Semasa Joanna kecil ia tidak pernah menyukai kehadiran anak-anak laki-laki yang tinggal satu rumah dengannya. Namun, ketika duduk dibangku SMA Joanna merasa dirinya merasakan gejolak aneh. Ia benci jika Juan dekat dengan orang lain. Ia tidak bisa mengartikan perasaannya pada laki-laki itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnettasybilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03 : Marah
...- happy reading -...
...***...
Keadaan di dalam mobil sangat hening. Joanna merasa heran, tidak biasanya Juan diam seperti ini, tapi ia memilih diam dan tak memikirkannya. Selang beberapa menit Juan melirik Joanna yang sibuk menyetir.
"Kenapa kakak jemput aku?"
"Disuruh Bunda."
Hanya terhitung dua kali Joanna menunggu Juan. Setiap berangkat sekolah pun Juan selalu di turunkan 40 meter dari gerbang, sisanya gadis itu akan jalan kaki sampai kelas.
"Tumben kakak mau nungguin aku."
Juan menatap lurus ke arah jalanan, sementara Joanna melirik cowok itu sekilas. Apa yang salah kalau hari ini ia ingin menjemputnya?
"Kenapa lo? Ga suka?" ujar Joanna ketus.
"Bukan gitu, aku heran aja." Ekspresi dan gaya bicaranya sangat berbeda, tidak seperti biasanya.
"Lo ga suka gue tungguin? Yaudah lo turun di sini aja. Gak perlu repot-repot banyak omong."
Tidak lama setelah itu mobil berhenti di pinggir jalan. Juan melirik Joanna yang menatap lurus jalanan.
"Kak?" Juan menatap sedih.
"Turun."
Juan menghela nafas lalu turun dari mobil, setelah itu mobil pergi begitu saja meninggalkannya, sementara Juan harus berjalan cukup jauh menuju halte, agar bisa pulang naik bus.
"Aku salah apa sih?"
Juan menatap mobil milik Joanna berjalan menjauh, ia menatap sedih mobil itu dan menghela nafas kasar. Dengan terpaksa ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencari halte terdekat.
Langit sudah mendung, ia tidak membawa payung karena seharusnya sekarang ia sudah sampai di rumahnya. Hingga hujan perlahan turun, membasahi jalan sehingga tercium aroma petrichor.
Sadar hujan sudah turun, Juan pun berlari sembari menutupi kepalanya dengan tangan, berharap halte sudah dekat namun tidak terlihat adanya halte di sekitarnya. Dengan terpaksa ia berteduh di depan mini market, cuaca semakin dingin dengan angin berhembus cukup kuat, ditambah lagi bajunya sudah basah.
Juan pun berjongkok dengan sesekali menadangkan tangan nya di bawah hujan. Tatapan nya sendu, bibirnya juga sedikit pucat.
Brukkk!
Sebuah payung mendarat tepat di hadapannya, payung berwarna hitam. Juan yang kebingungan pun mendongakkan kepala, seorang perempuan cukup tinggi tersenyum tipis padanya lalu menutupi kepalanya dengan hoodie dan berjalan cepat.
"Hei, payungnya!" Gadis manis itu hanya menengok ke belakang sekilas.
"Pake aja, lo lebih butuh gue lihat."
Juan menatap kembali payung itu lalu mengambilnya. Ia membukanya lalu berjalan melanjutkan perjalanan nya menuju halte bus. Setelah berjalan sekitar 300 meter, akhirnya ia menemukan sebuah halte dan pas sekali bus tujuan nya sudah datang. Dengan segera ia masuk dan duduk.
***
Sementara itu—Joanna datang dengan wajah kesal lalu duduk bergabung di antara Melisa dan Helga. Sementara seperti biasa Ruby paling heboh di sana.
"Wuih bos Jo dari mana aja? Makanan udah mau abis nih." Ruby mengunyah pizza yang dibawakan Helga setengah jam lalu.
"Ada urusan," jawab Joanna singkat lalu para anggota Girlvy sibuk berbicara dan saling melempar kentang goreng. Joanna menatap ke sekeliling, rasanya ada yang kurang diantara mereka.
"Mana Laras sama Lisa?" tanya Joanna.
"Dua duanya tadi misah sama rombongan, ada urusan katanya. Bentar lagi juga nyampe, nah tuh Laras..."
Laras berjalan santai dengan keadaan basah kuyup lalu duduk di tengah tengah mereka.
"Ih gila lo?! Basah kek gini jangan deket deket gua lah, anjir! Dalaman lo sampe nampak begitu." Ruby menepuk paha Laras dan berpindah tempat.
"Ya sorry. Gue kehujanan tadi, mana gue bawa motor kan, terobos aja lah."
"Ganti baju lo sana, gue ada hoodie di lemari," perintah Melisa.
Laras langsung tersenyum lalu menepuk pundak Melisa pelan.
"Emang lo paling pengertian bangat sayang sama gue."
Laras pun berjalan menuju lemari yang tidak jauh dari tempat mereka duduk, dengan segera ia berganti baju tidak peduli dengan pandangan semua orang padanya.
"Lo abis dari mana?" tanya Joanna.
