Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Jemput Emma
Pagi yang cerah itu terasa berbeda. Udara segar menerobos masuk melalui jendela ruang makan di mansion Harrison, menyebarkan aroma kopi hangat dan roti panggang. Harrison duduk di meja makan dengan Hawa, menikmati momen yang jarang mereka habiskan berdua.
Hawa, yang sibuk mengoleskan selai pada rotinya, tak menyadari tatapan intens Harrison. Pria itu tersenyum kecil, lalu tanpa peringatan mengambil garpu dan menyuapkan potongan buah ke mulut Hawa.
“Mas, apa-apaan ini?” tanya Hawa, wajahnya merona malu.
“Apa? Aku hanya memastikan kamu makan dengan baik,” jawab Harrison santai, tapi matanya penuh godaan.
“Mas, aku bisa makan sendiri,” balas Hawa dengan nada pura-pura marah, tapi ia tidak benar-benar menolak.
Harrison tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi aku suka melihatmu seperti ini, malu-malu tapi tetap manis.”
Hawa mendengus pelan, mencoba menyembunyikan senyumnya. Tapi Harrison tahu dia menang.
Saat keduanya masih menikmati sarapan romantis, ponsel Hawa berbunyi. Ia segera membuka pesan itu dan tersenyum.
“Emma bilang dia dan Nikki sekarang ada di rumah Papa Mama,” kata Hawa sambil menunjukkan ponselnya kepada Harrison.
“Baiklah. Kalau begitu, setelah ini kita jemput Emma,” jawab Harrison sambil berdiri dan merapikan meja makan.
Hawa menatap Harrison yang tampak begitu perhatian. Ia merasa bersyukur memiliki pria seperti Harrison di sisinya.
Ketika mobil Harrison memasuki gerbang besar rumah keluarga Harper, Hawa merasa hatinya hangat. Rumah itu selalu memberi rasa nyaman dan kedamaian. Harrison memarkir mobilnya, lalu berjalan bersama Hawa menuju pintu depan.
Di dalam, suara tawa Emma dan Nikki terdengar memenuhi ruang tamu. Emma terlihat bermain balok susun bersama Nikki, keduanya tertawa riang.
“Emma!” panggil Hawa sambil berjalan mendekat.
Emma yang sudah berubah panggilan untuk Hawa dari kakak menjadi Mama.
Emma berlari kecil dan memeluk Hawa erat. “Mama Hawa! Aku main banyak sekali sama Nikki!”
Hawa tertawa kecil. “Senang sekali kamu di sini ya?”
“Senang banget! Nikki pintar main balok,” jawab Emma antusias.
Sementara itu, Harrison berdiri di sisi lain ruangan, berbincang dengan Dylan Harper, ayah Hawa. Mereka berdua terlihat serius, duduk di sofa panjang dengan secangkir kopi di tangan masing-masing.
“Apa tanggapan keluargamu semalam, Harrison? Apakah mereka bisa menerima Hawa dengan baik?” tanya Dylan, menatap Harrison dengan penuh perhatian.
Harrison mengangguk, senyumnya tulus. “Sangat baik, Pak. Mereka semua senang dengan kehadiran Hawa. Bahkan, Papi yang awalnya tampak dingin pun terlihat kagum pada Hawa.”
Dylan tersenyum lega. “Syukurlah. Itu yang saya khawatirkan, bagaimana keluargamu menerima Hawa.”
Harrison menatap Dylan dengan serius. “Pak, saya juga ingin meminta izin untuk mempercepat pertemuan keluarga. Saya ingin segera meresmikan hubungan kami.”
Dylan terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku setuju. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Permintaan apa, Pak?” tanya Harrison, sedikit gugup.
“Setelah ini, sampai kalian menikah, aku ingin kalian tidak lagi tinggal satu atap. Hawa bisa tinggal di sini, bersama kami. Emma boleh sering bertemu, tetapi aku rasa itu akan lebih baik untuk menjaga tradisi dan nama baik keluarga,” jawab Dylan dengan nada tenang tapi tegas.
Harrison terkejut. Permintaan itu seperti menampar hatinya. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Hawa dan Emma di rumahnya, menjadi bagian dari hidupnya setiap hari.
“Pak Dylan, maaf, saya tidak bermaksud melawan, tetapi ini cukup sulit bagi saya. Emma sangat dekat dengan Hawa. Saya khawatir dia akan merasa kehilangan jika tidak tinggal bersama,” Harrison mencoba menjelaskan.
Dylan tersenyum kecil. “Aku paham, Harrison. Tapi ini bukan soal Emma saja. Ini soal prinsip dan tradisi keluarga kami. Aku yakin kamu bisa mengerti.”
Harrison mengangguk pelan, menekan rasa kecewanya. “Baik, Pak. Saya akan menghormati keputusan Anda.”
