Lanjutan Cerita Harumi, harap membaca cerita tersebut, agar bisa nyambung dengan cerita berikut.
Mia tak menyangka, jika selama ini, sekertaris CEO yang terkenal dingin dan irit bicara, menaruh hati padanya.
Mia menerima cinta Jaka, sayangnya belum sampai satu bulan menjalani hubungan, Mia harus menghadapi kenyataan pahit.
Akankah keduanya bisa tetap bersama, dan hubungan mereka berakhir dengan bahagia?
Yuk baca ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
Mia hanya melihat melalui sudut matanya, laki-laki dengan wajah lelah dan dingin yang menjadi ciri khasnya. Mereka hanya berdua, di dalam elevator, tak ada yang berbicara, keduanya membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hingga suara denting elevator menandakan, sudah sampai di lobi, tempat Mia akan keluar. Tapi saat dirinya hendak melangkah keluar, lengan Jaka menghalanginya. "Aku antar kamu pulang." Tak ada nada ramah sama sekali.
"Tapi mas, ini jam sibuk pasti macet." Mia menolaknya secara halus.
Elevator mulai bergerak turun, menuju lantai basemen di mana mobil Jaka terparkir. Keduanya kembali diam tak ada yang berbicara, bahkan hingga masuk ke dalam mobil, dan jaka mulai melajukan nya meninggalkan gedung.
Lagi hening, tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Sementara lalu lintas yang dilalui mobilnya tak terlalu padat, usai putar balik, sehingga waktu tempuh lebih cepat dari biasanya.
Mobil baru berhenti tak jauh dari seberang stasiun tempat biasa Mia menaiki commuter Line.
Mia benar-benar dibuat heran dengan sikap kekasihnya, selama beberapa waktu ke belakang, Jaka selalu banyak bicara. Tapi malam ini, pria itu hanya mengucapkan beberapa patah kata. Mia mulai merasa janggal atau lebih tepatnya kehilangan.
"Kamu nggak turun? Apa perlu aku antar hingga ke dalam?" Tanya Jaka, karena gadis di samping kemudi hanya diam, bahkan sabuk pengaman masih terpasang.
Mia menghela napas, hari ini rasanya lebih lelah, karena dia berpacu waktu menyelesaikan sisa pekerjaan yang harus segera dia kerjakan, sebelum meninggalkan ibu kota. Ditambah lagi konflik yang sedang dia hadapi dengan pria di kursi kemudi.
"Silahkan turun, apa kamu mau aku antar sampai stasiun Jatinegara, atau sampai rumah kamu?" Jaka kembali bicara.
Mia menoleh, "Aku tau kamu marah, tapi bisakah sebelum aku pergi, kamu bersikap seperti biasa pada ku? Kamu tersenyum ataupun tertawa. Kenapa malah sikap kamu menunjukkan seolah aku bukan pacar kamu, melainkan hanya rekan kerja kamu?" Akhirnya dia mengungkapkan isi hatinya.
Jaka tersenyum sinis, yang mungkin tidak disadari oleh gadisnya, karena cahaya remang-remang di dalam mobil. "Aku capek dan tidak mau berdebat. Jadi silahkan turun, karena aku ada janji setelah ini."
"Mas ..."
Jaka memejamkan matanya, sapaan 'mas' dari gadisnya, hampir saja meluluhkan hatinya. Dia ingat perkataan sahabatnya semalam usai dirinya berhasil mengalahkan lawan yang badannya lebih besar darinya tak sampai sepuluh menit.
"Cewek modelan Mia, mesti dikasih sedikit guncangan, dengan kata lain sikap Lo yang biasa ramah, dan manja ke dia, Lo hilangkan sejenak. Gue jamin dia bakal ngerasa nggak enak, paling banter langsung meminta ampunan ke elo."
Apa yang dikatakan Niko benar adanya, baru sedikit dia memasang mode dingin, gadisnya sudah bereaksi tak nyaman, apa lagi sampai dia melakukan hal lainnya?
