadaan dia selama satu minggu ini.”
“Maksudnya gimana, Kak?” tanya Nadine, keningnya telah mengerut sempurna.
“Lu inget, kan, kalo Vanessa selama satu minggu ini koma dan keadaannya kritis banget?”
“Iya, inget, Kak,” jawab Nadine, masih setia melihat sang kakak yang sedang menutupi jendela menggunakan gorden.
“Nah, kemungkinan besar Vanessa saat ini lagi kehilangan ingatan tentang kejadian yang nimpa dia sebelum koma. Jadi, lu gak usah khawatir, Dek. Semua hal yang udah kita lakuin ke dia bakal tetap aman,” jelas gadis itu, berbalik badan, berjalan mendekati Nadine, dan mengelus puncak kepala sang adik.
Setelah mendengar penjelasan sang kakak, tubuh Nadine yang tadi sudah mulai bergetar perlahan-lahan kembali menjadi tenang.
“Udah, lu gak usah mikirin tentang hal itu. Lebih baik sekarang, kerjain lagi PR yang lu dapat,” saran gadis itu, menjauhkan tangannya dari kepala Nadine, berjalan menuju meja belajar untuk mengambil handphone miliknya.
Nadine mengangguk, menyetujui saran dari sang kakak. Ia memegang pulpen menggunakan tangan kanan, mulai menulis kembali beberapa jawaban yang telah sang kakak temukan.
•••
Waktu telah menunjukkan pukul 20.30. Saat ini, langit telah dihiasi dengan kehadiran bulan dan ribuan bintang yang bersinar sangat terang. Akan tetapi, keterangan dua benda ciptaan tuhan itu tidak berselang lama, kala awan hitam hadir menutupi cahaya mereka.
Di depan gerbang sebuah rumah yang terlihat sangat cukup besar, kini terdapat sebuah mobil merah berjenis hatchback sedang menunggu security membukakan pintu gerbang untuk dirinya masuk.
Angelina dan Renata, kedua gadis itu sekarang sedang berada di bagian dalam mobil, melihat ke arah langit yang sudah berubah menjadi sangat gelap.
“Mau hujan, Kak,” ujar Angelina, seraya menopangkan dagu.
“Iya, Ngel.” Renata memijak pedal gas saat melihat pintu gerbang telah terbuka, menjalankan mobil memasuki bagian dalam dari rumah itu. “Bye the way, Ngel, rumah lu kelihatan makin gede aja, ya.”
Mendengar perkataan Renata, Angelina sontak mengalihkan pandangan ke arah bangunan rumah yang berada di depannya. Ia sedikit berdecih, tidak menyetujui perkataan dari sang kakak kelas.
“Mana ada. Rumah gue masih sama kayak yang dulu, Kak,” sanggah Angelina, menjauhkan dagu dari kepalanya, lalu bersandar pada sandaran kursi mobil.
Senyuman tipis terukir di wajah Renata saat mendengar sanggahan yang diberikan oleh Angelina. Ia memberhentikan mobil tepat di depan garasi dari rumah itu, kemudian mematikan mesin.
“Tapi, menurut gue kelihatan makin gede, loh, Ngel,” ujar Renata, seraya menoleh ke arah Angelina.
Angelina memanyunkan bibir dengan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. “Ih, Kak, jangan ngomong gitu.”
“Kenapa gue gak boleh ngomong gitu?” tanya Renata, ikut bersandar pada sandaran kursi mobil.
“Kan, lu tau kalo gue gak suka dipuji tentang harta milik kedua orang tua gue,” jawab Angelina, melepaskan seatbelt dari tubuhnya dengan masih memanyunkan bibir.
Renata terkekeh saat mendengar hal itu. Ia kembali menoleh ke arah Angelina, tangan kanannya bergerak mencubit pelan bibir Angelina. “Itu bibir gak usah dimanyunin terus.”
Angelina mengerang kesakitan, memberikan tatapan tajam ke arah Renata seraya memegangi bibirnya. “Sakit, Kak!”
Kekehan Renata berubah menjadi tawa, merasa puas saat melihat raut wajah dari sang adik kelas. “Lagian, lu manyun mulu.”
“Ya, lagian lu juga ngeselin. Ah, udahlah, gue mau masuk.” Angelina membuka pintu mobil. Namun, ia tidak unjung turun, melainkan justru menoleh ke arah Renata. “Lu mau mampir gak?”