"Bukan urusan lo," jawab Laras lalu duduk di samping Melisa.
"Kok lo nyolot sih? Ga usah memancing keributan deh."
"Sejak kapan lo peduli sama gue, hah?" Para anggota Girlvy yang sudah paham dengan situasi itu pun mulai tegang.
"Udah sih jangan ribut terus, kalian ga ingat tujuan kita ngumpul disini buat apa?"
Melisa berusaha menengahi, memang di antara anggota lain hanya Melisa yang berani menengahi perselisihan Joanna dan Laras setiap kali terdengar lontaran kalimat yang dingin, ketus dan tegas.
"Nih gue beli." Laras mengeluarkan sepuluh bungkus rokok dari plastik dan melemparnya ke arah meja.
"Mantap nih..." kata Chika.
"Taik! giliran urusan yang gratis lo duluan bangsat!" kelakar Laras. Sementara Joanna hanya diam sembari menatap sinis Laras.
***
Di tempat lain—
"Juan pulang Bunda!" Juan berjalan memasuki rumah yang megah itu lalu disambut dengan Bundanya yang menatap laki-laki itu khawatir.
"Kamu darimana aja sayang? Kenapa baru pulang? Ini juga kenapa bajumu basah?"
Bunda mengusap bahu Juan yang masih basah. Juan menatap ke arah jam di dinding pukul tujuh, wajar saja bundanya khawatir.
"Tadi Juan jalan bun ke halte bus, terus ga lama hujan. Makanya Juan neduh dulu." Bunda menghela nafas berat.
"Joanna pasti ini. Mentang mentang Bunda ga suruh dia pulang bareng, dia malah biarin kamu pulang sendiri."
"Jadi bunda ga nyuruh kakak buat pulang bareng?"
"Ngga, maaf ya sayang. Lagian Joanna juga ga akan jemput kamu, harusnya Bunda suruh supir tadi, tapi Pak Trisno lagi sakit."
"Iya gapapa bunda, Juan naik dulu ya? Mau mandi."
"Iya sayang, habis itu makan ya? Bunda udah masak." Juan mengangguk pelan lalu berjalan ke atas.
"Jadi Kak Joanna bohong ya? Katanya disuruh bunda nungguin gue. Harusnya kalo emang ga niat ga perlu nungguin, gue bisa ko naik bus sendiri."
Lima belas menit kemudian
Setelah mandi dan berganti baju, Juan turun ke bawah, melihat Ayah dan Bundanya yang sudah duduk di depan meja makan. Dengan segera ia mengambil tempat dan menatap hidangan di meja.
"Kak Joan mana yah, bun?"
Tidak lama suara pintu terdengar, nampak Joanna dengan seragam yang sudah lusuh itu berjalan melewati mereka. Sontak Ayah berjalan menghampiri Joanna.
"Dari mana aja kamu?" tanya Ayah tegas. Joanna menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ayahnya.
"Main." Lalu ayah menghirup bajunya.
"Kamu ngerokok?!" tanya Ayah lantang.
Shit, gua lupa pake parfum.
"Kalo iya kenapa, Yah? Apa Ayah peduli?"
"Joanna! Berani melawan?" tangan Ayahnya hampir melayang mengenai wajah anaknya, namun Juan berdiri di tengah keduanya.
"Ayah, jangan!" Dan pukulan tersebut terhenti. Juan berusaha mencegah Ayahnya dan memeluk Joanna.
"Ayah, kita duduk dulu ya? Makan dulu, Ayah pasti capek kan? Biar kak Joanna ganti baju."
Wajah Juan nampak khawatir, tapi hal itu berhasil membuat Ayahnya mengangguk pasrah. Setelah Ayahnya berbalik menuju meja makan, Juan menatap Joanna lalu melepas pelukannya.
"Kakak ganti baju dulu ya. Biar aku yang—" Joanna berjalan menjauh dengan acuh.
"Ayah seharusnya jangan kepancing emosi dulu, biar Joanna yang jelasin. Joanna ngga mungkin ngerokok Mas, dia anak perempuan." Bunda menatap Ayah, berusaha memberikan nasihat kepada suaminya.
"Joanna itu loh bun, semakin dewasa semakin jauh dari peraturan. Susah banget di aturnya. Ayah udah bilang berapa kali kalo ayah ga suka sama gengnya si Girlvy itu, mereka bawa pengaruh buruk!"
"Udahlah Yah, nanti bicarakan baik baik."
Setelah makan malam, Juan yang hendak masuk ke kamarnya terhenti, laki-laki itu lalu mengetuk kamar di sebelahnya
"Kakak, Juan masuk ya?"
Tak ada sahutan, hingga akhirnya Juan tetap masuk. Dapat ia lihat Joanna berdiri menghadap dirinya dengan bersidekap. Tatapan tajam itu berhasil membuat Juan takut.
"Ka-kakak!" Joanna mendorong Juan hingga punggung cowok itu menabrak pintu, pergelangan tangannya di cengkeram erat.
"K-kak sakit!"
"Ga usah berpura pura jadi pahlawan. Penyebab ini semua itu karena lo!"