"Aku minta maaf, aku akui, aku sengaja menyetujui mutasi itu, karena aku ingin menghindari ajakan kamu menikah secepatnya. Jujur aku belum siap sama sekali, aku nggak bisa bayangin, harus menjadi seorang istri. Tanggungan ku juga masih banyak, dan mungkin aku baru bisa menikah saat Nia sudah bekerja, menggantikan aku menanggung biaya hidup Ibu dan Gio." Mia berusaha menjelaskan.
Jaka tak menunjukkan reaksi apapun, dia hanya diam menatap ke arah depan mobil. Bergerak pun tidak.
Mia menyentuh lengan di balik kemeja putih yang sudah tergulung hingga siku, "Mas, aku minta maaf, aku harap kamu mengerti dan menerima pilihan ku."
Jaka melirik sekilas pada tangan yang menyentuh lengannya, rasanya ingin sekali menariknya dan merengkuh tubuh gadisnya. Tapi sebisa mungkin dia menahannya mati-matian, dipanggil 'mas' saja, pertahanannya nyaris runtuh, apalagi hingga disentuh seperti ini. Tapi sekali lagi perkataan sahabatnya terngiang-ngiang dalam ingatannya.
"Kamu kenapa sih? Diem terus dari tadi, kita ini lagi nggak kerja, aku pacar kamu, kamu pacar aku. Masa kamu memperlakukan aku seperti sebelum kita pacaran!" Mia mulai gusar, nyatanya sikap diam kekasihnya, benar-benar membuatnya tak nyaman. "Aku nggak bakal turun, sebelum kamu tertawa atau senyum sama aku."
Dalam hati segala perkataan kotor Jaka ucapkan, pertahanannya benar-benar nyaris luluh lantak. Dia tak sanggup lagi, menahan diri untuk tak merengkuh tubuh kekasihnya sepuasnya serta menghirup aroma wanginya.
"Kamu nyebelin banget sih! Ngeselin banget sumpah, aku pikir kamu ngajak pulang bareng, agar nanti di sana aku selalu kangen kamu. Tapi malah nye ..." Ucapan itu belum bisa diselesaikan, karena tiba-tiba mulutnya dibungkam, dilum*t oleh pria yang sedari tadi mendiamkannya. "... Lin." Mia baru melanjutkannya begitu bibirnya bebas.
Jaka menyentuh bibir kekasihnya, dengan ibu jarinya. "Bawel banget ini mulut, dan bodohnya aku gampang luluh." Lalu dia menyatukan lagi bibir, yang tadi sempat diciumnya, kali ini lebih dalam dan panas.
Mia memejamkan matanya, menikmati bagaimana saat lidah saling bertautan. Dia bisa merasakan aroma mint di sana, ini salah satu yang disukainya dari Jaka. Pria itu selalu terlihat perfect setiap saat.
Jaka melepaskan tautan itu terlebih dahulu, lalu mengecup puncak kepala gadis yang dicintainya. "Pulang gih, mau aku antar sampai ke dalam stasiun?" tanyanya.
Meski rasanya sayang dan merasa kehilangan, setidaknya logika Mia harus tetap jalan, karena jangan sampai kelewatan. "Setelah ini, kamu ada janji dengan siapa?" tanyanya, seraya merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah kekasihnya.
"Aku diajak makan malam, sama Bu Dessy."
Mia menghentikan kegiatannya. "Bu Dessy?" Gumamnya. "Kok bisa? Apa dengan Pak Dimas dan Rumi juga atau dengan keluarganya yang lain?"
"Enggak, Bu Dessy bilang mau memperkenalkan seseorang sama aku. Tapi aku nggak tau siapa, aku nggak nanya, lebih tepatnya nggak enak nanyanya." Jaka menjelaskan. "Oh ya sayang, aku pinjam sisir dong, sama sekalian pelembab bibir."
"Hah ...?"
"Kok hah? Aku pinjam nggak boleh emang? Ini rambut aku berantakan loh, sama bibir aku kering kayaknya."