Renata dengan cepat menggelengkan kepala. “Gak dulu, Ngel. Udah malam, lagian bentar lagi mau hujan. Gue titip salam aja buat tante.”
Angelina mengangguk paham, lalu turun dari dalam mobil.
“Ya, udah, kalo gitu gue masuk dulu, ya?” pamit Angelina, sebelum menutup kembali pintu mobil.
Renata hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia melihat Angelina yang sudah berjalan menuju pintu depan dari rumah itu.
Suara handphone milik Renata berbunyi, membuat gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangan dari Angelina, dan mengambil benda pipih miliknya yang berada di dalam saku seragam.
Renata membuka handphone, membaca sebuah pesan yang telah dikirimkan seseorang kepadanya.
Senyuman lebar terukir di wajah Renata setelah membaca pesan itu. Ia lalu mematikan handphone, menaruhnya kembali ke dalam saku seragam.
“Gelap banget langitnya,” gumam Renata, melihat ke arah langit seraya menyalakan mesin mobil, “Gue harus buru-buru pulang, nih, kalo gak bisa berabe.”
Renata mulai memundurkan mobil menjauhi garasi rumah Angelina sembari melihat ke arah belakang melalui spion tengah.
•••
“Loh, Sayang, kamu pulang?” tanya Shinta, bangun dari atas sofa, berjalan mendekati Angelina saat melihat kehadiran dari putri semata wayangnya itu.
Angelina tersenyum tipis, merentangkan kedua tangan, dan masuk ke dalam pelukan sang mama saat perempuan yang telah melahirkannya itu telah berada di hadapannya.
“Iya, Ma, Angel pulang,” jawab Angelina, menghirup aroma tubuh milik sang mama.
Shinta membalas pelukan Angelina seraya mengelus lembut puncak kepala sang anak. “Katanya tadi mau jagaian Vanessa di rumah sakit. Gak jadi, kah?”
Senyuman Angelina semakin menjadi lebar. Ia menyadarkan kepala pada bahu sang mama sembari menutup kedua mata, merasakan kenikmatan dan kedamaian yang tiada tara saat sang mama mengelus lembut puncak kepalanya.
“Tadi memang maunya kayak gitu. Tapi, gak jadi, Ma.”
Shinta sedikit mengerutkan kening saat mendengar jawaban dari sang anak. “Kenapa gak jadi? Oh, iya, keadaan Vanessa gimana? Udah ada kabar baik belum dari dokter?”
Angelina membuka mata, melepaskan pelukan dari tubuh sang mama, lalu melihat wajah perempuan yang telah melahirkannya itu dengan masih terus menunjukkan senyuman lebar dan bahagia.
“Ada, Ma, udah ada kabar dari dokter. Dan Mama tau gak, kalo Vanessa akhirnya udah siuman. Dia berhasil ngelewatin masa kritisnya, Ma.” Kedua mata Angelina mulai berkaca-kaca kala mengatakan itu, kemudian ia kembali memeluk tubuh sang mama dengan sangat erat.
Mendengar jawaban dari Angelina, membuat kedua mata Shinta sontak melebar dengan mulut yang sedikit terbuka. “Ini beneran, Sayang?”
Angelina mengangguk penuh antusias di sela pelukannya. “Iya, Ma. Vanessa udah bangun.”
Perasaan lega dan bahagia bercampur aduk di dalam tubuh Shinta. Bukan hanya karena kabar yang telah dibawa oleh Angelina. Akan tetapi, karena sang anak yang sudah kembali menjadi seperti yang dirinya kenal dulu.
Murah senyum, bersemangat, dan memiliki energi yang selalu positif. Shinta benar-benar merindukan sifat sang anak yang seperti sekarang ini. Sudah satu Minggu lebih, ia selalu melihat sang anak yang selalu murung, dan tidak memiliki aura positif sama sekali.
“Kelihatannya dua orang perempuan kesayangan Papa ini lagi bahagia banget. Lagi ada apa, nih? Papa boleh tau gak?” tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di tempat Angelina dan Shinta berada.
Pria paruh baya itu adalah ayah dari Angelina yang bernama Raka. Ia baru saja selesai membersihkan seluruh tubuhnya yang sudah sangat lengket akibat berkerja seharian ini.
Mendengar suara Raka, membuat pelukan Angelina dan Shinta perlahan-lahan mulai terlepas. Kedua perempuan itu lalu menoleh, menatap Raka dengan menunjukkan senyuman bahagia.