***
Saat mereka kembali ke mobil setelah berpamitan, Hawa menyadari perubahan di wajah Harrison.
“Mas, ada apa? Kenapa wajahmu terlihat murung?” tanya Hawa, memecah kesunyian.
Harrison terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Papa meminta kita tidak tinggal bersama lagi sampai kita menikah.”
Hawa membelalak. “Apa? Tapi kenapa?”
“Katanya, itu untuk menjaga tradisi dan nama baik keluarga. Aku menghormati keputusannya, tapi jujur saja, Hawa, aku tidak siap kehilangan momen-momen bersamamu dan Emma setiap hari,” jawab Harrison dengan suara rendah.
Hawa menatap Harrison, hatinya terenyuh. “Mas, aku mengerti perasaanmu. Tapi aku pikir Papa hanya ingin yang terbaik untuk kita. Kita harus percaya bahwa ini adalah jalan yang baik.”
Harrison menatap Hawa dengan mata yang penuh emosi. “Kamu benar, Hawa. Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri.”
Hawa meraih tangan Harrison, menggenggamnya erat. “Aku akan selalu ada untukmu, Mas. Kita bisa melewati ini bersama.”
Harrison tersenyum tipis, lalu mengecup punggung tangan Hawa. “Terima kasih, Hawa. Kamu benar-benar kekuatanku.”
Ketika mereka tiba di mansion, suasana terasa berbeda. Harrison memarkir mobilnya dengan tenang, tapi ekspresinya masih menyiratkan pergulatan emosi. Hawa menoleh ke arahnya, ingin mengatakan sesuatu, namun ia memilih menunggu hingga mereka masuk ke dalam rumah.
Setelah membantu Hawa membawa barang-barangnya ke kamar, Harrison duduk di sofa ruang tamu, membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Hawa, yang tidak tahan melihatnya seperti itu, berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya.
“Mas,” panggil Hawa lembut, menyentuh lengannya.
Harrison menoleh, menatap Hawa dengan mata yang terlihat lelah. “Hawa, aku tidak tahu apakah aku bisa melewati ini tanpa merasa kehilangan.”
Hawa menghela napas, menggenggam tangan Harrison erat. “Mas, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku yakin, keputusan Papa hanya untuk kebaikan kita.”
“Tapi Hawa, aku sudah terbiasa melihatmu setiap pagi. Mendengar tawa Emma di rumah ini. Dan sekarang, memikirkan kamu tidak ada di sini…” Suara Harrison melemah, nyaris berbisik.
Hawa tersenyum tipis, mencoba menenangkan Harrison. “Mas, ini bukan akhir. Ini hanya sementara. Lagipula, kita Akan sering bertemu. Emma juga. Kamu bisa datang kapan saja.”
“Tapi tetap saja berbeda, Hawa. Rumah ini tidak akan sama tanpamu,” Harrison menatap Hawa dengan sorot mata yang penuh kesungguhan.
Hawa merasakan dadanya bergetar. “Mas, dengar. Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi ini adalah salah satu ujian untuk kita. Jika kita bisa melewati ini, aku yakin kita akan lebih kuat.”
Harrison terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kamu benar, Hawa. Aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya.”
Hawa tersenyum, mengusap punggung tangan Harrison dengan lembut. “Aku percaya kamu bisa, Mas. Kamu adalah pria yang kuat.”
Malam semakin larut. Setelah menemani Emma tidur di kamar lain, Hawa kembali ke kamarnya. Tapi ia terkejut melihat Harrison sudah ada di sana, duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai.
“Mas? Kenapa belum tidur?” tanya Hawa pelan.
Harrison mengangkat wajahnya, menatap Hawa dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu sebelum kamu kembali ke rumah Papa.”
Hawa duduk di samping Harrison, menatapnya penuh kasih. “Mas, kamu tahu aku akan selalu ada untukmu. Meskipun kita tidak tinggal bersama, hatiku selalu bersamamu.”
Harrison mengangguk pelan. “Aku tahu, Hawa. Tapi aku ingin memastikan sesuatu.”
“Apa itu, Mas?”
Harrison meraih tangan Hawa, menggenggamnya erat. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat serius tentang kita. Tentang pernikahan ini. Aku akan melakukan apa pun untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”
Hawa menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, Mas. Aku juga ingin yang terbaik untuk kita. Aku ingin pernikahan ini menjadi awal yang indah bagi kita semua, termasuk Emma.”
“Dan aku janji, Hawa,” Harrison melanjutkan, suaranya tegas. “Aku akan membuatmu bahagia. Aku tidak peduli seberapa sulit jalannya, aku akan selalu ada untukmu.”
Hawa tersenyum, air mata mulai mengalir di pipinya. “Terima kasih, Mas. Aku percaya padamu.”
Harrison menarik Hawa ke dalam pelukannya, membiarkan kehangatan itu menyelimuti mereka.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.