"Kita abis ciuman, nggak mungkin bibir kamu kering." Sahut Mia, diakhiri dengusan kesal.
"Tapi bibir aku kering," Jaka menyalakan lampu dalam mobil, dan bercermin menggunakan mode kamera di ponselnya. "Lihat nih ..." Dia mendekatkan wajah ke arah kekasihnya.
Mia mendorong ujung hidung pria itu dengan ujung jarinya, "Kamu kenapa jadi genit?"
Jaka mematikan lampu dalam mobil. "Genit apaan sih? Aku cuman minta sisir sama pelembab bibir, masa dibilang genit." Dia membantah. "Kalau nggak mau kasih pinjam, ya udah, nanti berarti aku balik ke apartemen dulu, buat mandi dan dandan. Nggak enak temannya Bu Dessy, masa pertama ketemu, penampilan aku berantakan."
Jaka mengambil ponselnya, dan terlihat tersenyum, begitu membaca pesan yang diterimanya.
Melihat hal tersebut, rasanya ada yang menyulut api di sekitar Mia. Karena sekarang rasanya dirinya tengah kepanasan, padahal pendingin mobil menyala cukup kencang.
"Kamu nggak turun? Udah sana pulang, Aku udah ditunggu nih, nggak enak kalau sampai telat." Jaka sama sekali tak menatap gadis disebelahnya, dia tengah sibuk membalas pesan sambil tersenyum.
"Antar aku ke Cikarang aja. SEKARANG!!!!" Mia sengaja menekan kata terakhir.
"Ya nggak bisalah, aku kan udah ditunggu, bakal jam berapa aku sampai sini lagi. Udah sama turun, apa mau aku antar sampai dalam?"
"Batalin ..."
"Nggak bisa sayang, ini itu Bu Dessy. Kamu tau kan siapa Bu Dessy?"
"Aku nggak peduli!!!" Mia meninggikan suaranya. "Kamu panggil aku sayang, kita juga abis ciuman, bisa-bisanya sekarang kamu malah mau ketemu perempuan lain. Kamu nggak mikirin perasaan aku?"
"Sayang ini Bu Dessy, bukan perempuan lain yang kamu sebutkan. Beliau kakak kandung CEO kita."
"Iya, tapi kamu mau dikenalkan dan dijodohkan dengan perempuan lain. Kamu tega sama aku? Katanya cinta, tapi kenapa kamu giniin aku? Pokoknya aku nggak mau tau, kamu harus antarkan aku sampai Cikarang."
"Sayang itu jauh banget loh, bisa tiga jam lagi aku balik kesini, pasti restoran udah tutup."
"Aku nggak peduli, Mas! Kalau kamu masih sayang sama aku, jangan datang, dan temui mereka."
"Ini bukan masalah sayang, tapi Bu Dessy ini udah banyak bantu aku dan kakak ku loh, jadi aku harus menuruti semua mau beliau, sebagai wujud terima kasih."
"Kalau gitu kita PUTUS!!!!" andai penerangan jelas, mungkin kekasih akan tau, jika ada genangan di mata bulat Mia. Tinggal menunggu luruh saja.
"Ya nggak bisa gitu aja putus dong, sayang! Masa cuman makan malam kita putus."
"Makanya jangan datang ke mereka, kamu sama aku aja." Suara Mia mulai parau, bulir bening mulai luruh dan membasahi pipinya. "Katanya kamu cinta aku, tapi kamu mau aja dikenalin sama perempuan lain." Mia jadi ingat cerita Aryan tempo hari.
Jaka mulai panik, gadisnya menangis karena ulahnya, "sayang, aku nggak bisa menolak."
Mia mengencangkan tangisannya, "kamu jahat, kamu nggak sayang aku, aku benci kamu. Pokoknya aku akan tetap di sini."
"Terserah." Sahut Jaka, dia mulai melakukan mobilnya, meninggalkan jalanan di seberang stasiun.
jangan sampai di unboxing sebelum dimutasi y bang....
sisan belum up disini rajin banget up nya....
terimakasih Thor....
semangat 💪🏻