“Ih, Papa kepo,” kata Angelina, seraya memeluk pinggang Shinta.
Shinta yang mendengar perkataan sang anak hanya bisa terkekeh kecil. Ditambah, ia melihat raut wajah sang suami yang berubah menjadi sedikit terkejut.
Raut wajah terkejut Raka tidak berselang lama. Saat ini, ia telah merubah raut wajahnya menjadi semenggemaskan mungkin dengan bibir yang perlahan-lahan dirinya manyunkan. “Jahat. Ma, lihat, masa Papa dibilang kepo sama Angel.”
“Ish, geli tau, Pa,” kata Angelina, seraya menunjukkan raut wajah gelinya.
“Udah, udah. Sayang, kamu masuk kamar, gih, mandi terus ganti baju biar seger lagi.” Shinta menoleh ke arah Angelina yang masih setia memeluk pinggangnya.
Angelina mengangguk seraya menunjukkan senyuman tipis ke arah Shinta, lalu melepaskan pelukannya pada pinggang perempuan yang telah melahirkannya itu.
“Iya, Ma. Ya, udah, Angel ke kamar dulu, Ma,” pamit Angelina, berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Saat sedang berjalan, Angelina menyempatkan diri untuk sedikit menggoda sang ayah yang masih terus memasang raut wajah menggelikan, kemudian ia berlari kecil lantaran sedikit takut kalau sang ayah akan marah kepadanya.
Melihat tingkah laku Angelina, membuat Shinta kembali terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ia berjalan mendekati sang suami, menepuk pelan pundak pria paruh baya itu yang masih menatap ke arah tempat kepergian sang anak.
“Pa, udah, bener tau kata Angel, muka kamu geli banget kalo dibikin kayak gitu,” ujar Shinta.
Raka menoleh ke arah Shinta, menatap wajah cantik milik perempuan yang telah menjadi istrinya itu dengan masih memasang raut wajah menggelikan. “Ih, Mama sama anak sama aja.”
Shinta mengembuskan napas panjang, mendekatkan wajahnya ke wajah Raka, lalu memberikan sebuah ciuman penuh cinta di pipi kanan sang suami. “Masih mau ngambek?”
Mendapatkan ciuman dari sang istri, Raka sontak langsung menormalkan kembali raut wajahnya, tersenyum tipis, merangkul pundak Shinta, dan membawa perempuan itu menuju sofa ruang keluarga.
“Mana bisa ngambek kalo udah dikasih ciuman penuh kasih sayang dari kamu, Ma,” kata Raka, mencolek hidung Shinta pelan, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa dengan diikuti oleh sang istri, “Oh, iya, Ma. Tadi, Angel sama kamu lagi ngomongin tentang apa?”
Shinta menyadarkan kepala di dada sang suami, menikmati bunyi detak jantung milik pria yang sangat dirinya cintai itu. “Itu, Pa, tadi Angel ngasih tau kalo Vanessa udah siuman dari keadaan koma.”
“Vanessa yang waktu itu kita jenguk ke rumah sakit?” tanya Raka, memastikan bahwa gadis itulah yang dimaksud oleh sang istri.
Shinta mengangguk pelan. “Iya, Pa.”
Hembusan napas lega terdengar dari dalam hidung Raka. “Syukurlah kalo dia udah siuman. Tapi, Ma, Papa jadi kepikiran sesuatu.”
“Sesuatu? Sesuatu apa, Pa?” Shinta mengangkat kepala untuk melihat wajah sang suami.
“Papa tiba-tiba aja kepikiran kalo hal yang nimpa Vanessa satu minggu lalu itu ada kaitannya sama kejadian waktu Angel kecelakaan, Ma,” jelas Raka.
Shinta mengerutkan kening. “Maksudnya gimana, Pa?”
Raka menggelengkan kepala pelan. “Papa gak tau pastinya gimana. Tapi, perasaan Papa bilang kalo orang di balik kejadian yang nimpa Angel dan Vanessa itu adalah orang yang sama, Ma.”
Mendengar jawaban sang suami, membuat kedua mata Shinta melebar sempurna, rasa takut dan khawatir perlahan-lahan mulai memasuki tubuhnya. “Terus kita haru gimana, Pa, kalo perasaan Papa itu bener?”
Raka menundukkan kepala, melihat wajah cantik sang istri yang telah berubah menjadi khawatir. “Papa mau bahas hal ini dulu sama keluarganya Vanessa buat tau harus ambil langkah apa.”
To be continued :)